Ilustrasi: Zhafran Naufal Hilmy |
“Masifnya pembangunan di Kota Yogyakarta mengorbankan banyak hal, salah satunya ruang bermain anak. Ruang yang seharusnya menjadi hak anak, berangsur-angsur sirna. Satu persatu, ruang itu digantikan oleh aspal, gedung, dan beton.”
Sorot matahari masih begitu tajam di Kota Yogyakarta, meski waktu sudah menunjukkan pukul 14.30 WIB (5/5). Sinarnya semakin menyengat kulit ketika berhenti sejenak menunggu lampu merah di Perempatan Badran, Jetis, Kota Yogyakarta.
Dari kejauhan, nampak sekumpulan anak-anak bermain di trotoar jalan. Ada yang membawa layangan, sepeda, dan mainan. Sesekali, mereka diklakson kendaraan lantaran berlarian di perempatan.
Meski ada resiko tertabrak kendaraan karena bermain di pinggir jalan besar, binar ceria tetap bersemai di wajah mereka. Ketika lampu merah berganti hijau, pemandangan anak-anak yang bermain di jalanan berangsur hilang. Pemandangan berganti dengan riuh, semrawut oleh macetnya jalanan di kota yang dihuni 29.800 penduduk ini.
Di kota yang luasnya hanya 1,02% dari keseluruhan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sering disesaki wisatawan, bukanlah hal yang aneh jika melihat anak-anak lalu-lalang bermain di jalan. Didin, seorang aktivis miskin kota dan salah satu pendiri perkumpulan komunitas jalanan bernama Harapan Fian yang bergerak dalam pendidikan dan kesehatan, mengamini hal tersebut.
“Ada memang, tapi enggak banyak, anak-anak yang bermain di jalanan,” ucapnya (7/5). Sambil sesekali menghisap rokok elektriknya, Didin menjelaskan bahwa kurangnya ruang bermain membuat anak-anak memilih jalan sebagai salah satu tempat untuk bermain.
Mereka Hanya Ingin
Bermain
Sembari menyeruput es kopi yang ia
beli di swalayan untuk melepas dahaga, Didin melanjutkan perbincangan.
“Anak-anak di sini (Kampung Badran) masih belum punya banyak ruang untuk
bermain,” ujarnya sembari duduk di teras Sekretariat Harapan Fian.
Didin bercerita, meski di belakang sekretariat terdapat lahan terbuka yang cukup luas untuk bermain, namun ruang itu hanya berada di satu RW. Sedangkan, masih ada tiga RW lain di Kampung Badran yang tak memilikinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ruang bermain anak-anak masih sangat terbatas.
“Aku saiki raiso bal-balan ning lapangan e, Mas. Soale dinggo klub (aku sekarang nggak bisa main bola di lapangan, karena dipakai klub bola: red),” celetuk seorang anak yang tiba-tiba menghampiri Didin di tengah obrolan, sambil mengeluh. Lapangan yang dimaksud adalah Lapangan Kopertis, Bumijo, Jetis.
Dari celetukan
itu, Didin kemudian menyampaikan jika ruang bermain tidak bisa dilepaskan dari
ruang publik. Ruang publik harusnya bisa diakses dan juga milik anak-anak.
“Ketika membicarakan ruang bermain di Jogja sebenarnya sangat kompleks. Ada hal-hal lain yang beririsan, seperti ruang publik dan mereka yang hidup di jalan (homeless)” lanjutnya dengan nada serius.
Aktivis sosial yang sudah berkecimpung sejak 2011 ini menuturkan bahwa, ruang bermain dan ruang publik adalah hak untuk semua anak-anak. Baik anak-anak yang tinggal di rumah atau mereka yang hidup di jalanan.
“Semua harusnya punya hak yang sama. Oke, di Badran mereka punya lahan yang cukup buat bermain, walaupun sangat terbatas. Terus anak-anak yang ikut orang tuanya jadi pemulung, mereka main dimana?” terangnya seraya diiringi suara anak-anak yang berlarian melewati gang mewarnai obrolan.
Kata Didin, jalanan memang satu-satunya tempat bermain untuk anak-anak di jalan, namun hari ini situasinya memilukan. Selain karena banyaknya volume kendaraan di Kota Yogyakarta yang membahayakan anak-anak, ada pula kebijakan yang memaksa mereka menyingkir dari jalanan.
“Tahun 2014, ada
Peraturan Daerah (Perda) tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng).
Aturan itu membuat tindakan menggelandang dan mengemis dilihat sebagai tindak kriminal. Akhirnya
mereka terpaksa mencari tempat yang aman dari kejaran Satpol PP,” ucapnya
menunjukkan keprihatinan.
