Ilustrasi: Adam Yogatama |
Berbagai pertanyaan
terus menggeliat di pikiran saya, terutama kala pesan Whatsapp berisi ajakan untuk
menjadi timses muncul di gawai. Menjelang perhelatan pemilwa tahun ini, para
paslon berlomba-lomba memperbanyak simpatisan mereka. Selain itu, banyak
bermunculan akun anonim, buzzer, poster, dan banner yang nongol di
ruang-ruang kampus. Dari fenomena tersebut, muncul suatu pertanyaan: sebenarnya
kepentingan apa yang membuat paslon mengajukan diri?
Pagi itu,
sebelum masuk kelas, saya lihat dua poster terpampang di Jendela sekretariat
BEM Fishipol, satu poster bertuliskan “estafet Satria-Natasya jatuh di tangan
siapa?” sedang satu lagi berisi tulisan “siapa calonnya? Netral, atau
ditunggangi ormek?”.
Postingan
serupa juga mencuat di akun buzzer war.fish yang berisi satir terhadap salah paslon
yang hendak maju. Narasi-narasi tersebut seolah menyiratkan bahwa: alih-alih menghadirkan
pemilwa dengan wacana konkret yang ditawarkan, tahun ini hanya jadi ajang perebutan
kekuasaan antara kelompok anti-ormek melawan ormek.
Dari fenomena
tersebut, menunjukkan bahwa saat ini banyak gerakan anti Ormek menjalar di
Fishipol. Kemudian saya coba menebak, kira-kira apa yang membuat gerakan ini bermunculan?
Untuk memberi
gambaran, mari kita membaca tulisan yang terbit di Ekspresionline.id bertajuk “Jalan Mulus KAMMI Memenangkan
Politik Kampus”, yang menunjukkan dominasi dari salah satu Ormek, yakni KAMMI, membuat
kejenuhan politik kampus. Berangkat dari kejenuhan tersebut, Ormek lain mencoba
menandingi, seperti HMI-MPO, PMII, dan GMNI. Kemudian, politik kampus hanya
dijejali oleh agenda masing-masing Ormek. Sehingga memunculkan perlawanan
anti-ormek politik kampus.
Kemunculan gerakan
anti-ormek dimaksudkan untuk mencegah dominasi ormek dalam politik kampus.
Namun, jika saat ini narasi anti-ormek sebatas alat kepentingan nyari
suara semata, maka itu hanya bualan manis yang kehilangan substansinya. Ujung-ujungnya
pemilwa yang seperti ini, hanya berisi pertentangan identitas belaka, tanpa ada
wacana yang memperjuangkan keresahan banyak mahasiswa.
Terlepas
dari permasalahan ormek vs anti-ormek, ada yang lebih penting dalam pemilwa kali
ini—yakni wacana dan menjadikan BEM lebih relevan. Pemilwa seharusnya menjadi
arena adu gagasan. Dapat menyuarakan segudang masalah yang menjadi teror bagi
banyak mahasiswa.
Isu kenaikan
UKT, maraknya kekerasan seksual, serta represi terhadap kebebasan berpendapat,
terlihat tak lantang disuarakan. Hal ini jadi miris, ketika yang banyak muncul
dalam pemilwa justru narasi berisi serangan terhadap lawan politik, tak
mewakili siapapun. Lantas, untuk siapa pemilwa sesungguhnya?
Visi-Misi-Basi
Hampir tiap
kali kontestasi politik dalam pemilwa, paslon akan berlomba-lomba menyajikan
visi-misi semenarik mungkin. Sayang, hampir keseluruhan yang dibawakan belum
banyak merepresentasikan kepentingan mahasiswa secara lebih luas. Visi misi
yang diusung terkesan terlalu template.
kalimat yang
disuguhkan selalu berkutat pada kreatif, inovatif, kolaboratif, dan responsif, yang
selalu diulang hingga membuat saya jenuh. Bahkan, “keyword” tersebut sudah
banyak tercecer di berbagai situs di Google. Jika hanya itu-itu saja, maka
siswa SMA pun bisa membuatnya. Maka sebenarnya apa yang mereka utarakan, tak
ada kebaruan yang ditawarkan.
Kreatif dan inovatif
hanya bualan semata. Sebab, bagaimana kreatifitas bisa terwujud, jika banyak
dari mahasiswa hari ini disibukkan dengan permasalahan biaya kuliah yang kian
mahal. Toh, mau sekreatif apapun suatu pikiran, jika tak ada jaminan atas kebebasan
berekspresi, pada akhirnya hanya akan dibungkam oleh kepentingan birokrat
kampus dan berhenti jadi angan-angan saja.
Pertanyaan demi
pertanyan terus bermunculan ketika melihat visi-misi mereka. Pertanyaan
tersebut berkutat pada; apakah visi-misi yang sudah usang ini adalah jawaban
atas permasalahan yang sedang dihadapi mahasiswa? Bagaimana dengan kenaikan
biaya kuliah yang kian hari kian banyak membunuh impian teman-teman kita?
Apakah visi misi para paslon menawarkan penyelesaian atas kasus kekerasan
seksual yang banyak terlupakan? sudahkah visi misi yang disuguhkan, jadi jaminan
terhadap kebebasan akademik yang kondisinya makin memprihatinkan?
Ketika
melihat visi misi yang diusung, menyimpulkan bahwa, sebenarnya mereka tidak
memberi jawaban alternatif terhadap permasalahan-permasalahan di atas. Padahal,
tujuan dari visi misi yang dirumuskan, semestinya melalui serangkaian riset dan
kajian terlebih dahulu. Sebab, ketika merumuskan hal tersebut, setidaknya
mereka mengetahui permasalahan dan membawa visi yang jelas. Bukan ujug-ujug
kreativitas mulu yang diajukan. Sepertinya di otak mereka hanya ada satu pola
pikir, yakni pragmatis. Hal ini bisa dilihat ketika maju menjadi paslon. Tujuan
pragmatis itu terasa sangat kental, yaitu hanya untuk menduduki kursi birokrasi
BEM.
Untuk ukuran
saat ini, jika boleh dikata, sebenarnya BEM itu sudah terlampau tidak relevan.
Atau setidaknya banyak yang mempertanyakan relevansinya. Duh, sudah di posisi
yang kian hari dipertanyakan relevansinya, ditambah pemilihan kali ini minim
wacana. Jangan-jangan, apa yang mereka lakukan—paslon—justru membuat BEM
semakin terpuruk.
Relevansi BEM dan keterwakilan suara mahasiswa
Setelah
serangkaian kampanye, debat, hingga muncul satu paslon terpilih, selanjutnya
apa? Benarkah suara yang kita sumbangkan kepada para paslon selama pemilwa,
akan disuarakan kembali sebagai kepentingan bersama? Paling-paling, apa yang
diwacanakan berakhir teknis. Eits, jangan kaget atau heran, sebab apa yang
terjadi akan seperti yang lalu-lalu—BEM hanya sebuah infrastruktur tanpa
suprastruktur di dalamnya. Alias kosong.
Berangkat
dari pertanyaan-pertanyaan ini, sebenarnya memang keberadaan BEM tak lagi
relevan. Sebab, hal ini bukan muncul dari bualan semata. Analisis yang dibuat
oleh Alfath Bagus dan Georgius Benny menjelaskan itu semua.
Maka,
artinya sudah jelas dan sudah pasti bahwa: kini BEM tidak relevan dan tida lagi efektif untuk berkata
“menyuarakan isu mahasiswa, mewadahi mahasiswa, aspirasi mahasiswa, dan
blablabla”. BEM bukan Badan Eksekutif Mahasiswa lagi, ia menjelma menjadi Badan
Eksklusif Mahasiswa dengan segala birahi kekuasaan orang-orang yang ingin menjabat di
dalamnya.
Dari pernyataan
di atas, relevansi atas keberadaan BEM dapat dilihat dari keberpihakan wacana
yang diangkat ketika pemilwa. Wacana yang diusung akan berpihak pada kepentingan
banyak mahasiswa atau hanya jadi ajang bagi kelompok tertentu untuk berebut kuasa.
Sekali lagi,
pemilwa bukan arena bagi kelompok ormek dan anti-ormek beradu kekuatan.
Melainkan ajang pembuktian dari apa yang mereka suarakan selama ini, baik dari
ormek atau anti ormek.
Justru
menjadi sebuah pertanyaan ketika mereka—paslon—yang maju dengan embel-embel
ormek dan anti-ormek, muncul dengan narasi mewadahi mahasiswa.
Maka,
alih-alih membawa suatu narasi yang tidak tahu akar permasalahannya, dan
visi-misi yang terlampau tidak relevan. Ditambah dengan pertentangan antara
ormek vs anti-ormek seperti ormas. Alangkah mulianya ketika mereka—paslon—menyuarakan
permasalahan yang ada dengan wacana yang jelas.
Toh, jika
maju dalam pemilwa kali ini hanya untuk memenuhi hasrat “birahi kekuasaan”,
agar dapat menduduki kursi birokrasi BEM, mereka—ormek dan anti-ormek—justru
semakin membuat BEM tidak relevan lagi.
Pada akhir
kata, teruntuk pemilwa kali ini, sebuah harapan besar muncul dalam benak saya,
agar BEM yang tidak relevan kini menjadi relevan. Tentu dengan wacana yang
jelas oleh paslon. Apabila hanya untuk memuaskan hasrat kekuasaan semata,
bolehkah saya, barangkali kawan-kawan yang setuju dengan ini diam sejenak. Diam
pada seribu kata yang menghimpun tidak percaya dan mengacungkan jari tengah di
antara jargon dan omong kosong belaka.
Akhirussalam,
saya tutup pesan cinta ini pada paslon dan mereka yang mengatasnamakan BEM sambil berkoar hanya tentang keberlanjutan kepemimpinan, serta mengatasnamakan mahasiswa sambil berkata “hidup mahasiswa/pergerakan/rakyat/blablabla”, dengan meminjam penggalan lirik
Seringai:
“Omong Kosong//Omong Kosong//Omong Kosong”
Ainun Zeva
Editor: Dewa Saputra
Omong Kosong Penulis. Berahi sok kritis. Dari dulu narasinya seperti ini tiap kali Pemilwa, tapi sama saja tidak menghadirkan kebaruan juga.
BalasHapusBales tulisan juga dong, Kak.
HapusTulislah
Hapus