Cover Buku La Femme Lapidee. (Sumber: Internet) |
Sebagai salah satu
kawasan peradaban awal umat manusia, Iran meninggalkan harta bekas imperium dan
harta kekayaan energi yang berlimpah. Hal ini menjadikan Iran sebagai kawasan
yang banyak diperebutkan berbagai pihak untuk menguasai sumber energi yang
berlimpah. Sehingga tidak heran, dalam historiografi Iran, sering dijumpai
jejak-jejak berdarah yang ditinggalkan oleh pihak asing atau pihak Iran itu
sendiri.
Pembahasan tentang
jejak imperium di Iran memiliki beragam sudut pandang untuk melihatnya. Begitu
juga di Indonesia, topik mengenai energi yang dimiliki Iran kurang menarik bagi
khalayak. Perbincangan tentang perempuan, kelompok Islam, hukum Islam serta hal
yang berbau politiklah yang akan meningkatkan etensi dan adrenalin masyarakat
Indonesia.
Barangkali
dikarenakan oleh jejak sejarah modern Iran dengan Indonesia berada pada nasib
dan garis masalah yang kurang lebih sama. Dalam kurun waktu terakhir,
perbincangan nasional mengenai Iran, tertuju pada kasus diskriminasi perempuan
yang dilakukan kepada Masha Amini. Ia didiskriminasi karena tidak menggunakan
hijab yang sesuai dengan aturan negara tersebut. Karenanya, Masha Amini
ditangkap dan diinterogasi oleh aparat setempat. Namun setelahnya, Masha Amini
dikabarkan masuk rumah sakit dengan luka pukul sekitar tubuhnya yang kemudian
menyebabkan ia meregang nyawa.
Euforia dan
semangat gerakan perempuan di Indonesia yang tengah merayakan disahkannya UU
TPKS, digunakan dengan apik untuk menyuarakan keadilan bagi Amini. Aksi protes
dan unjuk rasa tak luput dilakukan di beberapa tempat. Diskusi akademik dan
konsolidasi digencarkan oleh para aktivis dan organisasi yang mengecam tindakan
aparat Iran.
Mereka kembali
mempertanyakan Revolusi Iran, Hukum Islam apa yang diterapkan di Iran, hak
tubuh seorang perempuan, hak berpakaian terlebih hak untuk hidup di negara
"pengobral Tuhan" seperti Iran. Kasus eksekusi mati di Iran juga
ditinjau. Beberapa dekade terakhir, setiap tahunnya terdapat 190 perempuan yang
dieksekusi mati, kemudian meningkat di tahun 2022 menjadi 306 jiwa.
Fakta tersebut
membuat publik dunia terutama Indonesia bertanya, seperti apakah hukum negara
Iran yang notabene menggunakan Hukum Islam diterapkan dan dipraktekkan di sana?
Bukankah Hukum Islam pada marwahnya melindungi perempuan, menaikkan derajat
perempuan, dan memuliakan perempuan? Namun, mengapa yang terjadi di Iran malah
sebaliknya? Selain Amini, Soraya M, tokoh dalam Novel La Femme Lapidee
merupakan bukti dari kekesaran Iran terhadap perempuan.
Novel tersebut ditulis berdasarkan kisah nyata
dari hukuman rajam bagi perempuan di Iran, dengan latar tahun 1980-an. Sedangkan
penulis buku tersebut, Freidoune Sahebjam, lahir di Prancis pada tahun 1933
adalah seorang jurnalis keturunan Prancis-Iran. Ia bekerja sebagai wartawan
perang. Dalam karirnya, dia juga terkenal sebagai aktivis pembela kaum
perempuan.
Karya-karya Freidoune Sahebjam sering membahas tentang kekerasan terhadap perempuan di Timur Tengah, seperti The Stoning of Soraya M (1994), Morte Parmi Les Vivants. Karya-karyanya yang lain adalah L’iran de Pahlevis (1966), Mohamad Reza Pahlavi Shah d’Iran (1971), Princesse Persane (2005) sebuah biografi ibunya dan Ils Sont Devenus Fous: Chroniques de la Barbarie Islamique Ordinaire (2007). Freidoune menuliskan dan melaporkan penderitaan perempuan di negaranya sampai ia meninggal pada usia 75 tahun di Neuilly-sur-Seine, Prancis, karena ia divonis mati oleh rezim Teheran dan kemudian dihukum pancung.
