Aksi peringatan hari tani nasional. (Foto: Gilang Kuryantoro) |
Yogyakarta, 24 September 2023, titik 0 Km dipadati oleh puluhan orang
yang melangsungkan aksi memperingati Hari Tani Nasional. Acara ini dihadiri
oleh individu dan kelompok, serta beberapa organisasi yang tergabung. Sekitar pukul
14.00 WIB massa aksi memulai peringatan hari tani dengan orasi. Beberapa isu
yang disuarakan adalah monopoli tanah petani dan kondisi petani perempuan di
Indonesia yang kian terpuruk.
“Kebanyakan perempuan bekerja sebagai buruh tani membantu
laki-lakinya, tapi tetap tidak cukup karena penguasaan tanah
yang sangat kecil,”
ucap Ana Mariana ketika ditemui awak Philosofis.
Ana, nama sapaannya, menjelaskan buruknya kondisi buruh tani perempuan di
Indonesia disebabkan oleh monopoli tanah yang dilakukan oleh segelintir orang. Dari
kajian yang dilakukan oleh Lembaga Pemberdayaan
dan Advokasi Masyarakat Perempuan dan Anak Mira Kompas Bentala (Mirabel), hampir 50% tanah hanya
dikuasai oleh 1% orang, akibatnya petani hanya bisa menguasai lahannya sebanyak
0,3 hektar. Kondisi ini semakin memperburuk petani dari segi pendapatan.
Masih dengan riset Mirabel, petani di Blora mengaku bahwa mereka mengalami
kerugian untuk ongkos bertani sebanyak Rp 35.000,00. Kondisi tersebut membuat keadaan
ekonomi yang kian memburuk, sehingga memaksa petani perempuan tidak hanya
menjadi buruh tani. Merasa sektor pertanian tidak memberi kehidupan yang layak,
mereka -petani- mencari peruntungan lain dengan menjadi buruh pabrik. Mirabel menemui
berbagai fenomena alih profesi dari petani menjadi buruh industri.
“Sebanyak 90%
perempuan bekerja pada
empat pabrik di Bantul. Mereka berasal dari wilayah dengan
mayoritas pertanian: Gunung Kidul, Purworejo dan Kulon Progo,” jelas Ana di
sela-sela massa aksi.
Pada saat yang sama, petani perempuan yang beralih profesi menjadi buruh
pabrik tidak mendapat hak dan kehidupan yang layak. Cuti haid misalnya, buruh
pabrik tidak diberi perizinan cuti ketika dalam kondisi menstruasi. Banyak dari
buruh pabrik, yang dahulunya adalah petani, kini menjadi semakin sulit
kehidupannya.
Mirabel membaca fenomoena ini terlihat seperti pembunuhan perlahan yang terjadi
di negeri sendiri, persis dengan apa yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kala kondisi petani di NTT semakin jauh dari kata layak, memaksa mereka untuk
berganti profesi. Namun, dalam kenyataannya mereka justru dihadapkan dengan
kematian ketika bekerja di luar negeri.
“Setiap harinya di NTT itu banyak
peti mati yang datang.
Bahkan dalam satu tahun itu ada 1900
buruh migran yang mati dari NTT. Mereka (Tenaga Kerja Indonesia: red) kebanyakan adalah petani yang
tidak mendapatkan hidup layak dan kemudian mencari pendapatan dengan bekerja di
luar negeri,” ujar Ana
Menurut Ana, fenomena peralihan profesi dari petani menjadi buruh
industri di Bantul dan NTT adalah sebagian dampak yang ditimbulkan dari monopoli
tanah. Hidup susah dan miskin di tanah yang membesarkan mereka adalah suatu
fakta yang tak bisa dihapuskan.
Banyak petani beralih profesi menjadi buruh industri. Tidak berhenti menjadi
buruh industri, mereka -petani- rela melakukan segalanya demi menyambung hidup.
Seperti yang terjadi di Indramayu, kala ibu kandung rela menjual darah
dagingnya kepada pria berhidung belang.
Gilang Kuryantoro
Reporter: Zhafran Hilmy dan Gilang Kuryantoro
Editor: Dewa Saputra