XMsD68HnejBXABBaSiR3nl4DhiBV28OkDfbqDe4F

Wajah Baru Pendidikan : Penyalur Tenaga Kerja Migran


Beberapa waktu terakhir, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tidak lagi menjadi syarat yang dominan untuk melamar pekerjaan. Ada pertimbangan atau alternatif lain selain IPK, yaitu program magang. Program magang di perguruan tinggi gencar diterapkan sejak kurikulum merdeka. Sayangnya program ini menjadi malapetaka bagi sebagian mahasiswa.

Program magang, seyogyanya digunakan untuk melatih keterampilan mahasiswa. Akan tetapi, justru dikemas dalam penyaluran tenaga kerja. Persis yang terjadi pada beberapa waktu lalu. Alih-alih magang, sebagian mahasiswa justru dikirim ke luar negeri sebagai tenaga migran. 

Mahasiswa tidak memperoleh pengetahuan, seperti yang diharapkan. Mereka justru harus menahan dinginnya langit Eropa, sembari berjuang di benua biru itu.

Kondisi ini berawal dari perlambatan populasi penduduk di berbagai negara, seperti Jepang dan Korea Selatan. Sayangnya ini berlawanan dengan perkembangan teknologi. 

Dalam industri misalnya, perusahaan masih membutuhkan seseorang dalam mengoperasikan dan mengawasi mesin. Kebutuhan orang yang terlatih ini, mengantarkan negara-negara itu melakukan impor tenaga kerja, alias migran. Tidak hanya di bidang industri, banyak pula tenaga migran yang bekerja di sektor domestik. 

Biasanya tenaga migran diambil dari negara ketiga, misalnya Indonesia. Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengatakan, Indonesia menjadi pemasok terbesar kedua tenaga migran setelah Filipina. 

Mahasiswa Jadi Sasaran Baru Buruh Migran

Melihat situasi pasar global, pemerintah membuka pintu bagi institusi pendidikan untuk menyalurkan tenaga kerja. Skema ini dilihat melalui promosi pengiriman pelajar ke negara asing, contohnya Jepang dan Korea Selatan. 

Kondisi ini sejalan dengan apa yang dijelaskan Hani, seorang koresponden Beranda Migran. Terdapat pergeseran tren tenaga kerja migran. 

“Jika berkilas balik pada 10-20 tahun lalu. Para pekerja migran berasal dari penduduk tamatan pendidikan kelas menengah, bahkan kelas rendah. Selain itu, pekerja migran berasal dari berbagai wilayah. Sebut saja Gunungkidul, Kulon Progo, dan Cilacap. Artinya sebelum pengiriman tenaga kerja. Para calon buruh migran, perlu dilakukan pelatihan baik dari bahasa asing hingga pelatihan keterampilan yang dibutuhkan.”

"Melihat hal itu, perlu adanya pemangkasan dalam pembekalan tenaga kerja. Hal ini mendorong pengiriman tenaga kerja berasal dari lingkungan pendidikan. Akibatnya penyodoran program pengiriman pelajar semakin tinggi di berbagai negara,” sambungnya.

Dengan karakter generasi muda yang adaptif, memahami teknologi, serta penguasaan bahasa asing, sebagian mahasiswa diterbangkan ke luar negeri. Sehingga dambaan mendapat pengetahuan dan keterampilan, pupus seketika. 

Apa yang dialami oleh sebagian mahasiswa, menyentuh hati Wulan. Ibu purna migran ini menilai, balutan program magang luar negeri, sebagai pola yang sama dalam penyaluran tenaga kerja. 

“Apa yang dialami oleh sebagian mahasiswa di Jerman menunjukkan, negara secara langsung menjadi penyalur tenaga kasar. Sehingga kebutuhan pendidikan, seakan berubah karena mereka ditempatkan di lini-lini kasar,” ucap Wulan pada sesi diskusi, 1 Juni 2024. 

“Sehingga tidak mengejutkan, jika negara berpegang pada tenaga migran. Sebab pada tahun 2024 saja, pemerintah berhasil meraup devisa sebesar Rp 230,81 triliun,” dengan nada tegas, saat dijumpai 13 Juni 2024.

Tidak heran, munculnya banyak perjanjian atau Memorandum of Understanding (MoU) antara lembaga pendidikan dan perusahaan asing. Seperti yang terjadi di Stikes Sukabumi dengan salah satu perusahaan asal Jepang, yaitu NPO Kanken Network pada 2019 lalu. 

Baru-baru ini, pola perekrutan serupa bisa dijumpai di perguruan tinggi. Dengan dalih magang di luar negeri, mahasiswa malah dijadikan tenaga kasar. Seperti yang terjadi di berbagai perguruan tinggi, banyak mahasiswa yang tergabung dalam ferienjob.

Ferienjob bukanlah suatu program magang atau sebuah perusahaan. Di Jerman, istilah tersebut melekat pada pekerja paruh waktu. Kebanyakan ferienjob diisi oleh mahasiswa yang membutuhkan dana tambahan atau sekadar mengisi waktu luang.

Di Indonesia, ferienjob justru dikemas dalam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), sebuah kegiatan magang dari Kemendikbud Ristek. Banyak mahasiswa yang tertipu dan menjadi mangsa. Data Beranda Migran menyebutkan, terdapat 1.047 mahasiswa yang menjadi korban. 

Selain peran Kemendikbud Ristek, ada pula peran aktif kampus dalam penyaluran tenaga kerja kasar. Guru besar Fakultas Ekonomi, Universitas Jambi, membantu pengiriman mahasiswanya ke luar negeri. Hal ini berawal dari iming-iming perusahaan akan memberikan dana CSR, jika berhasil menggaet mahasiswa dalam jumlah tertentu.

