XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Teatrikal yang Berbeda di Panggungharjo

Foto: Wisnu Yogi
Siapa bilang kalau Bantul tak ada hal yang menarik. Bukan tentang ISI, atau Wahyudi seorang lurah fenomenal, apalagi stereotip penghasil gondrong desa, alias gondes. Akan tetapi, ada budaya Dukuh Sawit yang menjadi bintang utama, pada gelaran pameran Biennale.

Pameran budaya Biennale bakal digelar dari 20 Agustus sampai 30 Agustus 2024. Berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini Biennale memilih Dukuh Sawit, Desa Panggungharjo, sebagai venue utama. Di sana terdapat budaya Sawit yang digodok menjadi isu utama pada pameran kali ini. 


Wahyudi Anggoro, seorang Lurah Panggungharjo, menyatakan kalau pameran budaya Biennale bakal mendongkrak budaya lokal, sebagai landmark tersendiri di wilayah Panggungharjo. 


"Budaya perlu dimaknai sebagai jalan hidup masyarakat, bukan menjadi pemisah relasi antar golongan. Sehingga pengokohan bahasa tidak dijadikan  alat itu (superioritas), tetapi menjadi laju budaya. Sehingga diharapkan laju budaya dapat bertahan," ujar Wahyudi, Lurah Panggungharjo, saat membuka acara Biennale, 20 Agustus 2024.


Berangkat dari Titik Ekologi


Tahun ini, pameran Biennale dimotori oleh Asana Bina Seni. Mereka bakal mengangkat tema Golong Gilig Sawit Gayeng Ngrumat Bumi. Biennale ingin memberi pesan bahwa eksistensi masyarakat tak bisa terlepas dari alam. 


Bangkit Salahudin, seorang Kepala Dukuh Sawit, menuturkan kalau pemilihan tema bakal menjadi akar penguat dalam masyarakat. 


“Pengangkatan tema itu, memberikan warna mufakat dalam penentuan keputusan. Serta kebersamaan menjadi akar penguat dalam masyarakat. Selain itu, wajah lokalitas Dusun Sawit yang sudah hidup dengan alam, menjadi warna tersendiri dalam agenda Biennale,” tuturnya ketika dijumpai awak Philosofisonline.id.


Selain dilihat atas budaya Dukuh Sawit, pemilihan ekologis menjadi penting setelah melihat situasi beberapa waktu terakhir, ditambah meroketnya diksi tobat ekologis setelah pemilihan presiden kemarin. Kerusakan alam yang tidak mengindahkan berbagai kajian lingkungan, diharapkan menjadi titik balik dalam perawatan alam nantinya.


Keseriusan dalam mengangkat isu lingkungan, terlihat melalui pementasan wayang potehi, oleh Andika. Cerita yang mengangkat potret sosial sebuah negeri yang bernama Haw Kek Kok. Negeri yang terpancar subur dengan alamnya, tetapi mengalami karma buruk oleh lingkungan. 

   

Negeri itu terkena badai kekeringan yang tak berkesudahan. Ragam cara dilangsungkan dalam menangani krisis iklim itu. Bahkan tidak sedikit, pihak yang ingin mengambil tampuk kekuasaan. Kondisi itu seakan mengajak para audiens untuk aware atas situasi yang berlangsung. Mereka perlu mengkaji lebih dalam atas peran yang dapat disumbangsihkan, sebagai respon kondisi yang berlangsung.


“Ketika bencana alam itu terjadi, atas karma manusia. Maka diperlukan respon yang tepat dalam menanggulangi hal itu. Saya menilai cerita yang dibawakan relevan dengan kondisi saat ini. Ketika alam sudah mengkhianati manusia, atas ulahnya sendiri. Maka kekacauan akan berlangsung, sebagaimana yang terlukis pada matinya sang raja, oleh sosok siluman,” ujar Andhika, usai pementasan wayang potehi.


Selain membawa unsur ekologis, Biennale juga menghadirkan ruang-ruang kecil masyarakat. Ruang-ruang yang tak terduga memendam cerita, serta eksistensinya sebagai saksi bisu peristiwa. 


