Aksi memperingati International Women’s Day di Yogyakarta (Foto : Reporter Philosofis) |
Cuaca terik dan kepadatan lalu lintas, tak
memadamkan semangat massa aksi di Bunderan UGM pada Jumat, 8 Maret 2024, untuk
memperingati International Women’s Day (IWD). Sekitar pukul 10.00 WIB, dengan
tajuk Mari Kak Rebut Kembali, massa aksi yang terdiri dari berbagai
individu, komunitas, dan kelompok difabel, mulai menyerukan keresahannya.
Kehadiran kelompok difabel menambah ruang inklusif bagi sesama.
“Kami mengajak teman-teman difabel untuk
ikut dalam kegiatan ini (peringatan IWD). Kami ingin memfasilitasi serta
mengundang semua orang untuk hadir terlepas dari komunitas dan keperluannya,”
ucap Yolanda, selaku humas dari IWD Yogyakarta.
Yolanda menambahkan, bahwa pemilihan tempat
hingga tidak adanya long march merupakan suatu bentuk advokasi agar Hari
Perempuan Sedunia bisa diakses oleh semua orang.
“Kami memikirkan akses-akses jalan hingga
akses evakuasi. Menurut kami, Bundaran UGM menjadi pilihan yang tepat,”
tambahnya siang itu.
Salah seorang teman tuli yang hadir, Flo
sapaan akrabnya, ikut andil dalam memperingati Hari Perempuan Sedunia. Ia
memiliki harapan bahwa teman-teman tuli mendapatkan akses yang mudah untuk
mendapatkan informasi.
“Akses informasi yang penuh dan jelas itu
sangat penting. Kami kesulitan di bidang pendidikan hingga pekerjaan,” ucap Flo
dengan kacamata frame bulat yang bertengger.
Bagi Flo, kesulitan akses informasi bagi
teman-teman tuli, menyebabkan mereka sulit mendapat pekerjaan. Selain itu,
mereka juga rentan terhadap diskriminasi.
“Jarang mendapat pekerjaan, sebab tuli
dipaksa untuk bicara oral, tidak boleh memakai bahasa isyarat, dan harus
memakai alat bantu dengar,” jelas Flo kepada awak media.
Menurutnya, teman-teman tuli tidak boleh
dipaksa untuk mendengar atau berbicara oral. Fasilitas berupa BISINDO atau Bahasa
Isyarat Indonesia harus diberikan kepada mereka. Kesulitan akses informasi pun tidak
hanya terjadi pada dunia pekerjaan, tetapi juga bidang pendidikan.
“Pendidikan Sekolah Luar Biasa (SLB) masih
banyak menggunakan kurikulum dasar yang berbeda dengan kurikulum umum …
(ketika) masuk di sekolah inklusi juga akhirnya ada kebingungan,” ucap Flo
menjelaskan.
Kebingunan disebabkan adanya hambatan
literasi, bahasa yang dipakai terlalu tinggi. Banyak teman-teman tuli yang
belum paham artinya hingga struktur kalimatnya.
“Aku masih tidak bisa bahasa tinggi. Tetapi
bahasa sederhana bisa aku susun dengan baik,” tukas Flo, berbagi pengalaman.
Isna Kusuma
Reporter: Isna Kusuma dan Ariska Sani
Editor: Ariska Sani