Jalannya diskusi jurnalisme musik yang dibersamai oleh Purnawan Setya Adi (kiri), Kiki PEA (tengah), dan Nuran Wibisono (kanan)(5/8). (Foto: Zhafran Naufal) |
Sore
yang lumayan cerah di hari Sabtu (5/8) mengiringi perjalanan menuju Downtown
Dinner di daerah Seturan, Sleman. Sebuah diskusi dengan tajuk Di Balik Panggung
Road to Cherrypop: “Jurnalisme dan Swasembada Musik” akan berlangsung.
Cherrypop adalah agenda tahunan di Yogyakarta yang melibatkan anak muda dari
berbagai disiplin: musisi, perupa, arsiparis, pembuat film, dan pegiat kuliner.
Pukul
empat sore, parkiran Downtown Dinner sudah dipadati puluhan motor. Sambil
berjalan dari parkiran menuju lantai tiga, beberapa orang tampak membicaran
soal diskusi yang akan berlangsung. Di depan pintu masuk di lantai tiga, langsung
disambut dengan bendera Cherrypop berwarna kuning. Bendera bergambar padi dan
kapas yang ingin menjelaskan bahwa dua ikon itu adalah representasi dari
swasembada. Hal ini senada dengan tema besar yang diangkat Cherrypop, yakni
Swasembada Musik.
Diskusi
ini adalah pengantar untuk salah satu program Cherrypop, yakni Pena Skena. Pena
Skena diadakan sebagai bentuk usaha untuk mengarsipkan dan menuliskan peristiwa
musik. Selain itu, agenda ini sekaligus mencari calon jurnalis muda yang
tertarik dengan musik.
Sebagai
pengantar diskursus musik, diskusi ini mendatangkan dua orang yang sudah malang
melintang di dunia jurnalisme musik. Pertama, Purnawan Setyo Adi. Ia adalah Redaktur
Pelaksana Mojok.co.
Dan yang kedua adalah Nuran Wibisono. Penulis buku Nice Boys Don’t Write
Rock n Roll ini sudah tidak
diragukan lagi pengalamannya dalam menulis musik.
Ketika
diskusi dimulai dan dimoderatori oleh Kiki PEA, dengan kejenakaannya, membuat
diskusi sore itu nampak seperti obrolan tongkrongan. “Hari ini tu senjakala
jurnalisme musik?” tanya Kiki pada kedua kawannya yang juga menjadi narasumber
diskusi. Pertanyaan itu juga menjadi tanda tanya besar bagi banyak orang yang
ikut dalam diskusi tersebut.
Kondisi
Jurnalisme Musik Hari Ini
Semenjak
media-media musik besar seperti Rolling Stone Indonesia, Trax, Hai, dsb, gulung
tikar, sudah tidak ada lagi korporasi media besar yang secara fokus membahas
musik. Pembahasan soal musik hari ini sudah terpecah dalam beragam bentuk dan
medium. Hal itu serupa dengan apa yang dikatakan Nuran Wibisono.
“Hari
ini, sudah tidak ada media musik yang besar dan mapan,” ucapnya sambil memegang
mic di tangan kanannya (5/8). Selanjutnya, Nuran juga menyampaikan bahwa
perkembangan zaman dan teknologi, memaksa media musik harus berganti medium.
“Era
Rolling Stone Indonesia dan teman-temannya udah selesai, sekarang zamannya
media sosial,” ujar Nuran. Editor Tirto.id
ini menjelaskan lebih lanjut bahwa media cetak kini sudah selesai, akan tetapi,
bukan berarti jurnalisme musik berakhir.
Nuran
menolak bahwa jurnalisme musik sudah menemui senjakalanya. Ia berkata
“Jurnalisme musik itu masih ada, hanya aja berubah format,” menjawab pertanyaan
Kiki di awal diskusi.
Selain
formatnya yang berubah, kini penopang ekonomi media musik juga berbeda. “Dulu,
media musik secara mandiri bisa menopang ekonominya, kini, kebanyakan di support
sama industri rokok,” jelas pria yang pernah menulis album Continumm karya
Jhon Mayer.
Selain
itu, media musik sekarang lebih banyak dikelola secara kolektif. Hari ini
sangat jarang media musik yang dikelola oleh institusi professional. “Hal itu (pengelolaan
secara kolektif) tentu ada baik dan buruknya,” lanjutnya.
Ketika
media musik yang dikelola secara kolektif tentu membuat siapa saja bisa menulis
di situ, akan tetapi secara ekonomi pasti kelabakan. “Menjadi jurnalis musik
hari ini tidak bisa memenuhi kebutuhan perut, dan itu tidak hanya ada di
Indonesia, ini kesulitan global,” ungkap penulis yang memulai karirnya sejak
2008.
Nuran
juga menjelaskan bahwa hari ini jurnalis dan media musik harus didasari dengan
“semangat senang-senang”. “Semangat senang-senang itu yang tetap menjaga api jurnalisme
musik, karena kalau mau cari duit, bakal susah,” jelasnya lebih lanjut.
Diskursus
Musik Mengalami Kemandekan?
Hari
ini, anggapan bahwa jurnalisme musik telah “mati” semakin santer terdengar. Hal
itu karena media musik besar telah hilang dan tidak ada lagi suatu kanon yang
menjadi pedoman. Akan tetapi, menurut Ipang (nama panggilan Purnawan) hilangnya
media besar itu tidak serta merta membuat diskursus musik mati.
“Sirnanya
media-media besar justru membuat media-media alternatif muncul,” ujar Ipang.
Selanjutnya, Ipang juga menerangkan bahwa ia sering melihat tulisan-tulisan
musik bersliweran di media sosial. Hal itu menunjukkan bahwa diskursus musik
masih hidup dan justru semakin menjamur.
“Diskrupsi
digital hari ini justru membuat informasi soal musik mudah diakses,” lanjutnya.
Ipang melanjutkan bahwa kemajuan teknologi dan akses informasi yang mudah
membuat diskursus musik masih menyala. Hal itu bisa dilihat hari ini ketika
banyak ulasan soal album ataupun single di dunia maya. Selain ulasan,
kritik atas sebuah karya musik juga bisa ditemui.
Seorang
penanya melontarkan pertanyaan: “Kenapa diskursus musik hari ini tidak seperti
dulu? Ketika ada sebuah kritikan, justru langsung diserang habis-habisan?”
Pertanyaan
itu merujuk pada sebuah kritikan atas album Reality Club yang beberapa bulan
lalu sempat ramai. “Pertama, karena mediumnya udah beda. Kedua, mungkin karena
hari ini, kritik musik jarang muncul,” jawab Ipang kepada seorang penanya. Ia
melanjutkan bahwa kritik music ini adalah sebuah ekosistem yang sehat dan tidak
menjadi sebuah masalah. Ketika kritikan terhadap sebuah karya muncul, berarti
setiap orang memiliki perpektif yang berbeda.
Kiki
juga tidak lupa menanggapi pertanyaan itu. “Menurutku, karena kritik musik itu
belum jadi hal yang biasa di masyarakat kita.” Menurut pria personil band
Megantruh itu, hari ini kritik musik masih bertengger di ranah-ranah akademis.
Ia mencontohkan dengan adanya Punk Scholar Network (PSN).
“PSN
itu kan banyak bahas soal itu (kritik musik), tapi ya cumann buat
orang-orang tertentu,” tandasnya lebih lanjut.
Di
akhir diskusi, Ipang menuturkan bahwa diskursus musik, terutama kritik musik harus
dibumikan. “Jangan sampai orang-orang alergi sama kritik musik atau sejenisnya,
ketika orang udah anti pati sama hal itu (kritik musik), ya diskursus
musik bakal mati,” ujarnya sebelum diskusi berakhir.
Zhafran Naufal Hilmy
Editor:
Dewa Saputra