XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Eksistensi Toak Tuban dibalik Bayang-Bayang Predikat Bumi Wali

 

(Foto oleh: Donnel Rizky Yoviliano)


Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar Kota Tuban? Sebagian mungkin akan langsung mengingat julukannya sebagai "Bumi Wali". Sebuah predikat yang lekat dengan sejarah penyebaran ajaran Islam di Jawa, terutama karena keberadaan salah satu makam  Wali Songo, yaitu  Raden Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang). Sebagian lainnya mungkin mengenal Tuban sebagai "Kota Seribu Goa" atau bahkan “Kota Koes Plus” karena menjadi tanah kelahiran salah satu band legendaris Indonesia. Namun, di balik beragam julukan itu, saya melihat wajah lain dari Tuban yang seringkali luput dari perhatian.

Bagi saya, Tuban adalah sebuah kota kecil di pesisir pantai utara Jawa dengan suhu udara yang cukup panas. Selain itu, meskipun dikenal banyak orang dari wisata religinya, Tuban memiliki minuman khas bernama Toak, minuman beralkohol hasil fermentasi nira pohon siwalan. Minuman ini sudah menjadi bagian keseharian bagi sejumlah Masyarakat Tuban. Tak sulit untuk menemukan orang yang meminum toak di pinggiran gang, sudut jalan, rumah kosong, bahkan di teras rumah. Itu karena, toak di Tuban dijual bebas tanpa banyak pembatasan, sehingga para peminum bisa bebas mengonsumsinya kapan dan di mana saja. Saya juga pernah menjumpai anak kecil, sekitar usia 9 tahun, yang membeli toak karena titipan dari ayahnya. Hal tersebut menandakan distribusi Toak yang begitu bebas di Tuban.
 
Tradisi Toak yang Mengakar

Toak Tuban bukanlah hal baru. Catatan sejarah lokal menyebut, tradisi ini sudah ada sejak lama. Konon cikal bakal sejarah Kerajaan Majapahit juga ada kaitannya dengan tradisi minum toak. Raden Wijaya, selaku raja pertama Kerajaan Majapahit, berhasil memukul mundur pasukan Tar-Tar kembali ke Tiongkok dengan cara mengajak mereka meminum toak. Setelah mabuk, Raden Wijaya menyerang pasukan itu, sehingga mereka kalah.

Tradisi minum toak diperkirakan sudah ada jauh sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit pada tahun 1295 masehi dan tetap eksis diminum hingga sekarang. Dahulu penjual toak di Tuban memikul dagangannya menggunakan ongkek bambu sembari berkeliling kampung. Beberapa masyarakat lokal mempercayai bahwa minuman ini tak hanya sekadar penghilang dahaga, tetapi juga bisa menambah stamina atau bahkan menyembuhkan penyakit tertentu.

Meski memiliki rasa pahit, bau anyir yang khas, serta efek memabukan, toak tetap banyak dicari. Orang-orang dari luar kota sengaja mampir ke warung-warung di Tuban yang menyediakan toak untuk menikmatinya bersama becek menthok, rica-rica lele, atau rica belut. Toak yang dikemas dalam botol mineral bekas atau jerigen pun sering dibeli untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
 
Eksistensi Toak di Balik Julukan Bumi Wali

Predikat Tuban sebagai Bumi Wali yang lekat akan sejarah penyebaran Islam, membuat saya bertanya-tanya bagaimana eksistensi Toak tetap bisa berdampingan dengan simbol Islam yang lekat di sana. Kelestarian Toak di Tuban tentu terdengar bertolak belakang dengan predikatnya sebagai Bumi Wali.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tuban pada tahun 2015 telah menetapkan kebijakan yang menjamin kelestarian minuman tradisional toak, serta memberikan kebebasan dalam proses produksi dan penjualannya. Kebijakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa toak tidak termasuk dalam klasifikasi minuman beralkohol sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) terkait Pengawasan, Pengendalian, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Statistik Persandian Tuban, Arif Handoyo mengatakan, masing-masing nira menghasilkan toak yang berbeda sehingga pengukuran kadar alkoholnya tidak pasti. Karena itulah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) kesulitan memasukkan toak dalam golongan minuman keras. 

Kehadiran Toak yang berdampingan dengan norma Islam di Tuban, terkadang menyebabkan munculnya gesekan. Misalnya kasus penyitaan 22 jerigen toak oleh Satuan Samapta Polres Jombang yang akan dikirim dari Tuban pada Jumat 18 Oktober 2024. Sarijan, sopir yang mengantar toak tersebut, dijerat dengan pasal 7 ayat (1) dari Perda Kabupaten Jombang Nomor 16 Tahun 2009, mengenai pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol.

Metode penyelesaian masalah yang terkesan represif seperti pada kasus di atas tidak memperbaiki kondisi di Tuban melainkan justru akan memperkeruh konflik. Dibutuhkan kolaborasi kreatif antara pemerintah, ulama, dan pelaku budaya untuk menemukan formula yang tepat, agar identitas “Bumi Wali” serta kelestarian toak dapat berjalan beriringan.
 
Penulis: Donnel Rizky Yoviliano

Editor:   Parwati Retnaningsih


Related Posts
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar