XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Represifitas Negara dalam Aksi Pembredelan Pameran Yos Suprapto

 

Respon Yos Sudarso, atas pembredelan pameran.

Foto: tangkapan gambar wartawan Philosofisonline.id.

Jumat, 20 Desember 2024, menjadi hari yang tak mengenakkan bagi Yos Suprapto. Lukisan yang telah ia persiapkan jauh-jauh hari, harus ditangguhkan oleh panitia pameran di Galeri Nasional. Seniman yang lahir dari Rahim Jogja itu dipaksa gigit jari, usai karya lukisnya dinilai tak relevan dan terlalu vulgar. 

Pada perhelatan ini, Yos Suprapto bakal mengangkat isu pangan serta isu sosial. Bertajuk Kebangkitan Tanah dan Kedaulatan Pangan. Tema ini lahir dari buah komunikasi publik dalam menginterpretasikan sebuah keadaan. Baginya karya-karya itu wajah peradaban masyarakat. 

Alhasil, karya seni tidak perlu diintervensi secara politis. Sebab seni memiliki bahasanya tersendiri dan penciptaannya merupakan bentuk budaya pikir, sikap dan tindakan manusia baik bersifat individual maupun kolektif.

Visual Lukisan yang Memiliki Arti Dalam


Karya lukisan yang Yos buat, hendak mempresentasikan kondisi nyata sektor pangan saat ini. Diketahui seniman asal kota pelajar itu, memvisualisasikan karyanya berasal dari sebuah penelitian ilmiah, dari para peneliti dan aktivis lingkungan. 


“Gambaran pangan yang saya lukis, wujud nyata kondisi saat ini. Sebelum memulai melukis, saya meminta kawan-kawan aktivis lingkungan untuk mengirimkan tanah-tanah dari 38 provinsi kemudian dilakukan uji laboratorium. Secara mengejutkan, hasil uji tanah yang diberi pupuk kimia bersubsidi menjadi tandus, kering, membatu, dan tidak produktif ketika tidak diberi lagi pupuk kimia yang sama,” sebut Yos, menjelaskan titik berangkat dari lukisannya.


Hasil penelitian itu, tidak hanya menunjukkan bagaimana kondisi tanah yang diberikan pupuk kimia. Akan tetapi ketergantungan akan bahan kimia itu dalam sektor pangan. 


Alhasil, penguasaan sektor pangan dikuasai oleh pihak asing tidak dapat terelakkan. Mengingat berkurangnya lahan subur tanah yang diberi pupuk kimia, hingga ketergantungan pangan dari luar negeri. 


Lukisan yang bertajuk Niscaya, pada akun X @ekokuntadhi1.


Pada lukisan petani yang memberi makan pejabat itu. Yos hendak memvisualisasikan, bagaimana kaum berdasi kenyang atas asupan pangan dari kaum tani. 


“Tindakan menyuapkan makanan oleh petani kepada orang berdasi, menyiratkan bahwa petani merupakan produsen pangan dari mulut orang kaya,” tambahnya, ketika menguraikan salah satu karyanya. 


Lukisan yang bertajuk Makan Malam, melalui akun X @okkymadasari.


















Dalam lukisan lain, Yos hendak menunjukkan keterkaitan antara petani dengan para anjing. 


“Memvisualisasikan seorang petani dengan memberi makan anjing. Menyiratkan bahwa petani memerlukan anjing yang cukup, guna melindungi ladang dari serbuan babi hutan,” sambungnya, dengan nada tenang dalam menceritakan karya yang lain. 


Kronologi Pembredelan Lukisan


Pameran Yos Suprapto seharusnya terhelat pada 3 Desember 2024, dalam kesepakatannya dengan Dirjen Kebudayaan pada Juni 2023. Namun ia diminta untuk mengundurkan tanggal hingga 19 Desember 2024.


Ketika timeline itu bergeser, Yos sudah mengalami kerugian finansial. 


“Saya sudah keluar uang sebelumnya, dengan mengundang tamu luar negeri (Australia, Filipina, dan Belanda) pada 1 Desember 2024, dan diharapkan mereka dapat hadir ketika pembukaan, pada 3 Desember dan tanggal 4 Desember 2024 mereka dapat pergi ke Singapura.”


Setelah disepakati tanggal baru, Yos hendak memasang karya-karyanya, pada 13 Desember 2024. Namun, ketika itu kurator yang bertugas tidak berada disana.


Dengan waktu yang semakin sempit, Yos bersama timnya mengebut persiapan pameran.


“14 Desember 2024, saya mengebut dalam pemasangan karya dan Munir mengerjakan instalasi selama tiga hari.”