Selain usaha
kriminalisasi bagi mereka yang hidup di jalan, Perda DIY No. 1 th 2014 juga
menganggap perilaku pergelandangan atau homeless adalah tindakan yang tidak
menaati norma. Akan tetapi, di sisi lain, Didin melihat kebijakan itu ada sisi
baiknya untuk anak-anak.
“Sebenarnya, kalau
dilihat dari standar hak bermain anak yang di dalamnya ada syarat soal rasa
aman, kebijakan itu ada baiknya. Tapi, apakah setelah itu mereka bisa mengakses
ruang publik? siapa yang menjamin mereka punya tempat bermain?” seru Didin.
Persoalan minimnya
ruang untuk anak-anak bermain tidak hanya terjadi di Badran dan mereka yang
hidup di jalanan Kota Yogyakarta, tetapi juga di kampung pinggiran rel kereta.
Kampung itu bernama Bong Suwung, yang terletak di sebelah Barat Stasiun Tugu,
Yogyakarta. Sebuah pemukiman berpetak dengan atap yang rendah dan hanya
berjarak lima meter dari rel kereta api.
“Di Bong Suwung,
anak-anak bermain di rel kereta api. Kadang mereka harus bergantian dengan
kereta yang lewat,” jelasnya.
Sulitnya akses
ruang gerak untuk anak di Bong Suwung, memunculkan masalah lain, yaitu soal
tumbuh kembang anak. Seorang Balita yang ditemui Harapan Fian kala mengadakan
Posyandu Jalanan, terdeteksi mengalami telat berjalan. Bukan karena kekurangan
makanan bergizi atau vitamin, tetapi akibat tidak adanya ruang yang bisa
diakses untuk bergerak.
“Kebutuhan asupan
gizi udah terpenuhi dari Puskesmas, tapi mereka gaada tempat untuk menstimulasi
gerak motorik. Ya, akhirnya tetep telat (jalan),” ucapnya. “Dalam psikologis
anak, umur 0-5 tahun adalah waktu dimana mereka mengembangkan syaraf
motoriknya. Jadi, harus disediakan ruang untuk bergerak,” lanjut Didin
menjelaskan sambil sesekali mengubah posisi duduk.
Ruang Publik
Menyempit, Ruang Bermain Semakin Sulit
Apa yang terjadi di Bong Suwung
adalah contoh ketika ruang publik yang terbatas dan sukar diakses, menghambat
tumbuh kembang anak. Seorang pengamat anak dan Kepala Prodi Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), Universitas Negeri Yogyakarta, Mutmainnah, juga menuturkan
pentingnya bermain dan bergerak bagi anak.
“Bermain itu kebutuhan anak. Ketika
anak bermain, mereka bisa mengembangkan berbagai aspek seperti fisik, emosi,
dan bahasa. Selain itu, bermain juga memenuhi hak anak untuk bersenang-senang,”
jelas perempuan yang sering disapa Bu Inah, ketika dihubungi lewat panggilan Whatsapp
(9/5).
Perhatian akan hak bermain dan hak
mengakses ruang publik untuk anak tampaknya masih diabaikan oleh Pemerintah
Kota (Pemkot) Yogyakarta. Wahyu Aji, dari Komunitas Pemuda Tata Ruang (Petarung)
mengatakan demikian.
“Ruang publik kita (Yogyakarta)
masih kurang diperhatikan. Masih banyak yang harus diperbaiki, baik secara
kualitas maupun kuantitas,” ujar Wahyu (9/5).
Ia menjelaskan, kualitas ruang
publik di Kota Yogyakarta masih belum inklusif untuk semua kalangan. Belum
ramah perempuan, anak, dan difabel. Bahkan cenderung terpusat di beberapa titik
seperti Malioboro dan alun-alun.
“Kalau yang bisa dikategorikan ruang
publik sebenarnya hanya dua: Malioboro dan alun-alun. Di Malioboro pun enggak semua
bisa diakses, paling cuman Titik Nol. Sedangkan alun-alun, seperti yang kita
tahu, kini juga dibatasi,” ucap pemuda yang memfokuskan diri pada isu
lingkungan ini.
Ketika membicarakan kota dengan
ruang publik yang ideal, Wahyu menuturkan sudah ada kebijakan yang mengatur,
yakni UU
No. 26 th 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam pasal 29, ayat 2, setiap kota
harus memiliki 30% proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH).
“Data statistik RTH di (Kota)
Yogyakarta yang terakhir saya baca, masih di angka 13-15%. Itu pun tidak semua
pemanfaatannya untuk publik. Ada yang milik perseorangan juga, tapi dimasukkan
dalam data RTH,” tambahnya.
Wahyu menjelaskan bagaimana
menentukan proporsi ideal RTH, yaitu dengan menghitung jumlah penduduk dibagi
luas wilayah. Menurutnya, jika merujuk pada indikator tersebut, Kota Yogyakarta
masih kurang dari jumlah 30% ketersediaan RTH untuk memenuhi standar ideal.
