Ilustrasi: Kedrick Azman |
Baru-baru ini beredar rilisan di beberapa
media online mengenai penghargaan jurnalistik yang diselenggarakan
atau diberikan oleh pihak militer kepada insan jurnalis Indonesia. Ya, Anda tidak
salah membaca! Penghargaan yang dimaksud tersebut bertajuk KASAD Award yang diserahkan langsung oleh
Pimpinan Pusat Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) 10 Juli
lalu.
Kasad Award merupakan rangkaian acara program KSAD
yaitu 'Bersama Merawat Kebangsaan'. Program yang merupakan bentuk dukungan
militer AD terhadap isu strategis negara, beberapa di antaranya pemberitaan
mengenai TNI AD di tengah kesulitan rakyat dan pembangunan di daerah 3T. Media
yang memiliki semangat memberitakan kategori tersebut akan diberikan
penghargaan, sebagai bentuk apresiasi dari KSAD.
Sekilas tidak ada yang salah dengan diselenggarakannya
penghargaan tersebut, kerja media yang hampir memenuhi lini kehidupan,
menjadikan institusi atau kelompok bisa berinisiasi untuk memberikan
penghargaan kepada seorang jurnalis. Namun hal tersebut menjadi ironi sekaligus
membingungkan, karena TNI dan Insan Jurnalis di Indonesia punya sejarah kelam
yang masih berlangsung sampai sekarang.
TNI yang merupakan institusi negara -bukan sipil-
mempunyai hak istimewa yang tidak dimiliki oleh sipil. Misalnya lisensi untuk
berlatih, menggunakan dan memiliki senjata, serta alat-alat bertempur lainnya.
Maka tak jarang hak istimewa tersebut kadang disalahgunakan. Salah satu contoh adalah kasus
kekerasan terhaap jurnalis oleh TNI merupakan kenyataan yang acap kali terjadi.
Ironi yang saya rasakan, tidak hanya timbul
berdasarkan subjektivitas semata. Sebab pada tahun 2013, Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) dengan lantang menyebut, "TNI merupakan musuh kebebasan pers di Indonesia."
Setiap tahun pemberitaan tentang kekerasan terhadap
jurnalis media terus bertambah. Bahkan pada 2022, AJI mencacatat terdapat 61 kasus kekerasan dan dua diantaranya
dilakukan oleh TNI. KASAD Award menjadi ironi jika kekerasan yang dilakukan
militer terhadap jurnalis terus mengambang di media online.
Kasus kekerasan militer terhadap jurnalis terus
terjadi sepanjang tahun tanpa adanya kata "jera" dari pihak militer.
Hal ini membuat publik bertanya, apakah saat militer melakuan kekerasan
terhadap sipil tidak diadili sama sekali? Pertanyaan tersebut merupakan
keresahaan banyak aktivis pembela hak para Jurnalis. Bagaimana tidak, militer
dengan sipil mempunyai sistem peradilan pidana yang berbeda dan seharusnya bisa
terhubung. Tetapi, tak kunjung dihubungkan oleh DPR.
Penghargaan TNI di Tengah Kekerasan Terhadap
jurnalis
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
pada Juli 2021, merilis analisis fenomena kecacatan hukum tersebut. Peradilan
pidana militer yang tertutup dan eksklusif merupakan warisan dari pemerintahan
Orde Baru. Namun, saat reformasi, warisan tersebut mengalami sedikit
modifikasi. Sebagaimana yang tertera pada TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 Tahun
2000, pada pasal 3 ayat 4, bahwasannya "prajurit tunduk kepada kekuasan
peradilamn militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk kepada
keuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran pidana umum yang diatur dengan
undang-undang".