Setelah karya lukisan selesai dipasang pada 17 Desember 2024, kurator bernama Suwarno, baru tampak di Galeri Nasional. Lantas ia menghubungi Yos Suprapto, dan meminta bertemu di ruang video. 


“Saya diminta untuk menurunkan dua buah lukisan oleh Suwarno, hanya karena visual saja,” ungkap Yos, dengan nada tinggi, ketika menceritakan pertemuannya dengan kurator. 


Ketidaklogisan alasan ini justru dipertanyakan oleh sang seniman. Menurutnya, sang kurator yang merupakan dosen pascasarjana ISI Yogyakarta, tidak menerapkan disiplin ilmu yang dimilikinya. Sebab dalam bahasa seni perlu bersifat multitafsir. 


Mengamati dan menerjemahkan karya seni tidak bisa menggunakan bahasa politis. Sehingga penilaian melalui sudut kacamata politik, tidak bisa dan logis dilangsungkan. 


Catatan Suwarno yang dinilai tidak logis, menyebabkan perdebatan panjang antara keduanya. Lebih dari dua jam, mereka beradu argumen akhirnya menemui kesepakatan. Yos menutup dua lukisan yang dinilai vulgar dengan kain hitam. Kedua lukisan itu, berjudul Konoha 1 dan Konoha 2.


Pada 19 Desember 2024, Suwarno diminta bertemu di ruang rapat para staf Galeri Nasional. Disana ia bertemu Zamrud Satya, Bramantya, kurator Suwarno di dampingi Jarot Mahendra direktur Galeri Nasional, serta tim kurator yang terdiri dari Desi dan Bayu bersama seseorang bernama Hari. 


Pada hari itu, Yos mendapatkan keterangan yang tidak mengenakan. Jarot meminta penurunan tiga lukisan lain, melalui dalih ketidaksesuaian relevansi karya dengan tema yang diusung. 


“Saya heran atas keputusannya itu, padahal menggambarkan dengan jelas figur petani disana,” ungkap, pria berambut putih itu. 


Sejak pertemuan itu, pameran yang awalnya dapat diakses oleh publik mulai tanggal 20 Desember 2024, urung tergelar. Pihak Galeri Nasional melalui postingan Instagram, menyebut pameran itu mengalami penundaan. Mereka berdalih pameran yang hendaknya terselenggara mengalami gangguan teknis. 

 

Ruang Ekspresi yang Terenggut


Kegagalan pameran Yos Suprapto menjadi perhatian publik. Dalam sorotan X, Yos Suprapto sempat menjadi trending topic dalam perbincangan publik. 


Banyak pihak mengecam situasi yang dialami oleh Yos Suprapto.


Situasi yang dialami oleh Yos Suprapto, bukan kali pertama, karya seni ditanggapi secara serius oleh negara. Dalam catatan LBH Jakarta, pada tahun 2016, Belok Kiri Fest seyogyanya terselenggara di Taman Ismail Marzuki (TIM). Namun terpaksa dipindahkan ke Gedung YLBHI, sebab pengelola TIM secara sepihak membatalkan pagelaran seni itu. 


Lalu pada tahun 2021, juga dijumpai pemberangusan berekspresi melalui mural. Mural yang terlukis di dinding dengan menyuarakan kegelisahan saat pandemi Covid-19 berlangsung. 


“Kondisi itu telah menunjukkan kemunduran indeks demokrasi,” ungkap Alif, korespondensi LBH Jakarta, ketika ditemui di Gedung YLBHI. 


“Situasi yang dialami oleh Yos Suprapto, sejatinya telah melanggar amanat Konstitusi pasal 28E ayat 2 dan 28E ayat 3, Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia, melalui UU No. 12 Tahun 2005,” sambung Alif. 


Pelanggaran HAM yang berlangsung atas pembredelan pameran Yos Suprapto, menunjukkan bahwa pemerintahan yang baru telah gagal menciptakan iklim berekspresi yang sehat, khususnya melalui karya seni. 


Alhasil demokrasi yang diharapkan urung terjadi. Negara kembali melakukan tindakan reaktif atas sesuatu yang memvisualisasikan segala kekurangan institusi. 


“Tindakan negara tidak hanya merenggut kebebasan berekspresi, tetapi menekan kebebasan akademik. Mengingat karya Yos Suprapto berasal dari hasil uji saintifik yang melukiskan secara faktual kultur pertanian di Indonesia,” pungkas Alif. 



Wisnu Yogi Firdaus

Reporter: Wisnu Yogi Firdaus

Editor: Gilang Kuryantoro


Related Posts
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar