Ilustrasi: Ijan |
Sebagai
seorang memiliki gelar akademik yang berlapis, Soesilo Toer seharusnya dapat
dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Terlebih ia adalah adik kandung dari
sastrawan masyhur—Pramoedya
Ananta Toer. Namun, pada faktanya hal tersebut nampak tidak berlaku dalam
hidup Soesilo Toer.
Ketika Soes
(sapaan Soesilo Toer) merilis buku pertamanya, secara mendadak buku tersebut
diburu oleh para Pramis. Dengan predikat adik dari sastrawan besar, tidak
mengejutkan jika nama belakangnya berhasil mengundang basis pembaca buku-buku
Pram.
Meskipun
demikian dengan segala gelar akademik dan nama besar kakaknya, menariknya pria
yang telah menerbitkan sekitar 30 buku ini masih sibuk mengais tumpukkan sampah
di Blora. Benar, Soes memutuskan untuk menekuni jalan pemulung. Baginya
melakukan kerja-kerja memulung adalah upaya menemukan hakikat yang ada pada
dirinya.
Jalan ini ia
tempuh sebab terilhami oleh seorang filsuf Yunani Kuno, bernama Ploutus.
Menurut Ploutus: “anda belum menjadi manusia jika belum mengerti
hakikat diri anda.” Kalimat tersebut menggetarkan batin Soes, ia kembali
bertanya-tanya ulang tentang hakikatnya sebagai manusia.
Tak banyak yang mau dan berani
bertanya-tanya tentang hakikat dirinya. Soes adalah salah satu pengecualian, di
tengah ingar-bingar dunia yang kian transaksional. Dirinya secara tegas menolak
untuk menghamba terhadap uang.
Menjadi
Tahanan Politik (Tapol)
Soesilo Toer lahir tahun 1938, di wilayah yang ditumbuhi oleh
banyak Pohon Jati, Blora. Ia merupakan anak ke tujuh dari sembilan bersaudara
pasangan Toer dan Siti Saidah. Ayahnya adalah seorang guru di Boedi Oetomo dan
ibunya merupakan pahlawan rumah tangga di keluarga.
Layaknya
pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” Soes tumbuh dan berkembang menjadi
anak yang cerdas. Ia lolos seleksi perguruan tinggi di Universitas Indonesia
dengan nilai memuaskan pada masanya.
Kelak
setelah program sarjana yang Soes jalani telah usai, dirinya melanjutkan studi
ke Uni Soviet, yang kini menjadi Rusia. Berbekal beasiswa yang diraihnya, Soes
berangkat ke Universitas Patricia Lumumba pada akhir Oktober.
Ia mengaku
bahwa dirinya sempat dipandang sebelah mata oleh grupnya—berisi orang-orang
Indonesia. Hal ini disebabkan karena Soes mendarat ke tanah Rusia tanpa bekal bahasa sama sekali. Soes hanya fasih
berbahasa Indonesia. Namun, hal ini tak membunuh semangatnya, malah Soes
membalikan hinaan tersebut dengan serentetan prestasi yang ia raih.
Dalam surat
yang berbentuk seperti rapor, Soes justru mendapat predikat very good untuk
keahlian bahasa. Bermodalkan itu, ia lulus lebih singkat setengah tahun
dibanding kawan-kawannya.
Waktu tempuh
pendidikan relatif pendek dimanfaatkan Soes untuk melanjutkan pendidikannya di
Rusia. Ia berhasil lulus dan meraih gelar doktoral di Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov. Sayangnya nilai yang ia dapatkan kurang
memuaskan, hal ini mengharuskan dirinya bekerja dan tinggal di Rusia lebih
lama.
Nyaris 11
tahun ia menetap di luar negeri dan selama itu pula Soes meninggalkan istri
yang ia nikahi secara sirih. Soes pernah berjanji pada dirinya pribadi untuk
kembali ke tanah air ketika pendidikannya telah usai. Akan tetapi, ia justru
mendapat hambatan ketika sampai di Indonesia. Soes dibui selama enam tahun
dengan alasan yang tidak jelas. Proyek De-Soekarnoisasi Orde Baru sukses
melempar Soes menuju kandang besi.
Soes diduga
sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun menurutnya itu
tidak benar. Hal ini bermula kala Soes tidak menghadiri acara doa bersama, demi
mengenang enam jenderal di Kedutaan Besar Rusia. Ia mengaku tidak mendapatkan
undangan untuk menghadiri acara tersebut. Dari sinilah tuduhan dan celaan mulai
menghujaninya. Sampai pada episode selanjutnya seperti yang kita tau ia
dipenjara bertahun-tahun.
Kondisi dan keterbatasannya
Soes dalam jeruji besi, tak membuatnya surut untuk menulis. Apalagi Soes dibantu
oleh teman-temannya selama di lapas. Kertas bekas racun nyamuk tak pernah
dibuang oleh kawannya, mereka selalu memberikan itu kepada Soes sebagai media
untuk menulis.