Melihat pembangunan di Kota
Yogyakarta yang begitu masif, agaknya sulit membayangkan adanya RTH yang ideal.
Wahyu bercerita, di tahun 2023, jumlah hotel untuk menggenjot industri wisata
di Kota Yogyakarta tumbuh pesat, yakni 583
unit. Belum lagi mall dan pusat perbelanjaan yang bertambah banyak.
“Pembangunan yang semakin
kapitalistik membuat ruang publik makin sedikit. Akhirnya masyarakat, tak
terkecuali anak-anak, memanfaatkan jalan, kolong jembatan, dan trotoar untuk
ruang publik,” Wahyu menjelaskan.
Tak lupa, ia juga menyoroti
kebijakan anggaran Dana Istimewa (Danais) yang hanya digunakan untuk
pembangunan objek-objek tertentu. Tugu Jogja, Malioboro, Pojok Benteng, dan
alun-alun menjadi langganan kucuran Danais.
“Dana yang milyaran itu hanya
berkutat di tempat itu-itu terus, dan tentu saja untuk menunjang pariwisata.
Sebenarnya, dana sebanyak itu sangat bisa untuk membangun ruang publik baru di
(Kota) Yogyakarta,” katanya dengan nada jengkel.
Di tengah gempuran pembangunan yang
masif, sebuah kegundahan muncul di benak pemuda ini kala Pemerintah Kota
Yogyakarta mendapat Penghargaan
Kota Layak Anak pada tahun 2023. Penyematan penghargaan itu merujuk pada Perda Kota Yogyakarta No.
1 th 2016, tentang Kota Layak Anak (KLA), indikatornya mesti terdapat Posyandu,
PAUD, PMT Balita, Jam Belajar Masyarakat, dan kawasan bebas rokok.
“itu (Penghargaan KLA) harus
dipertanyakan dengan tanda tanya yang sangat besar. Harusnya nggak cukup hanya
dengan indikator itu saja. Harus ditelisik lebih jauh apakah semua anak di Kota
Yogyakarta sudah mendapat akses yang sama? sudah punya ruang untuk bermain dan
berinteraksi?” Wahyu menjelaskan kegusarannya.
Menciptakan Ruang
Alternatif di Tengah Tak Acuhnya Negara
Di sela-sela gedung yang kian
memadati Kota Yogyakarta, wisatawan yang tiap tahun angkanya melonjak,
dan jurang ketimpangan
semakin lebar, gerakan bernama Save Street Child Jogja lahir. Kemudian menjadi
embrio dari Harapan Fian yang mulai digagas sejak 2011.
“Dulunya, gerakan ini (Save Street
Child Jogja) sebatas belajar mengajar anak-anak jalanan di Kota Yogyakarta.
Kemudian kenal lebih dalam sama mereka, dan akhirnya tahu permasalahan mereka,”
Didin bercerita gerakan yang ia inisiasi bersama teman-temannya.
Adanya Perda Gepeng yang diketuk
palu oleh Pemkot Yogyakarta pada 2014, membuat situasi Kota Yogyakarta berubah.
Jalanan menjadi sepi karena anak-anak yang hidup di jalan ditangkapi. Melihat
situasi seperti itu, Save Street Child tidak ambil diam. Mereka akhirnya
bergerak dalam advokasi anak-anak jalanan yang ditangkap.
“Kerja-kerja kami
mengadvokasi mereka yang ditangkap. Kemudian 2018, berubah menjadi organisasi
profesional, bernama Harapan Fian. Tujuannya agar pendampingan yang dilakukan
bisa lebih maksimal,” ujarnya.
Sejak menjadi
organisasi yang terstruktur, Didin dan kawan-kawan memfokuskan kerja dalam tiga
hal: pendampingan administrasi kependudukan bagi mereka yang tidak memiliki
Kartu Tanda Penduduk (KTP), pendidikan, dan kesehatan. Tiga hal itu dirasa
cukup penting untuk membantu anak-anak di Kota Yogyakarta.
“Tujuan kami, sih,
membantu anak-anak yang merasa ‘terpinggirkan’ agar tetap bisa bermimpi,” ucap
Didin sembari tersenyum.
Anak-anak hampir
setiap hari datang katanya, mereka bermain dan belajar di Sekretariat Harapan
Fian. Meski sekretariat yang berada di Kampung Badran ini ruangnya tak begitu
lebar, namun anak-anak merasa nyaman di sana.
“Biasanya
anak-anak main kesini (sekretariat). Kadang, di hari-hari tertentu kami
mengadakan kelas-kelas belajar,” terangnya.
Didin lanjut
bercerita, di tengah sempitnya akses bermain anak-anak di Kota Yogyakarta,
sebisa mungkin Harapan Fian menyediakan tempat alternatif untuk bermain.