Interaksi Masyarakat Pada Ruang yang Berbeda 


Pasca pembukaan Biennale, khalayak luas dipersilahkan untuk berkeliling di wilayah Sawit. Mereka diperlihatkan atraksi-atraksi di setiap sudutnya. Salah satunya adalah pos ronda.


Pos ronda sebagai sebuah ruang, hanya dilihat sebagai pos pengaman belaka. Namun jika diuraikan lebih jauh, pos ronda menjadi ruang interaksi oleh berbagai lapisan masyarakat. 


Ketika mengunjungi Cakruk Kulon Sawit RT 02. Ashari, salah seorang awak Kolektif Arungkala, menjelaskan keterpilihan ruang itu. Serta menuturkan bagaimana pos ronda, menjadi ruang cerita bagi masyarakat.


“Keterpilihan ruang ini, berawal dari aspirasi masyarakat. Tapi jangan dilihat hal sepele, pos ronda dalam berbagai lintasan waktu, menjadi magnet berkumpul masyarakat. Ketika berbagai macam individu duduk bersama, lalu bercerita akan banyak hal. Maka catatan lisan mengalir deras, sehingga berbagai informasi dapat dijumpai bahkan hingga yang bersifat privat,” tuturnya, dengan raut wajah yang sedikit sembab.


Selain menjadi ruang bercerita banyak hal. Pos ronda juga memiliki peran simbolis sebagai ruang pengamanan. Fungsi inilah yang mendorong kehidupan pada pos ronda. Terlebih kultur masyarakat Sawit yang masih mempertahankan tradisi ronda malam, sebagai amalan dalam penjagaan kampung.


“Saat melakukan observasi di wilayah Sawit, aktivitas ronda malam terus berjalan. Ditengah berbagai wilayah mulai mengurangi tradisi ini. Tiap malam, warga Sawit berkumpul berkisar 5-10 orang, dalam upacara (ronda malam) itu,” tambahnya, sembari membagikan zine kepada khalayak luas.


Setelah singgah di pos ronda, penikmat seni diarahkan ke Joglo Pak Newu. Sembari berjalan, salah seorang seniman bernama Shodiq, menceritakan bagaimana dirinya melaksanakan kegiatan observasi, dengan durasi sekitar satu pekan. Sebelum agenda Biennale dilaksanakan.


“Ketika aku berbaur dengan masyarakat, banyak hal yang kudapat mengenai lokalitas masyarakat Sawit. Meskipun dengan durasi sekitar satu pekan, tentu pemahamanku atas budaya Sawit, berbeda dengan rekan-rekan lain,” ujarnya, sembari menghisap lintingan rokok ditangannya. 


Ketika sampai di Joglo Pak Newu, ia menjelaskan magnet apa yang menarik di tempat itu. 


“Tempat ini menjadi salah satu pojok interaksi warga. Masyarakat memanfaatkan tempat ini dalam menjalani tradisi, hingga aktivitas sosial,” tambahnya, sembari menunjukkan koleksi rumah itu. 


Ditengah perbincangan yang intens dengan audiens. Shodiq mengenalkan salah seorang kawan bernama Alit, kurator perempuan. Sontak Alit menjelaskan, apa saja yang menarik di dalam Joglo Pak Newu. 


“Tempat ini, menjadi ruang atraksi oleh beberapa orang, seperti Budi Dani S. Darmawan. Ia melihat, bagaimana pergeseran kehidupan anak-anak Dusun Sawit, setelah teknologi gadget memasuki lini kehidupan mereka,” tutur Alit, seorang kurator perempuan, dari tanah Surakarta. 


“Selain atraksi dari Budi, Joglo Pak Newu juga menghadirkan penampilan dari Bangkit. Di sini terdapat beberapa keris milik beliau, ketika melihat benda itu, tidak hanya terpikirkan atas fungsi mistisme saja. Melainkan dapat dipelajari pula, bagaimana pembuatan keris itu dilangsungkan,” sambung perempuan berkacamata itu, sambil mengajak audiens untuk melihat keris yang dimaksud.