Soes memang gemar dalam
menulis. Terkisahlah, Soes tidak sengaja merusak mesin ketik Pram. Secara
mengejutkan Pram yang terkenal galak, justru senang atas kejadian tersebut.
Karna hal ini adalah pertanda bahwa Soesilo menulis, oleh Pram hal tersebut
disambut dengan sukacita
Memulung Adalah Kenikmatan
Abadi
Soes ingat betul apa yang
diucapkan kakaknya, “kalau rumahnya rusak, yang menempati juga rusak,” sembari
mengikuti gaya bicara Pramoedya.
Pria berusia 86 tahun itu mulai
memperbaiki bagian dapur rumahnya, awalnya renovasi bertujuan untuk tempat
singgah Pram kala ia pulang. Akan tetapi, kini ruangan itu tidak hanya sebagai
tempat bagi Pram, melainkan tempat untuk semua orang yang ingin membaca—alias
menjadi perpustakaan.
Sekilas rumah itu terlihat
biasa saja, tidak ada yang istimewa. Hanya sebuah bangunan yang didominasi
warna putih dan hijau. Akan tetapi, jangan salah, tempat itu merupakan saksi
bisu ganasnya polemik pembersihan PKI.
Bagaimana tidak, dahulu warga
hampir membakar bangunan itu. Mereka menduga rumah itu milik Pram sebagai salah
satu simpatisan PKI. Beruntungnya ada beberapa warga yang mengerti bahwa tempat
itu bukan milik Pram, melainkan peninggalan dari keluarga Toer, alias ayahanda
Pramoedya dan Soesilo Toer.
Kini peninggalan keluarga Toer dirawat oleh Soes. Bagian depan rumah tersebut dirombak menjadi perputakaan. Tepat di bagian depan, sebelah pintu terlihat jelas tulisan Perputakaan Pataba (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa). Pataba memang perpustakaan yang amat sederhana, tidak ada pendingin ruangan, isian rumah sederhana, dengan rak buku yang berantakan. Meskipun terlihat biasa saja, namun Pataba justru memiliki konsep yang istimewa. Pengunjung bisa bermalam di Pataba. Mereka bisa membaca buku sambil menikmati hidangan yang disediakan oleh Soes.
Kini wajahnya sudah dipenuhi oleh kerutan. Di umur yang telah senja ia sama sekali tak malu untuk memulung. Ia juga menghiraukan
ejekan dari tetangganya. Baginya tak ada gunanya meladeni omongan mereka, toh
dirinya tidak meminta makan dari tetangga.
Bagi Soes ia justru memberikan
kontibusi bagi lingkungan melalui kegiatannya menggaruk-garuk sampah. Ia
menegaskan bahwa pemulung adalah garda terdepan dalam mengatasi permasalahan
plastik.
“Dalam semalam, saya
mengumpulkan 20 kg sampah plastik. Bayangkan jika ada 5 juta pemulung, 100 juta
plastik bisa mereka kumpulkan. Jangan macam-macam dengan pemulung, karena
pemulung adalah garda terdepan dalam mengatasi permasalah plastik,” sergah
Soes.
Soes menilai pemulung bukan
hanya sebagai profesi semata. Melalui upayanya dalam mengumpulkan sampah,
dirinya bisa menciptakan nilai yang absolut, mengubah value suatu barang menjadi lebih dari harga sebelumnya.
Kegiatan memulung ini ia mulai
sehabis Isya atau paling larut setelah dirinya melakukan jaga malam. Berbekal
jas tebal dan sandal jepit, ia bersiap untuk memulung. Setiap memulung, Soes
selalu ditemani oleh teman seperjuangannya—alias sebuah motor bebek tua. Motor
itu menghantarkan Soes untuk mengitari wilayah Jetis dan sekitarnya.
Soes sangat menikmati pekerjaannya sebagai pemulung, ia bahkan mengatakan bahwa memulung adalah kenikmatan abadi. Sebuah kalimat yang terilhami dari ucapan Socrates sebelum dihukum mati, “Kematian adalah kenikmatan yang abadi." Saking menikmati hobinya tersebut, Soes bahkan menghitung satu demi satu sampah plastik yang ditemuinya kala memulung.
Disela-sela memulung, ia juga senang membaca koran. Koran-koran tersebut ia temukan saat tengah mencari-cari sampah. Dari sini ia bisa menghemat dan menyimpan uangnya untuk keperluan lain.
Soes adalah manusia dengan prinsip hidup yang unik. Ia rela membuang privilese dan mengesampingkan gelar doktoral yang ia miliki untuk mendapat hakikat hidup. Bagi saya, Soes adalah antitesis dari realita kehidupan yang makin materialistik.
Gilang Kuryantoro
Editor: Dewa Saputra