Pewartaan kasus
Soraya (bukan nama Asli) menjadi sebuah novel yang bisa dibaca dan
diperdengarkan di seluruh dunia, mengenai ketidakadilan dan penindasan yang
dialami Soraya. Dalam jurnalisme sendiri, penulisan sebuah kasus dalam bentuk
novel merupakan upaya jurnalis untuk menekan diskriminasi yang mungkin akan
ditujukan pada jurnalis tersebut, jika mengangkat kasus yang sensitif atau
menyinggung kekuasaan tertentu.
Selain itu, sastra
juga sangat berjarak dengan kepentingan banyak pihak. Berbeda dengan jurnalisme
yang marak dipergunakan untuk melegitimasi kekuasaan beberapa pihak, sehingga rawan
terjadi ‘pembungkaman’. Oleh karena itu, ungkapan dari Seno Gumira Ajidarma,
seorang jurnalis dan sastrawan, yang berbunyi, “jika jurnalisme dibungkam, maka
sastra-lah yang akan berbicara” sangat cocok untuk disematkan.
La Femme Lapide
bercerita tentang kehidupan seorang wanita Iran yang dihukum rajam penduduk
setempat karena dituduh berzina. Novel
ini telah difilimkan dengan judul The Stoning of Soraya M. yang
disutradarai oleh Cyrus Nowrasteh, dan rilis perdana pada Juli 2009. Film ini hanya diputar di AS dan Kanada mulai
26 Juni karena dinilai terlalu sensitif.
Tokoh Soraya
diceritakan sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Suaminya, Ali,
adalah seorang sipir penjara yang ringan tangan dan selalu bersenang-senang
dengan wanita lain. Ia meminta Soraya untuk menceraikannya agar dapat menikah
dengan gadis berusia 14 tahun.
Soraya menolak
permintaan suaminya tersebut. Ali tetap berusaha mencari cara agar berpisah
dengan Soraya. Suami Soraya itu kemudian menghasut imam kampungnya untuk
bersekongkol dengan dirinya guna memfitnah Soraya. Soraya yang bekerja pada
seorang duda beranak satu, kemudian difitnah oleh suaminya sendiri bahwa ia
telah berselingkuh dengan si duda tersebut.
Untuk membuktikan
bahwa Soraya benar berselingkuh, Ali mengancam si duda untuk mengakui bahwa
memang Soraya menggoda dirinya. Jika tidak maka ia akan membuat anaknya menjadi
yatim. Demi melindungi anaknya, maka si duda terpaksa berbohong di hadapan
walikota, orang yang berhak memutuskan semua perkara. Seluruh warga termakan
dengan hasutan Ali, tidak terkecuali ayah dan kedua putra Soraya.
Dengan sistem pemerintahan
pasca Revolusi Iran yang patriaki, perempuan menjadi momok dan sumber aib,
sehingga hukum-hukum pidana di Iran acapkali memojokkan perempuan. Ditambah
hakim dan seperangkat pihak pengadilan, semua dijabat oleh laki-laki. Karena
hal itu, meski Soraya digambarkan tidak terlalu kuat berbuat salah, Soraya
tetap dinyatakan bersalah dan dihukum dengan dirajam.
Setelah berunding
dengan semua petinggi kota, maka diputuskan bahwa Soraya terbukti bersalah dan
akan dihukum. Menurut hukum yang berlaku di negeri itu. Jika seorang wanita
terbukti berselingkuh maka hukumannya adalah dengan dilempari batu hingga mati.
Zahra yang berusaha mati-matian membela keponakannya, tidak dapat berbuat
apa-apa.
Soraya dikubur setengah badan hingga sebatas pinggang dengan tangan diikat ke belakang. Satu persatu orang melempari dirinya dengan batu. Soraya yang malang akhirnya tewas di tangan para tetangga dan keluarganya sendiri. Setelah novel tersebut menjadi best seller, protes atas eksekusi mati dan hak perempuan semakin meluas di Iran. Namun, bagaikan ikan belajar memanjat pohon, suara-suara protes tersebut tidak menggelitik pendengaran pemerintah Iran. Malah, para aksi protes acapkali diteror dan hilang.
Hayatun Nufus
Sedang belajar dan
bermain di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekpresi Universitas Negeri Yogyakarta.
Dapat berkunjung di Sosmed Instagram: hayaatunnufuss
Editor: Ariska
Sani