XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Tanah yang Berubah

Ilustrasi: Rizky Hidayatulloh


Mentari pagi mengintip malu dari balik puncak Gunung Sewu, mengirimkan sinar hangatnya ke Desa Sumber Urip yang masih terlelap. Adi kecil berlari melintasi padang rumput. Kakinya yang telanjang merasakan kelembutan tanah. Udara pagi yang segar membelai wajahnya, membawa aroma manis bunga liar dan jejak embun. 

Di kejauhan, Gunung Sewu berdiri kokoh, puncaknya diselimuti awan putih yang bergerak pelan. Bagi Adi, gunung itu bukan hanya pemandangan indah, tapi juga sosok penjaga yang selalu mengawasinya.

"Adi! Jangan lari terlalu jauh!" Suara ibunya terdengar dari kejauhan.

Adi yang masih berusia sepuluh tahun, menoleh dan melambaikan tangan. 


"Iya, Bu!" teriaknya, tapi tetap melanjutkan langkahnya menuju hutan di tepi desa. Bagi Adi, panggilan ibunya hanya formalitas pagi hari yang sudah ia hafal di luar kepala.


Desa Sumber Urip, tempat Adi tinggal, adalah surga kecil yang tersembunyi di kaki gunung. Dikelilingi hutan lebat dan dialiri sungai jernih, desa ini menjadi rumah bagi ratusan spesies tumbuhan dan hewan. Bagi Adi, hutan adalah taman bermainnya, sungai adalah kolam renangnya, dan gunung adalah penjaga yang selalu mengawasinya.


Adi melompati bebatuan di tepi Sungai Beningkuronggot. Matanya yang tajam mencari-cari ikan kecil yang berenang di air jernih. Ia bisa melihat dasarnya dengan jelas, bebatuan indah yang terlihat seperti permata di bawah air.


Ia berhenti sejenak untuk mengagumi seekor kupu-kupu biru langka, Papilio ulysses, yang hinggap di atas batu. Ia pernah mendengar cerita dari kakeknya tentang kupu-kupu ini, tapi baru sekarang ia melihatnya langsung. Tangannya terulur perlahan, berharap si kupu-kupu akan mendarat di jarinya. 


"Adi!"


Suara berat itu memecah keheningan, membuat Adi terlonjak kaget. Kupu-kupu biru itu terbang  menjauh dan menghilang di antara pepohonan. Adi menghela napas kecewa.


"Ayah?" Adi berbalik, melihat ayahnya berdiri di tepi hutan.


"Ayo pulang, ada tamu penting di desa."


Sepanjang jalan pulang, Adi melihat pemandangan yang tak biasa. Mobil-mobil asing terparkir di depan balai desa. Ia belum pernah melihat mobil sebanyak ini di desanya. Orang-orang berpakaian rapi keluar dari mobil, membawa tas-tas besar dan alat-alat aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya.


"Siapa mereka, Yah?" tanya Adi penasaran. Matanya tak lepas dari orang-orang asing itu.


Ayahnya tersenyum lebar. "Mereka dari perusahaan tambang, Nak. Mereka akan membawa kemajuan di desa kita."


Hingga malam datang, Adi tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh orang-orang asing tadi dan perkataan ayahnya. Apa itu tambang? Bagaimana bisa membawa kemajuan? Ia menguping pembicaraan orang dewasa dari balik pintu rumahnya.


"Tambang ini akan membawa kesejahteraan!" Suara Pak Kades terdengar bersemangat. “Bayangkan, kita akan punya jalan aspal, listrik dua puluh empat jam, dan bahkan pusat perbelanjaan!” lanjut Pak Kades meyakinkan.


"Tapi bagaimana dengan hutan kita? Sungai kita?" Suara lain membantah.


"Kemajuan selalu butuh pengorbanan." Ayah Adi menyahut.


Adi memeluk lututnya erat-erat, pikirannya berkecamuk. Ia tidak mengerti apa itu tambang. Namun, dari nada suara orang-orang, ia tahu sesuatu yang besar–dan mungkin menakutkan–akan terjadi di desanya.


