Ilustrasi: Adam Yogatama |
Judul buku: Membicarakan Feminisme
Penulis: Nadya Karima Melati
Penerbit: EA Books
Halaman: xiv + 254 halaman.
Tahun terbit: 2019
ISBN: 978-623-91089-0-8
Perempuan mempunyai satu titik pemberangkatan yang membuatnya mempelajari feminisme. Begitu juga denganku. Titik pemberangkatanku adalah dari kesadaran akan ketidakadilan gender. Kesadaran ini muncul dari larangan-larangan yang melekat karena identitasku sebagai perempuan.
Ketidakadilan gender ini amat aku rasakan. Terlebih lagi jika kamu mempunyai saudara laki-laki, akan terlihat perbedaan ruang gerak di antara keduanya. Orang tuaku kerap menggunakan alasan larangannya hanya karena aku perempuan.
Larangan-larangan membuatku “cemburu” dengan kenyataan bahwa saudaraku mempunyai ruang gerak bebas yang tidak kudapatkan. Aku pun mulai mengerti bukan salah orang tuaku dengan berbagai larangannya karena mereka sudah mengetahui kenyataan dunia perempuan memang sebegitu peliknya.
Dunia yang didominasi patriarkis inilah yang salah. Dunia yang membuat perempuan untuk tetap berada di lingkar “aman” menurut dunia yang timpang ini. Imbasnya, perempuan yang harus dikorbankan. Ruang geraknya terbatas, atau acap kali dibatasi.
Maka dari itu, aku percaya kita semua butuh kesadaran kolektif—baik laki-laki maupun perempuan—akan feminisme sebagai jawaban atas dunia yang terlanjur patriatikal.
Buku Memahami Feminisme, karya Nadya Karima Melati, bisa menjadi jembatan awal untuk berkenalan dengan feminisme. Buku yang berisi kumpulan esai-esai perempuan ini menurutku mudah dipahami. Terutama bagi mereka dan juga aku, yang masih awam dengan apa itu feminisme. Kita tidak harus mengerti istilah-istilah asing dalam feminisme untuk memahaminya.
Sajian bab-bab buku ini menuntun pembaca secara perlahan untuk memasuki dunia feminisme. Layaknya berkenalan dengan suatu ilmu baru, pada bab awal kita diajak menyelusuri sejarah feminisme.
Dua bab selanjutnya, pembaca diajak menyelami realitas dunia perempuan yang penuh beban patriarki. Mulai dari penerapan feminisme dalam kehidupan perempuan di Indonesia, penjelasan tentang hak-hak perempuan, memaknai peran gender di masyarakat, seksualitas, gender non-maskulin yang tertindas, serta isu LGBT yang berkelindan dengan feminisme. Selanjutnya, tulisan yang dimuat dalam bab akhir lebih banyak membahas soal feminisme sebagai refleksi perempuan dengan kehidupannya.
Lalu, sebenarnya, apakah feminisme itu? Mengutip dari buku ini, Feminisme adalah sebuah paradgima, sebuah pemahaman komprehensif tentang keadilan berbasis gender. Sebuah paradigma yang bisa menjadi pijakan untuk pemikiran, gerakan, maupun kebijakan. Sederhananya, feminisme adalah pemahaman tentang memanusiakan perempuan. Awal mula kemunculan gerakan feminisme pada 1848 di New York yang diinisiasi oleh Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony.
Kemunculan pemikiran feminisme didasari oleh kenyataan: perempuan tertindas. Namun, seiring berjalannya waktu, feminisme tidak hanya memayungi gerakan perempuan, tetapi juga gender non-maskulin lainnya yang tertindas. Nadya Karima Melati hanya membahas sekilas sejarah feminisme di barat agar pembaca yang masih awam lebih mengerti kerangka feminisme.
Perempuan
dan Kontrol Sosial
Kelebihan buku ini terletak pada pembahasan mengenai feminisme
dalam konteks sosial dan budaya di Indonesia. Sebab,
ketika membacanya, kita seakan dibawa lebih dekat dengan feminisme. Selain itu, beberapa esai yang dimuat pun berangkat dari pengalaman
pribadi penulis, seperti “Mo(ns)ther” dan “Solidaritas untuk Perempuan yang
Melepas Jilbab”.
Pada esai “Mo(ns)ther”, Nadyazura, nama pena si penulis, mengajak kita untu melihat kenyataan bahwa anak perempuan juga mengalami tekanan bahkan dari keluarganya sendiri. Dalam pengalaman Nadya, ia mengambarkan ibunya bak monster yang suka mengontrol hidupnya dalam berbagai hal. Ibunya sendiri, meski juga seorang perempuan, ia juga dapat melanggengkan dunia yang patriarkis.
Nadya merasa -meski tidak secara langsung- ibunya menjelma monster. Terlebih lagi ketika memaksa Nadya untuk mengenakan hijab. Peristiwa ini cukup sering kutemui hubungan Love and hate relationship antara ibu dan anak. Alih-alih si anak merasa dilindungi oleh kekangan ibunya, dalam kenyataannya malah menghambat hubungan keduanya.
Nadyazura melanjutkan perjuangannya keluar dari kungkungan kontrol sosial dalam esai “Solidaritas untuk Perempuan yang Melepas Hijab”. Esai ini menarik bagiku yang pernah mendapatkan tuntutan untuk mengenakan hijab.
Hijab seakan hanya diartikan sebagai atribut agama yang sudah menjadi kontrol sosial. Kontrol yang dilanggengkan oleh tekanan dalil, terlebih dalil agama yang menurut beberapa tafsir, menyalahkan perempuan yang belum berhijab akan masuk neraka. Bahkan ayahnya juga akan menanggung dosa karena tidak berjilbab. Lantas menakut-nakuti mereka yang memilih untuk tidak mengenakan hijab.
Kontrol
sosial ini menampikkan berbagai pilihan individu, tujuannya hanyalah untuk
menyeragamkan pilihan seakan kenyamanan itu suatu hal yang objektif. Padahal tidak. Tidak sama
sekali. Sama halnya dengan perempuan yang belum memutuskan untuk
berhijab yang mendapat tekanan dari kontrol sosial.
Penulis mengaku membenci dirinya sendiri ketika mendapati
pantulan dirinya di cermin yang dengan terpaksa mengenakan hijab. Melalui esai
ini dan pengalaman pribadiku, memang bukan suatu hal yang mudah untuk
memperjuangkan pilihan atas kenyamanan kita sendiri. Terlebih jika pilihan itu bersebrangan dengan kontrol
sosial yang ada. Salutku menyertai kalian yang berani jujur kepada diri sendiri, angkat topi.
Sepak
Terjang Gerakan Feminisme di Indonesia
Selain
itu, pembahasan sejarah feminisme dalam konteks Sejarah Indonesia
menarik bagiku. Sebab, penulis menyajikan bagaimana feminisme diadopsi dalam sejarah Indonesia,
bagaimana perkembangan feminisme di Indonesia,
penyesuaian feminisme dalam politik nasional, dan mengapa perempuan tersisihkan
dalam historiografi Indonesia.
Mengingat peliknya Sejarah Indonesia yang pada mulanya “curiga” terhadap gagasan berbau barat. Maka dari itu, gerakan perempuan di Indonesia tidak serta merta disebut dengan gerakan feminisme. Hal ini membuat gerakan perempuan di Indonesia berganti-ganti nama karena disesuaikan dengan konteks politik nasional.
Perubahan nama ini dapat kita lihat dari setiap pergantian presiden juga diikuti dengan pergolakan gerakan perempuan. Di masa presiden Soekarno, gerakan perempuan lebih akrab dengan sebutan “emansipasi”. Lalu, pada masa Soeharto diganti menjadi sebutan “gerakan wanita”. Pasca reformasi, penggunaan kata “perempuan” dan “feminisme” dipopulerkan kembali.
Sepak terjang gerakan feminisme di Indonesia mengalami kemunduran ketika zaman Orde Baru. Peran perempuan direduksi dalam bentuk ibuisme. Ibusime ini dapat diartikan sebagai reduksi peran perempuan yang hanya dikaitkan dengan urusan domestik, seperti melayani keluarga, suami, dan narasi lainnya yang tidak jauh-jauh dari kontrol sosial terhadap perempuan.
Tak hanya berhenti disitu, peran perempuan juga direduksi dalam historigrafi. Historiografi yang bercorak androsentris yang hanya menyoroti peran laki-laki. Hal ini melegitimasi kecilnya ruang perempuan dalam sejarah, peran perempuan seakan tidak ada harganya di mata sejarah.
Maka
dari itu, kita memerlukan sumbangan epistemologi feminisme untuk menambah
banyak perspektif yang lebih komprehensif terhadap historiografi. Epistemologi
feminsime berperan menggaungkan suara perempuan dan gender nonmaskulin yang
terbungkam tapi tetap berpegang teguh pada metode sejarah.
Secara menyeluruh, buku ini membuat feminisme lebih mudah dipahami, terlebih lagi buku ini lebih banyak membahas feminisme dalam konteks budaya Indonesia.
Feminisme kerap disalahartikan sebagai gerakan untuk merebut kuasa laki-laki, padahal feminisme hadir untuk menyamaratakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Aku yakin untuk menciptakan dunia yang setara, kita butuh memahami feminisme terlebih dahulu. Oleh karena itu, aku merekomendasikan buku ini untuk kalian yang ingin bergabung dalam dunia yang setara untuk semua.
Nasywa Az-Zahra
Editor: Zhafran Hilmy