Mirisnya sampai saat ini, DPR belum juga melakukan
reformasi terhadap UU Militer/ UU No. 34-2004, agar sesuai dengan ketentuan TAP
MPR Nomor VII/MPR/2000 Tahun 2000. Larangan atau aturan pidana antara
militer dan sipil belum dilengkapi, artinya belum sesuai. Dengan demikian
berdasarkan UU no.34/2004 tersebut, militer bisa diadili dengan pidana umum, jika
militer beraliansi dengan sipil dalam melakukan tindak pidana. Sedangkan kasus
yang banyak terjadi sekarang adalah militer sendiri yang selalu melakukan
kekerasan terhadap sipil terkhusus jurnalis. Sialnya tindakan tersebut tidak
akan pernah diadili oleh pengadilan manapun.
Fakta tersebut membuat para aktivis hukum pembela
hak asasi manusia geram, akan kecacatan hukum yang berlaku pada dan untuk
institusi militer. Sehingga sangat wajar jika kasus kekerasan militer terhadap
jurnalis pasti dan masih akan terjadi, selama belum ada payung hukum yang jelas
untuk mengatur hal tersebut.
Dengan kenyataan pahit kasus kekerasan militer
terhadap jurnallis, pertanyaanya masih pantaskah militer memberikan penghargaan
terhadap kerja-kerja jurnalis di media? Apakah acara penghargaaan tersebut
bentuk glorifikasi atas matinya keadilan bagi Jurnalis atas tindakan kekerasan
militer? atau penghargaan tersebut hanya seremonial mendekatkan diri agar dapat
menjilat insan media dalam rangka ajang promosi program kerja semata?
Awal pemberian penghargaan terhadap insan pers
sendiri bermula saaat organisasi Jurnalis pertama kali dibentuk di Solo.
Organisasi tersebut mulanya merupakan wadah untuk pers seluruh Indonesia agar
beraliansi selama masa revolusi fisik. Dengan harapan, aliansi yang dibentuk
dapat menghimpun kekuatan dalam bentuk propaganda media.
Lambat laun, organisasi tersebut memberikan banyak
penghargaan kepada insan jurnalis atas kerja-keja jurnalistiknya. Singkatnya,
pihak yang memberikan penghargaan terhadap sesuatu atau seseorang, haruslah
pihak yang memiliki konsentrasi di bidang tersebut, atau setidaknya memberikan
dampak pada sesuatu yang diberikan penghargaan.
Cotohnya penghargaan Oscar, yang awalnya merupakan
perkumpiulan insan perfilman Amerika untuk pendataan ketenagakerjaan para orang
yang terjun di dunia perfilman. Namun semakin berjalannya waktu dan
berkembangnya industri perfilman Amerika, organisasi tersebut berubah menjadi
ajang penghargaan yang didalamnya dipanitiai oleh para insan yang juga bersal
dari Industri atau ahli dalam studi film.
Lalu, apakah dengan adanya acara tersebut merupakan
awal yang baik untuk hubungan pers dan militer? atau bisa menjadi penyadaran
yang apik bagi pihak militer tentang kebebasan pers. Bagi orang yang memiliki
pikiran positif dan optimis terhadap institusi tersebut, pastilah akan berharap
demikan. Namun dalam kenyataanya, sepanjang acara yang berdurasi hampir 2 jam,
tidak ada sedikitpun dari pihak militer KSAD menyinggung tentang kebesan pers
dan kesadaran dari pihak militer akan pentingnya tidak melakukan diskriminasi
terhadap jurnalis saat melakukan kerja-kerjanya.
Ironinya, Penilaian penghargaan KSAD tersebut
berlangsung dari Mei-Juli 2023, di waktu yang sama terjadi intimiasi oleh oknum
TNI terhadap jurnalis Floresa.co. Kabar buruknya sampai sekarang kekerasan yang
dialami jurnalis Floresa.co tidak menemukan titik terang. Sehingga lagi-lagi
timbul pertanyaan, untuk apa Militer TNI AD tersbut memberikan penghargaan
terhadap jurnalis? Apakah untuk meng-glorivikasi tindakan diskriminasi mereka
terhadap jurnalis? Atau merupakan cara halus merenggut kebebasan pers dengan
kuasa dan materi yang mereka punya.
Hayatun Nufus
Penulis merupakan Mahasiswa Pendidikan Sejarah
Editor: Dewa Saputra