Jalannya diskusi "Pembangunan Kota Mengancam Hidup Masyarakat Urban.” (Foto: Zhafran Hilmy) |
Rabu, 13 September 2023, kolektif Leviathan menggelar acara
bertajuk “Pembangunan Kota Mengancam Hidup Masyarakat Urban”. Acara itu bertempat
di depan halaman Kopi Genk, Sorowajan, ditandai dengan beberapa spanduk
bertuliskan “kami menolak tergusur” hingga “menolak tunduk”. Sesi awal dibuka
dengan penampilan dari beberapa musisi dan dilanjutkan diskusi yang diisi masyarakat
korban konflik agraria. Terdiri dari perwakilan masyarakat Kali Code Yogyakarta,
hingga masyarakat yang didatangkan langsung dari Makassar, yakni Bara Baraya.
“Rangkaian (diskusi: red) panjang dibuat untuk
merekam kembali kejadian-kejadian yang terpecah, sehingga menimbulkan rasa
sakit dan keresahan yang kami alami. Selain itu, kesadaran individu berperan
penting dalam memperjuangkan ruang hidup masyarakat urban,” ucap Bayu, salah
satu anggota Leviathan.
Upaya mempertahankan ruang hidup juga dilakukan
masyarakat pinggiran Kali Code. Mereka, masyarakat sekitar Kali Code, terancam menjadi
korban penggusuran dalam rangka pembangunan hotel dan pembangunan mal, serta ruang-ruang
industri lain. Bayang-bayang penggusuran pun turut menimbulkan keresahan bagi mereka.
Anang, salah satu anggota Kebon Kali Code, suatu
komunitas yang bergerak mempertahankan pertanian di daerah perkotaan memiliki
ketakutan akan ancaman penggusuran. Ia melihat potensi penggusuran ruang hidup lantaran
adanya UU Keistimewaan. Sebab, salah satu poin UU Keistimewaan menyatakan bahwa
tanah yang ada di cakupan kasultanan adalah milik Keraton Yogyakarta.
Ketakutan tersebut bermula ketika pihak Keraton
melakukan inventarisasi lahan miliknya. Rencananya lahan yang didata tersebut
akan diproyeksikan guna pembangunan Kota Yogyakarta.
“Beberapa langkah yang sudah kita lakukan seperti
menempuh proses hukum, kita membicarakan bahwa hak atas tanah itu menjadi legal
buat masyarakat dan sekitarnya,” imbuh pria yang bertempat tinggal di sekitaran
Kali Code tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan masyarakat
Bara Baraya, Makassar, menyuarakan permasalahan perampasan ruang hidup yang
mereka alami. Konflik lahan sudah terjadi sejak tahun 2016 dengan KODAM 14 TNI
Hasanuddin.
“Konflik bermula ketika KODAM 14 Hasanuddin
hendak menertibkan aset berupa asrama Bara Baraya. Namun, saat ini konflik
meluas, sehingga menelan 28 rumah penduduk, yang jelas-jelas wilayahnya berada
di luar area asrama. Akhirnya lahan tersebut diklaim oleh pihak KODAM sebagai
tanah okupasi,” papar Fiki.
Perampasan ruang hidup yang dilakukan oleh
KODAM tidak berjalan mulus, sebab warga berhasil menggagalkan dengan melakukan
perlawanan. KODAM merespon perlawanan warga bersama dengan beberapa pihak yang
mengaku sebagai ahli waris. Mereka menyeret masyarakat korban perampasan ruang ke
ranah peradilan.
Di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi,
laporan pihak KODAM ditolak dan masyarakat menang, sehingga masyarakat
terhindar dari perampasan ruang untuk beberapa saat. Sekalipun putusan
peradilan sudah jelas, hal tersebut tidak menghentikan niat KODAM untuk merebut
lahan tersebut.
“Awal
tahun 2018, mereka (KODAM: red) melakukan gugatan baru terhadap warga di 28
rumah yang hendak digusur di pengadilan negeri Makassar, tapi usahanya masih
gagal. Mereka lalu melakukan banding di pengadilan tinggi, di sinilah warga
kecolongan. Warga kalah, sampai di putusan MA keluar pada 2022, putusan ini menetapkan
warga kalah atas gugatan KODAM,” ujar Fiki lebih lanjut setelah diskusi selesai
digelar.
Serangkaian diskusi ditutup dengan penampilan
dari Syifa Sativa. Iringan musik protes mengakhiri acara solidaritas yang
diadakan kolektif Leviathan pada malam tersebut.
Ainun Zeva
Reporter: Hisyam
Bilya Alwajdi dan Riski Bagus
Editor:
Dewa Saputra