Tidak hanya di Jambi, pengiriman tenaga kerja kasar ke luar negeri, juga terjadi di berbagai daerah. Misalnya di Jawa Tengah, tepatnya di Universitas Sebelas Maret (UNS). Juga di Makassar, Universitas Hasanuddin (Unhas).

Menurut informasi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Jerman, mahasiswa yang berangkat ke luar negeri, disalurkan oleh tiga agen penyalur tenaga kerja. Mereka ditempatkan pada sektor-sektor kasar: kurir, petani, hingga kuli bangunan. 

Tidak berhenti disitu, banyak mahasiswa yang menanggung beban biaya sendirian. Mulai dari pengurusan dokumen, pembuatan visa, biaya pulang-pergi penerbangan, hingga biaya keseharian mereka. Akhirnya beberapa orang tua sampai rela mengutang untuk menutup ongkos pengeluaran.

“Kami terkejut atas yang menimpa anak-anak saat ini. Dorongan ini telah menunjukkan, bahwa ketersediaan lapangan pekerjaan di dalam negeri, tidak selaras dengan angkatan kerja. Akibatnya negara mengirimkan ke luar negeri, sebagai pengganti kami,” ucap Wulan dengan heran.  

Hanya iming-iming pendapatan lebih besar dan berkarir di negeri yang mereka dambakan. Menjadi klise dalam penyaluran tenaga migran. 

Terbukanya pintu penyaluran tenaga migran lewat pendidikan menandakan kalau lapangan pekerjaan masih belum merata. Persoalan serupa, juga terjadi di negara tetangga, Filipina. Kondisi di sana bahkan jauh lebih miris daripada Indonesia. 

Potret Serupa di Negeri Lumbung Padi

Filipina lebih dulu menggunakan pendidikan untuk mencetak tenaga migran. Rei, seorang koresponden dari Asia Pacific Mission for Migrants (APMM), memaparkan kondisi di negeri asalnya, Filipina. 

"Apa yang terjadi di Indonesia adalah cerminan yang terjadi di Filipina. Skema yang menjerat pelajar saat ini merupakan tiruan yang sudah berlangsung disana (Filipina). Bahkan untuk bertahan hidup, rakyat Filipina terpaksa menjadi tenaga kerja migran. Sehingga pendidikan seakan berubah fungsi menjadi pencetak tenaga kerja.” 

Ketergantungan tenaga migran di Filipina, dimulai sejak abad ke-20 M. Masa kediktatoran Ferdinand Marcos, memaksa rakyatnya untuk bekerja ke luar negeri. Tahun 1977 hingga 1982, negara berhasil mengumpulkan devisa sebesar US$ 8,2 - 24,4 juta milyar. 

Ketergantungan pada sektor migran, tidak lantas membuat mereka sejahtera. Belakangan banyak tenaga migran yang merasa kurang diperhatikan. Pemerintah seakan membuang pekerja yang sudah tidak produktif lagi. Kasus ini nyatanya tertulis dalam catatan DNW (Department of Migrant Workers). Terhitung pada tahun 2022, lebih dari 24.000 kasus yang melibatkan antara pekerja migran Filipina dengan penguasa. 

Hal ini semakin menunjukkan peneguhan negara atas eksploitasi tenaga kerja. 

Bahkan jika dibedah lebih jauh. Agar dapat memperoleh status pekerja migran, banyak dari rakyat Filipina perlu merogoh kocek lebih dalam, sebagai biaya penyaluran tenaga kerja.

Sebab jika merujuk data Bangko Sentral Ng Pilipinas (Bank Sentral Filipina), angka pengiriman uang dari luar negeri, pada tahun 2022 tertinggi sepanjang sejarah. Sebesar US$32.54 triliun. 

Angka ini bahkan tumbuh 3,6% dari periode sebelumnya. Pada tahun 2021, angka uang yang masuk ke Filipina, sudah mencapai US$31.42 triliun. 

Sehingga imajinasi pendidikan yang ideal tidak lagi berlaku di Filipina. Tidak ada lagi seorang anak yang bercita-cita menjadi dokter, pilot atau sebagainya. Kebanyakan dari mereka justru menginginkan menjadi buruh migran. 

Maka tak heran, kalau setiap harinya, terdapat 7000 orang yang menjadi buruh migran. Dan terdapat 15 juta jiwa yang berstatus sebagai tenaga migran. Akibatnya ketergantungan dalam pengiriman tenaga migran menjadi sangat besar di Filipina. 

Besarnya devisa yang hendak diraih, telah mendorong negara mempekerjakan rakyatnya di luar negeri. Mereka (penguasa) beralasan program ini menurunkan angka pengangguran, tetapi tidak memberikan informasi secara utuh, atas beban kerja yang hendak di dapat. 

Demi ekonomi, demi uang yang hendak didapat, mendorong institusi pendidikan agar berperan aktif, atas penandatanganan MOU dengan perusahaan asing. 

Negara seharusnya berdiri dalam memberikan pendidikan yang layak dan berkualitas. Bukan memanfaatkan pendidikan demi keuntungan semata. Situasi ini dikhawatirkan menjadi awal pergeseran fungsi pendidikan. Pendidikan bukan lagi cara mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi hanya menjadi legalisasi dalam pengiriman tenaga migran.


Wisnu Yogi Firdaus

Editor: Gilang Kuryantoro

 

Related Posts

Related Posts

Posting Komentar