Biennale Jogja 17 mengusung tema utama Translokalitas dan Transhistorisitas
dengan tajuk Titen: Pengetahuan Menumbuh, Pijakan Berubah yang dibuka pada 6 Oktober
2023. Berbeda dengan pagelaran sebelumnya, kali ini Biennale menggagas ulang
desa dan masyarakat sebagai pelaku seni. Selain itu, masyarakat diajak langsung
terlibat dalam penyelenggaraan pameran.
Panggungharjo dan Bangunjiwo adalah dua dari tiga tempat
diadakannya Biennale Jogja 17. Pemilihan dua desa itu bukan tanpa alasan.
Konsep menggagas ulang desa dan masyarakat menjadi alasan utamanya. Realisasi
tempat itu bertujuan untuk mendekatkan karya seni dengan penciptanya, yakni
masyarakat. Mendekatkan pameran seni dan masyarakat ini juga menjadi upaya agar
masyarakat mendapat keuntungan secara langsung dari pagelaran dengan prinsip
sirkular ekonomi.
“Orang-orang mungkin tidak terbiasa melihat tempat-tempat
seperti itu (desa -Panggungharjo dan Bangunjiwo- sebagai penciptaan seni: red)
sebagai seni. Jadi tema yang dibawakan sangat lokal. Itu yang membedakan dengan
pagelaran Biennale sebelumnya,” ucap Alia Swastika setelah acara konferensi
Pers Biennale pada hari Rabu, 04 Oktober 2023.
Kolaborasi dengan masyarakat lokal memang telah terjalin di
pagelaran Biennale sebelumnya. Namun, yang membedakan di pementasan kali ini
adalah karya yang dihasilkan tidak langsung dipindahkan ke galeri. Sehingga
masyarakat atau pelaku seni bisa mengambil bagian langsung ketika pameran seni
dilangsungkan
Salah satu kurator Biennale Jogja 17, Hit Man Gurung, sedang menjelaskan karya seni yang ia bawakan bertempat di The Ratan (Kampung Mataraman). (Foto: Gilang Kuryantoro) |
Selain memangkas jarak antara pementasan seni lokal dengan
esklusivitas galeri, pagelaran Biennale Jogja 17 kali ini turut berdampak
langsung secara ekonomi di masyarakat. Sebab, mulai dari persiapan hingga
pementasan masyarakat terlibat langsung.
“Seniman dan teman-teman produksi mencari bahan untuk
perelengkapan pameran dari daerah situ—Bangunjiwo. Tukang yang menggarap
pameran, penjaga, dan lainnya kita juga menggunakan jasa dari situ (desa
Panggungharjo dan Bangunjiwo). Berbeda
dengan tahun lalu yang kita menggunakan volunteer. Tapi kali ini kita bekerja
sama dengan warga desa dan karang taruna, jadi warga juga mendapatkan dampak
langsung dan terlibat langsung dalam penyelenggaraan Biennale Jogja 17, mereka
(masyarakat desa yang terlibat: red) bukan sebagai penonton lagi di sini,” Alia
menjelaskan.
Senada dengan Alia, Monica Hapsari, seniman multimedia yang
juga terlibat dalam penggarapan Biennale Jogja 17 menambahkan, bahwa seniman
dari luar daerah justru lebih berperan pada penggalian potensi seni lokal.
Masyarakat desa menciptakan seni mereka sendiri dan telibat langsung dalam
penciptaan seni kali ini. Sehingga pemilihan tempat dan keterlibatan ruang
pameran dipilih secara matang sesuai dengan konsep dekolonisasi.
Dewa Saputra
Reporter: Dewa Saputra dan Gilang Kuryantoro
Editor: Zhafran Naufal Hilmy