Lumintu Teatrikal Digital Keseharian Warga Sawit


Setelah beberapa waktu di tempat itu, seorang awak Kolektif Arungkala menghampiri. Seorang laki-laki dari timur Indonesia, dengan rambut ikalnya yang diikat, ia biasa dipanggil dengan nama Amos. Amos mengajak para pengunjung untuk pergi ke tempat selanjutnya. Pilihan tempat itu, jatuh pada Joglo RT 1. Salah satu tempat favorit yang ditunjukkan, atraksi film oleh Risang Panji Kumoro.


Film itu merupakan salah satu karya sinematografi yang terbilang unik. Dalam karyanya, Risang memadukan cuplikan-cuplikan keseharian warga yang diunggah di status Whatsapp mereka. 


Cuplikan itu dirajut olehnya, sehingga menghasilkan suatu teatrikal tentang kehidupan warga Sawit. 


Tidak sampai disitu, Risang saat ditemui wartawan Philosofisonline.id, menyebut beberapa warga ada yang dijadikan aktor filmnya. Mereka terkemas selayaknya keluarga, meski bukan berasal dari ikatan darah secara langsung.


“Jadi Ibu Nestri, Nevan, dan Praba, masing-masing bukan berasal dari ikatan ibu dan anak, mereka hanya tetangga saja. Akan tetapi, saya mengemasnya seperti keluarga”, tutur Risang.


Risang melanjutkan, betapa sulitnya membuat film ini.


“Kesulitan dalam pembuatan film ini, dimulai dari aktivitas mereka (warga) yang berbeda. Perbedaan waktu ini, mendorong saya yang menyesuaikan dan ikut aktivitas warga. Seperti mengikuti Bu Nestri masak, menemani Praba memandikan kuda hingga menarik delman saat malam hari, sampai aktivitas Nevan yang hobi dalam memancing,” sebutnya, sembari tersenyum.


Kondisi ini, turut mempengaruhi proses pembuatan film itu sendiri. Perbedaan waktu dalam keseharian mereka, berbuntut dalam pengambilan gambar melalui tayangan status Whatsapp. Setiap pemeran dipilih untuk dirajut sebagai bahan film. 


“Pada saat itu, aku nggak bisa maksain improve yang bukan keseharian mereka. Dari situlah semua data sama fakta keseharian mereka aku kumpulin dulu, mereka aktivitasnya apa saja, lalu disusun sebagai cerita. Dari sanalah saya bertemu mereka (para pemain),” sambungnya, usai film itu selesai diputar. 


Film yang dibuat oleh Risang, berbanding terbalik dengan nilai-nilai sinematografi yang diajarkan, pada bangku-bangku pendidikan. Jika umumnya, film itu disutradarai oleh satu orang, lalu lakon yang disajikan mengikuti sandiwara sutradara. Maka Risang melakukan sebaliknya. 


Para pemain dan sutradara, berasal dari wajah-wajah Dusun Sawit. Masyarakat beratraksi sesuai keinginannya, melalui unggahan status Whatsapp. Amos menjelaskan, Risang berusaha menampilkan atraksi senatural mungkin.


“Ketika pemain diatur oleh satu entitas bernama sutradara, maka film yang dihasilkan sudah tidak lagi otentik. Jika mengacu pada unsur lokalitas. Sehingga perjumpaan Risang yang lebih lama dengan warga, menghasilkan teatrikal yang berbeda dan mendobrak tiang-tiang sinematografi, selama ini,” ujar Amos, sembari menikmati sajian fim itu, bersama para audiens.


Rangkaian lokalitas itu, hendak ditawarkan sebagai konsorsium budaya, di tanah Panggungharjo. Dengan pengangkatan lokalitas masyarakat. Bangkit berharap dapat menjadi pendongkrak utama. Kala teatrikal disajikan kepada khalayak luas. 


“Harapannya kegiatan ini, menjadi pemicu dalam perawatan budaya, sebagai unsur yang tidak terpisahkan. Ketika upaya bersama dalam merawat bumi,” tutup Kepala Dukuh Sawit itu. 



Wisnu Yogi 

Editor: Gilang Kuryantoro

Reporter: Riski Bagus, Wisnu Yogi, Hisyam Billya, Kartiko Bagas


Related Posts

Related Posts

Posting Komentar