XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Demokrasi di Indonesia Layaknya Minimarket

Nikolas Borang (kanan) bersama Tri Noviana (kiri), ketika mengisi acara diskusi SFL Indonesia dan Yayasan LKIS. (Foto: Gilang Kuryantoro)

Rabu, 27 September 2024, Student For Liberty (SFL) Indonesia bersama Yayasan LKIS, menggelar diskusi bertajuk “Demokrasi Indonesia di Persimpangan Jalan: Tantangan dan Peluang di Era Digital”. Acara yang bertempat di Kolektif Co-Working Space itu, hadir untuk merespons partisipasi politik masyarakat sipil pada ruang digital. Terdapat dua pembicara utama pada diskusi sore ini: Seorang Aktivis Pro-Demokrasi bernama Nikolas Borang, dan seorang Program Manager Yayasan LKIS bernama Tri Noviana.

“Kenapa sih tertarik politik?” ucap Nikolas Borang memantik diskusi.

“Seberapa sering bertemu dengan pemerintah?”

Baginya, kita yang hadir pada forum diskusi, persis jarang atau tidak pernah bertemu dengan pemerintah. Ia pesimis bahwa mereka (pemerintah) akan serius mengutamakan kepentingan rakyat. Hanyalah sebuah mitos bahwa parlemen bertanggung jawab langsung kepada rakyat.

Nikolas Borang menekankan bahwa kekuasaan partai yang terlalu besar atas parlemen, tidak mewakili kebutuhan rakyat. Sebaliknya, mereka adalah bagian dari masalah yang menghalangi kepentingan rakyat itu sendiri.

“Kemarin sempat ada kasus yang ramai. Ketika salah seorang calon anggota parlemen, belum dilantik, mengkritik Ketua KPK saat acara Lemhanas. Pada akhirnya, dia engga jadi dilantik. Langsung ditarik oleh partainya,” ucap Nikolas menjelaskan.

“Ini ngasih lihat bahwa, alih-alih rakyat, justru hanya partai yang punya kendali atas parlemen” sambungnya.

Demokrasi di Indonesia, bagi Nikolas, seperti sebuah minimarket. Hanya barang-barang tertentu saja yang dijual. Kita tak bisa menemukan barang lain yang tidak ada di etalase.

“Saya mungkin kenal dengan Lurah atau Kades yang jujur. Tapi apakah partai mau untuk mengusung dia? Dan apakah dia punya cukup uang untuk mengikuti proses politik yang mahal?”

Selain peristiwa di lapangan, Nikolas juga melihat bahwa ruang digital, bisa menjadi sebuah peluang.

“Lihatlah Prabowo, menang telak gara-gara Tik-Tok itu. Ya ke depan ada peluang. Dia ngerti banget, gimana caranya menggunakan itu segala macem.”

Partisipasi politik masyarakat sipil pada ruang digital juga menjadi sorotan Tri Noviana. Hal ini dilihat ketika netizen membongkar kedok dari Fufufafa.

“Sekarang kita sudah bisa melakukan Open Source Intelligence (OSIN), dimana sebuah data bisa diakses oleh publik. Itu yang kemudian dilakukn oleh netizen untuk membongkar Fufufafa. Melakukan transfer ke nomor rekening lalu muncul nama cawapres,” ungkap Tri Noviana di forum sore itu.

Oleh sebab itu, dengan terbukanya akses informasi, Tri Noviana mendorong masyarakat untuk menjadi bagian dari jurnalisme warga. Melaporkan kejadian yang dialami di media sosial, lalu berkembang secara organik.

 

Gilang Kuryantoro

Reporter: Gilang Kuryantoro

Editor: Ainun Zeva

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar