![]() |
Hujan tak menghalangi massa aksi untuk terus bertahan dalam barisan aksi (Foto : Maheswara) |
Sabtu, 8 Maret 2025, hujan deras mengguyur Kota Yogyakarta sejak siang hingga sore hari. Awan gelap disertai guntur tak menciutkan semangat massa aksi International Woman Day (IWD) di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta. Berbagai komponen masyarakat berkumpul dan kompak mengenakan pakaian bernuansa ungu dipadukan dengan jas hujan dan payung. Massa aksi menyerukan tema IWD tahun ini, “Perempuan Bangga Anti Ditata” melalui perhelatan panggung rakyat.
Sekitar pukul 14.00 WIB, massa aksi mulai berkumpul di selasar Gedung BNI, Nol Kilometer Yogyakarta. Mereka bergegas mendirikan dua tenda putih berukuran 3 x 3 meter sebagai tempat untuk berteduh di tengah derasnya hujan sore itu. Tenda tersebut menjadi naungan mereka kala menyanyikan lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ dari Sukatani dan serangkaian acara lainnya.
Jesi, tim media IWD Jogja mengatakan, IWD tahun ini mengusung konsep panggung rakyat. Seluruh peserta yang hadir diberi kebebasan untuk melakukan orasi ataupun pertunjukan seni, seperti pembacaan puisi dan musik.
“Konsepnya panggung pertunjukan, jadi siapa pun yang hadir
boleh saja berpartisipasi buat tampil, tentu bukan penampilan yang menimbulkan
penindasan Gender,” terang Jesi.
Jesi menambahkan, IWD tahun ini mengangkat tema “Perempuan Bangga Anti Ditata”. Tema ini yang paling banyak disepakati di antara tema lainnya. Diksi ‘anti ditata’ diambil berdasar narasi terhadap ‘wanita’ yang ramai diartikan dengan ‘wani ditata’.
“Ada narasi yang bilang kalo wanita itu singkatan dari ‘wani ditata’ jadi kita angkat narasi tandingan yang relate dengan itu, Perempuan Bangga Anti Ditata,” jelas perempuan berkacamata tersebut.
Gege, perwakilan dari Sa Perempuan Papua, menuturkan pentingnya perempuan untuk berkumpul dan menyuarakan pendapatnya.
Sedari tahun 2020 Gege gencar untuk menyuarakan isu tentang perempuan adat. Salah satunya terkait perubahan penggunaan lahan pada tahun 2022. Lahan seluas 18.000 hektare di kampung halamannya, Kebar, Papua Barat, akan dijadikan perkebunan jagung sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Keputusan tersebut diambil dan dieksekusi tanpa seizin perempuan. Sistem masyarakat setempat sepenuhnya dipegang kendali oleh kaum laki-laki.
“Perempuan adat di Papua mulai tersisihkan sedangkan yang menggarap lahan, merawat bumi di sana perempuan. Kami nggak bisa ngapa-ngapain, karena sistem dalam tatanan masyarakat di sana dipegang sama laki-laki. Jadi pemerintah (hanya) bicara kepada laki-laki untuk mengambil tanah kami.”
Ia juga mengungkapkan kekesalannya terhadap pemerintah yang
sewenang-wenang merampas tanah adat mereka.
Gege berharap ke depannya lebih banyak
orang-orang yang membicarakan tentang ruang hidup perempuan adat, sebab mereka
mendapat ruang yang sangat sedikit di negara ini.
“Ya kalau tidak bisa dibicarakan secara umum, secara luas, dari satu orang ke orang lainnya itu sudah cukup. That’s the least you can do. Itu hal paling kecil yang bisa dilakukan,” jelas perempuan berkaus hitam tersebut.
Aksi berakhir sekitar pukul 18.00 WIB, ditutup pernyataan sikap bersama dan pembagian takjil gratis.
Reporter: Donnel, Ainun Zeva, Syahi, Maheswara
Editor: Ariska Sani
Terbaru
Lebih lama