Meskipun sederhana, tetapi paling tidak, anak-anak punya ruang.
“Mengusahakan
ruang alternatif menurutku penting, sih. Apalagi hari ini sangat jarang sekali
ada ruang-ruang yang bisa diakses anak-anak,” lanjutnya sambil sesekali menyapa
orang yang lewat.
Membuat
ruang-ruang alternatif untuk mereka yang terpinggirkan di Kota Yogyakarta tidak
hanya dilakukan Harapan Fian. Sebuah yayasan yang berdiri sejak 15 Juli 1953
juga melakukan hal serupa. Yasayan itu bernama Yayasan Realino.
“Yayasan Realino
adalah sebuah karya sosial milik salah satu Kongregasi dalam Gereja Katolik.
Awalnya, yayasan ini fokus untuk membantu istri dan anak-anak mereka yang
menjadi tahanan politik dalam Peristiwa 65,” terang Romo Pieter Dolle SJ yang
ditemui di kantor Yayasan Realino ketika matahari mulai menyingsing (8/5).
Romo Pieter
didapuk sebagai Direktur Seksi Pengabdian Masyarakat (SPM) Yayasan Realino
sejak 2021. Ia melanjutkan tanggung jawab untuk terus melayani mereka yang
rentan, lemah, dan tersinggirkan.
“Visi misi kami
adalah melayani, menjadi teman, sahabat untuk mereka yang terpinggirkan.
Program kami ada beasiswa pendidikan, klinik kesehatan, asrama pelajar dan
mahasiswa, bengkel latihan kerja, dan pedampingan anak-anak pinggiran di
Jombor, Pingit, Bong Suwung,” jelas Romo Pieter sambil sesekali menatap
anjingnya yang ikut dalam obrolan.
Bong Suwung sudah
terstigma kehidupan dekaden: preman dan prostitusi ujarnya, tetapi anak-anak di
kampung pinggiran rel itu juga punya mimpi. Sebuah sanggar didirikan tepat
tujuh meter di samping rel kereta, sejak 2017. Bangunanya sederhana, anyaman
bambu menjadi tembok yang mengelilingi, dan bilah-bilah bambu jadi jendelanya.
“Ruang bermain
mereka minim sekali, maka kami usahakan bikin sanggar untuk belajar dan
bermain. Konsep belajar yang ada di Bong Suwung adalah kelas kreatifitas atau
prakarya,” Romo Pieter menjelaskan.
Sementara itu,
sebuah pemukiman dan sanggar berdiri di pinggir Kali Winongo, Pingit. Anak-anak
biasanya menyebutnya Sekolah Pingit. Sekolah dan pemukiman di Pingit awalnya
bukan bagian dari Yayasan Realino, namun setelah 2004, mereka bergabung.
“Pingit dulu
punyanya Yayasan Sosial Sugijapranata, tetapi kemudian mereka berfokus di
Semarang, dan Pingit masuk ke Yayasan Realino. Kami sediakan rumah-rumah untuk
mereka yang hidup di jalan,” kembali Romo bercerita seraya suara palu dari
bengkel latihan kerja ikut mewarnai perbincangan.
Beberapa deretan
rumah yang berbentuk hampir sama, lapangan dengan ukuran kira-kira 15x7 meter,
dan sebuah bangunan terbuka bertuliskan “Anak Pingit”, adalah pemukiman
sekaligus sekolah untuk mereka yang terpinggirkan.
“Orang-orang yang
biasanya hidup di jalan, dan tidak punya rumah di sini (Yogyakarta), bisa
menempati Pingit. Syaratnya harus memiliki KTP, dan bisa tinggal selama dua
tahun,” jelas pria berkacamata itu.
Ruang alternatif
yang Yayasan Realino bentuk di Pingit dan Bong Suwung adalah jawaban alternatif
untuk mereka yang tersingkirkan. Yayasan Realino berusaha mengisi ruang yang
belum terjawab oleh pemerintah. “Mereka terpinggirkan karena tidak ada sistem
yang kuat untuk menjamin kesejahteraan,” tambahnya dengan nada berat.
Sebelum menutup
pembicaraan, Romo Pieter berujar jika masalah sosial belum terselesaikan,
Yayasan Realino akan tetap melayani, menemani, dan mendampingi mereka yang
tersingkir dan terpinggir.
“Kalau pemerintah belum juga menemukan solusi atas masalah sosial, Yayasan Realino akan tetap buka klinik kesehatan, beasiswa pendidikan, asrama, pelatihan kerja, dan membuka sekolah alternatif anak-anak,” ucapnya tegas.
Zhafran Naufal Hilmy
Reporter: Zhafran Naufal Hilmy
Editor: Dewa Saputra
Lama gak liat liputan panjang kayak gini di Philosofis
BalasHapusMantap siii
BalasHapusBaguss siii
BalasHapus