(Foto
oleh: Donnel Rizky Yoviliano)
Apa yang
terlintas di benak Anda ketika mendengar Kota Tuban? Sebagian mungkin akan
langsung mengingat julukannya sebagai "Bumi
Wali".
Sebuah predikat yang lekat dengan sejarah penyebaran ajaran Islam di Jawa,
terutama karena keberadaan salah satu makam
Wali Songo, yaitu Raden Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang).
Sebagian lainnya mungkin mengenal Tuban sebagai "Kota
Seribu Goa" atau bahkan “Kota Koes Plus” karena menjadi
tanah kelahiran salah satu band legendaris Indonesia. Namun, di balik beragam
julukan itu, saya melihat wajah lain dari Tuban yang seringkali luput dari
perhatian.
Bagi saya,
Tuban adalah sebuah kota kecil di pesisir pantai utara Jawa dengan suhu udara
yang cukup panas. Selain itu, meskipun dikenal banyak orang dari wisata
religinya, Tuban memiliki minuman khas bernama Toak, minuman beralkohol hasil
fermentasi nira pohon siwalan. Minuman ini sudah menjadi bagian keseharian bagi
sejumlah Masyarakat Tuban. Tak sulit untuk menemukan orang yang meminum toak di
pinggiran gang, sudut jalan, rumah kosong, bahkan di teras rumah. Itu karena,
toak di Tuban dijual bebas tanpa banyak pembatasan, sehingga para peminum bisa
bebas mengonsumsinya kapan dan di mana saja. Saya juga pernah menjumpai anak
kecil, sekitar usia 9 tahun, yang membeli toak karena titipan dari ayahnya. Hal
tersebut menandakan distribusi Toak yang begitu bebas di Tuban.
Tradisi Toak yang
Mengakar
Toak Tuban bukanlah hal
baru. Catatan sejarah lokal menyebut, tradisi ini sudah ada sejak lama. Konon
cikal bakal sejarah Kerajaan
Majapahit juga ada kaitannya dengan tradisi minum toak. Raden
Wijaya, selaku raja pertama Kerajaan Majapahit, berhasil memukul mundur pasukan
Tar-Tar kembali ke Tiongkok dengan cara mengajak mereka meminum toak. Setelah
mabuk, Raden Wijaya menyerang pasukan itu, sehingga mereka kalah.
Tradisi minum toak
diperkirakan sudah ada jauh sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit pada tahun
1295 masehi dan tetap eksis diminum hingga sekarang. Dahulu penjual toak di
Tuban memikul dagangannya menggunakan ongkek bambu sembari berkeliling
kampung. Beberapa masyarakat lokal mempercayai bahwa minuman ini tak hanya
sekadar penghilang dahaga, tetapi juga bisa menambah stamina atau bahkan
menyembuhkan penyakit tertentu.
Meski memiliki rasa
pahit, bau anyir yang khas, serta efek memabukan, toak tetap banyak dicari. Orang-orang
dari luar kota sengaja mampir ke warung-warung di Tuban yang menyediakan toak untuk
menikmatinya bersama becek menthok, rica-rica lele, atau rica belut. Toak yang
dikemas dalam botol mineral bekas atau jerigen pun sering dibeli untuk dibawa
pulang sebagai oleh-oleh.
Eksistensi Toak di Balik
Julukan Bumi Wali
Predikat Tuban sebagai
Bumi Wali yang lekat akan sejarah penyebaran Islam, membuat saya bertanya-tanya
bagaimana eksistensi Toak tetap bisa berdampingan dengan simbol Islam yang
lekat di sana. Kelestarian Toak di Tuban tentu terdengar bertolak belakang
dengan predikatnya sebagai Bumi Wali.
Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kabupaten Tuban pada tahun 2015 telah menetapkan kebijakan yang
menjamin kelestarian minuman tradisional toak, serta memberikan kebebasan dalam
proses produksi dan penjualannya. Kebijakan ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa toak tidak termasuk dalam klasifikasi minuman beralkohol sebagaimana
diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) terkait Pengawasan, Pengendalian, dan
Penjualan Minuman Beralkohol.
Kepala Dinas Komunikasi
dan Informatika Statistik Persandian Tuban, Arif
Handoyo mengatakan, masing-masing nira menghasilkan toak
yang berbeda sehingga pengukuran kadar alkoholnya tidak pasti. Karena itulah, Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) kesulitan memasukkan toak dalam golongan minuman
keras.
Kehadiran Toak yang
berdampingan dengan norma Islam di Tuban, terkadang menyebabkan munculnya
gesekan. Misalnya kasus penyitaan 22
jerigen toak oleh Satuan Samapta Polres Jombang yang akan
dikirim dari Tuban pada Jumat 18 Oktober 2024. Sarijan, sopir yang mengantar
toak tersebut, dijerat dengan pasal 7 ayat (1) dari Perda Kabupaten Jombang
Nomor 16 Tahun 2009, mengenai pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol.
Metode penyelesaian
masalah yang terkesan represif seperti pada kasus di atas tidak memperbaiki
kondisi di Tuban melainkan justru akan memperkeruh konflik. Dibutuhkan kolaborasi
kreatif antara pemerintah, ulama, dan pelaku budaya untuk menemukan formula
yang tepat, agar identitas “Bumi Wali” serta kelestarian toak dapat berjalan
beriringan.
Penulis: Donnel Rizky
Yoviliano
Editor: Parwati Retnaningsih
Terbaru
Lebih lama