Hari-hari berikutnya, Desa Sumber Urip yang biasanya damai kini dipenuhi ketegangan. Orang-orang terbagi menjadi dua kubu: yang mendukung tambang dan yang menolak. Adi melihat tetangganya yang dulu akrab kini saling melempar tatapan sinis. 


Suatu sore, Adi pulang dari sekolah dan melihat pohon-pohon di tepi hutan mulai ditebang. Suara gergaji mesin memecah kesunyian, mengusir burung-burung dari sarangnya. Adi berlari pulang dengan air mata berlinang.


"Ayah! Mereka menebang pohon-pohon kita!" serunya.


Ayahnya menghela napas. "Adi, anakku. Kadang kita harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan yang lebih baik. Tambang ini akan memberi kita kehidupan yang lebih baik."


Tapi Adi tidak yakin. Ia melihat sungai mulai keruh, ikan-ikan mulai menghilang. Suara burung-burung yang dulu membangunkannya setiap pagi kini jarang terdengar. 


Waktu berlalu. Adi tumbuh dewasa di tengah perubahan desanya. Ia melihat jalan-jalan beraspal menggantikan jalan setapak. Rumah-rumah beton berdiri di tempat pondok-pondok kayu dulu berada. Truk-truk besar hilir mudik, membawa hasil tambang entah ke mana.


Sekarang Adi berusia 18 tahun, berdiri di depan rumahnya dengan tas besar di pundak. 


"Kau yakin dengan keputusanmu, Nak?" tanya ibu Adi. Mata perempuan itu berkaca-kaca.


Adi mengangguk mantap. "Iya, Bu. Aku akan kuliah teknik pertambangan. Aku ingin belajar bagaimana mengelola tambang dengan baik, agar bisa memperbaiki desa kita."


Dengan tekad di hati, Adi meninggalkan Sumber Urip. Ia berjanji pada dirinya sendiri akan kembali suatu hari nanti, membawa perubahan yang lebih baik.


Dua belas tahun kemudian, Adi kembali ke Sumber Urip. Kini ia bukan lagi remaja naif yang meninggalkan desanya, tapi seorang insinyur pertambangan dengan gelar dan pengalaman.


Tapi apa yang ia lihat membuat hatinya mencelos. Sumber Urip yang ia kenal dulu telah berubah total. Hutan yang dulu menjadi taman bermainnya kini tinggal sepertiga dari ukuran aslinya. Sungai Beningkuronggot yang dulu jernih kini berwarna kecoklatan, berbau tidak sedap. Gunung Sewu yang dulu menjulang anggun kini tampak terluka, sebagian sisinya terkikis oleh aktivitas penambangan.


"Adi? Kau kembali!" Suara familiar menyapanya.


Adi berbalik, melihat ayahnya yang kini sudah beruban. Mereka berpelukan erat.


"Ayah, apa yang terjadi dengan desa kita?" tanya Adi, suaranya bergetar.


Ayahnya tersenyum lemah. "Inilah kemajuan yang kita impikan dulu, Nak. Tapi sepertinya ... kita telah membayar terlalu mahal."


Adi mulai bekerja di perusahaan tambang yang beroperasi di desanya. Ia yakin dengan ilmu yang ia miliki, ia bisa membawa perubahan. Namun, realita tak seindah teori. Ia sering berbenturan dengan kebijakan perusahaan yang lebih mementingkan profit daripada kelestarian lingkungan.


Suatu hari, dalam rapat direksi, Adi mendengar rencana yang membuatnya terkejut.


"Kita akan memperluas area tambang ke zona hutan terakhir," ujar sang direktur. "Adi, kau akan memimpin tim ekspansi ini."


Adi merasakan darahnya berdesir. Zona hutan terakhir? Itu adalah bagian hutan yang masih tersisa, tempat ia dulu sering bermain, tempat ia melihat kupu-kupu biru untuk terakhir kalinya.


"Tapi, Pak. Itu adalah satu-satunya area hijau yang tersisa di desa ini. Jika kita—"


"Adi," potong sang direktur. "Kau tahu betapa pentingnya proyek ini bagi perusahaan. Bagi ekonomi daerah. Aku harap kau bisa profesional."


Malam itu, Adi tidak bisa tidur. Ia berdiri di tepi sungai yang dulu jernih, kini keruh dan berbau. Pikirannya melayang ke masa kecil, saat ia masih bisa melihat ikan berenang bebas, saat ia masih bisa minum langsung dari sungai ini.


"Adi? Kaukah itu?"


Adi menoleh, melihat seorang pria seusianya berdiri tak jauh darinya.


"Rudi?" Adi mengenali teman masa kecilnya. "Apa yang kau lakukan di sini?"


Rudi tersenyum sedih. "Aku selalu ke sini tiap malam. Berharap suatu hari sungai ini akan kembali seperti dulu."


Mereka berbincang panjang. Adi mengetahui bahwa Rudi telah menjadi aktivis lingkungan, berjuang melindungi sisa-sisa hutan di Sumber Urip.


"Adi, kau harus membantuku. Kau bekerja di dalam, kau bisa mengubah kebijakan mereka!" pinta Rudi.


Adi terdiam. Konflik berkecamuk dalam dirinya. Di satu sisi, ia adalah insinyur pertambangan. Ia telah bersumpah untuk mengabdi pada perusahaan. Tapi di sisi lain, ia adalah anak Sumber Urip. Tanah ini telah membesarkannya dan kini tanah ini meminta pertolongannya.


Pagi-pagi sekali, Adi sudah berada di kantor direktur.


"Pak, saya ingin mengajukan rencana alternatif untuk ekspansi tambang," ujar Adi, menyodorkan sebuah proposal tebal.


Sang direktur mengerutkan dahi. "Adi, bukankah kita sudah sepakat—"


"Tolong baca dulu, Pak!" Adi bersikeras. "Saya yakin rencana ini bisa menguntungkan semua pihak."


Selama beberapa jam, Adi mempresentasikan idenya. Sebuah rencana pertambangan yang lebih ramah lingkungan, dengan area konservasi yang lebih luas, dan program rehabilitasi untuk area yang sudah ditambang.


"Ini akan mengurangi profit kita." Sang direktur berkomentar.


"Untuk jangka pendek, ya," Adi mengakui, "tapi untuk jangka panjang, ini akan membuat operasi kita lebih berkelanjutan. Kita bisa menjadi contoh pertambangan yang bertanggung jawab."


Perdebatan berlangsung alot. Adi harus berjuang keras mempertahankan argumennya. Namun akhirnya, dengan beberapa revisi, rencananya disetujui.


Butuh waktu bertahun-tahun, tapi perlahan-lahan, Sumber Urip mulai pulih. Area hutan yang tersisa dilindungi ketat. Program penanaman pohon di area bekas tambang mulai menunjukkan hasil. Sungai perlahan-lahan mulai jernih kembali.


Adi, kini di usia 40-an, berdiri di tepi sungai. Ia tersenyum melihat beberapa ekor ikan kecil berenang di air yang mulai jernih. Di kejauhan, ia melihat seorang anak laki-laki bermain di tepi hutan, mengejar kupu-kupu.


"Ayah! Lihat! Aku melihat kupu-kupu biru!" seru anak itu.


Adi tersenyum lebar. "Iya, Nak. Indah sekali, ya?"


Mungkin Sumber Urip tidak akan pernah kembali seperti saat ia kecil dulu. Tapi setidaknya, masih ada harapan. Masih ada kesempatan bagi anak-anak untuk mengenal keindahan alam, untuk bermain di hutan, untuk mengagumi kupu-kupu biru.


Adi memandang ke arah gunung. Meski sebagian sisinya masih menunjukkan bekas tambang, puncaknya tetap berdiri kokoh, diselimuti awan putih yang bergerak pelan. Sama seperti saat ia kecil dulu.


"Terima kasih," bisik Adi pelan. Entah kepada siapa. Mungkin kepada gunung yang selalu menjaganya. Mungkin kepada tanah yang telah membesarkannya. Atau mungkin, kepada dirinya sendiri, yang telah menemukan keberanian untuk membuat perubahan.




Alif Ariga

Editor: Ariska Sani


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar