Aksi Hari Buruh 1 Mei 2024 di Titik Nol, Daerah Istimewa Yogyakarta (Foto : Reporter Philosofis) |
Rabu, 1 Mei 2024, area
Titik Nol KM Yogyakarta dipenuhi oleh ratusan orang yang menggelar
demonstrasi untuk memperingati Hari Buruh. Massa aksi dihadiri berbagai elemen
seperti serikat buruh, mahasiswa, dan masyarakat umum. Aksi dimulai sekitar
pukul 10.00 WIB dengan diawali longmarch menyusuri Jalan Malioboro. Peringatan Hari Buruh 2024
diwarnai berbagai
isu menarik, di antaranya terdapat isu-isu transgender dan difabel
dalam lingkungan kerja.
Matahari
belum mencapai ubun-ubun kala lagu Bongkar dari Iwan Fals mengalun, mengiringi
massa aksi yang mulai berjalan dari depan Gedung DPRD DIY. Yel-yel dan
seruan-seruan tuntutan terus diteriakkan di sepanjang Jalan Malioboro pagi itu.
Tak berselang lama, giliran lagu Jogja Istimewa dari Jogja Hip Hop Foundation
diputar, bersama seruan-seruan bernada ironi dari para demonstran.
Bukan hanya serikat buruh dan mahasiswa yang ikut tergabung
dalam aksi. Namun, terdapat kelompok lain seperti Transmen Indonesia yang
membawa isu pekerja transgender dan SIGAP Indonesia yang mendorong gerakan
inklusi di dunia kerja.
Transgender dan Persoalannya dalam
Dunia Kerja
Tama, pekerja trans yang tergabung dalam Transmen
Indonesia turut serta dalam aksi hari itu. Ia mewakili rekan-rekan transgender
terutama trans laki-laki, berusaha menyuarakan kesulitan dan diskriminasi dalam
dunia kerja yang terjadi kepada mereka.
“Kami
merasa selama ini sulit mendapatkan pekerjaan, karena baik dari negara maupun
perusahaan-perusahaan tidak punya kebijakan untuk melindungi teman-teman trans
dari diskriminasi. Terutama yang berbasis identitas gender dan ekspresi,”
ujar Tama sembari menggenggam bendera trans
laki-laki.
Pernyataan
Tama tersebut menyoroti masalah serius yang dihadapi oleh komunitas
transgender dalam dunia kerja. Diskriminasi berbasis gender masih menjadi
hambatan utama bagi mereka untuk mendapatkan kesempatan yang setara dan layak
dalam bidang pekerjaan.
Saat ini, mereka terpaksa harus bergabung di
lingkungan kerja yang tidak mereka inginkan atau terjebak dalam kerja-kerja
informal. Padahal, kerja-kerja informal memiliki perlindungan yang tidak jelas
dan upah di bawah layak.
Selain
tantangan di dunia kerja, Tama dan transgender lainnya mengalami
kesulitan
di dunia pendidikan. Banyak dari mereka didiskriminasi berdasar gender dan
ekspresi saat bersekolah atau berkuliah.
“Dari
catatan Transmen Indonesia, banyak catatan yang memperlihatkan
banyak banget teman-teman yang harus dikeluarkan atau drop out karena
alasan diskriminasi berbasis identitas gender dan ekspresi. Kalau teman-teman
harus keluar dari sekolah, itu menyebabkan pendidikannya rendah dan semakin
sulit mendapatkan pekerjaan,” ungkap Tama dengan tegas.
Tindakan
diskriminatif dalam dunia pendidikan tidak hanya merugikan komunitas
transgender secara langsung, tetapi juga berdampak pada masa depan dan
kesejahteraan mereka. Hak-hak yang tidak terpenuhi atas akses pendidikan, tidak
hanya mempersempit peluang untuk berkembang, tetapi juga menghambat kemampuan
mereka untuk bersaing di dunia kerja.
Foto poster yang dibawa peserta aksi (Foto : Reporter Philosofis) |
Tantangan Pekerja Difabel dalam
Lingkungan Kerja
Pada
saat yang bersamaan, persoalan dalam lingkungan kerja tidak hanya ditemui oleh
komunitas transgender, tetapi juga kelompok pekerja difabel. Minimnya pemenuhan kuota pekerja difabel
hingga lingkungan kerja yang kurang ramah difabel menjadi sorotan.
“Kuota
di perusahaan swasta maupun juga kuota sebagai ASN, BUMN, BUMD, ini kemudian
jadi tuntutan teman-teman pekerja difabel. Yang lain ada itu tadi Mas, menciptakan lingkungan kerja yang inklusif,” ungkap Wahyu sebagai perwakilan SIGAP
Indonesia.
Ia
menyebutkan, pemerintah telah menetapkan kuota satu persen bagi
pekerja difabel di perusahaan swasta dan dua persen di perusahaan negara. Ia
pun merujuk pernyataan mantan ketua forum difabel, Setya Adi Purwanto, bahwa
jumlah tersebut masih belum terpenuhi.
Wahyu
menjelaskan masalah kelompok difabel juga melibatkan aspek lingkungan kerja. Ia
menyoroti lingkungan fisik dan nonfisik dunia kerja yang seharusnya ramah bagi
difabel. Misal, adanya teman-teman tuli yang memerlukan juru bahasa isyarat.
Menanggapi
persoalan yang dihadapi oleh kelompok pekerja difabel, Wahyu sebagai perwakilan
SIGAP Indonesia berharap kedepannya terdapat pengawasan dalam pemenuhan hak-hak
pekerja difabel dalam lingkungan kerja.
“Harapannya
ada monitoring evaluasi, terutama dari Komisi Nasional Disabilitas. Teman-teman
di Republik Indonesia sudah memiliki Komisi Nasional Disabilitas (KND), yang
tugasnya sebenarnya adalah menjadi monitor bagaimana hak-hak difabel dipenuhi
di negara tercinta kita," pungkas Wahyu.
Alif Ariga
Reporter: Alif Ariga, Sabrina Nurul, Ariska Sani,
Kartiko Bagas, Isna Kusuma, Ainun Zeva, Afwan
Editor: Ariska Sani