Kedua wartawan itu terlihat kebingungan. Kondisi di sekitar mereka sudah sepenuhnya berubah. Mereka seolah berada di tempat dan dimensi berbeda. Gedung ini bukan gedung yang terakhir kali mereka singgahi. Tepat di depannya, justru tertulis Rumah Dinas. Mereka tak tahu rumah siapa, sebab tulisan selanjutnya tertutupi oleh tembok tinggi berwarna putih. Dua gerbang di sisi kanan dan kiri, tampak dijaga oleh aparat dengan ketat.
Ilustrasi: Imam Fauzan/Ijan |
Anisa menepuk pundak rekannya yang tengah menyulut
rokok di dekat tiang gedung tipikor. Rekan laki-lakinya itu hanya menoleh
sejenak, kemudian melanjutkan aktivitasnya. Setelah api tersulut pada batang
tembakau, ia mengisap dan menyembulkan asapnya ke udara. Lantas bertanya
singkat, “Gimana, Nis?”
Anisa menarik dan mengembuskan
napas berat, raut mukanya terlihat kecewa. Perempuan itu menjawab, “potongan
enam tahun, terus sekarang bebas bersyarat.” Adhan, rekan Anisa, tampak tidak
terkejut mendengar ucapannya. Ia hanya terkekeh pelan. Seolah ending ini
sudah dapat ditebak, sehingga tidak mengherankan.
Mereka adalah wartawan dari salah
satu media lokal di kota tempat mereka tinggal. Banyak isu yang kini tengah
ramai diperbincangkan. Entah kenapa mereka mendapat kasus yang menurut Adhan
membosankan. Tak sekali dua kali liputan tentang potongan hukuman koruptor
kelas kakap mereka dapatkan. “Bosan dan tak pernah ada perubahan,” kata Adhan
kemarin, saat tugas ini diserahkan pada mereka.
“Gak kaget, ya?” tanya Anisa
sambil memandangi wajah Adhan yang tampak lurus tanpa ekspresi.
“Gak. Udah biasa.”
Anisa geleng-geleng kepala
menanggapi Adhan. Mereka pun mulai melangkah untuk mengambil kendaraan,
meninggalkan gedung itu.
“Uang transport masih ada,
kan?” Adhan bertanya.
“Ada, bahkan kayaknya bakal
sisa, deh. Kita balikin ke kantor dulu.”
“Ngapain? Uang yang udah
keluar gak perlu masuk lagi, kan?”
Anisa mengerutkan kening.
“Teori dari mana?”
Adhan tak menjawab. Ia hanya
mengendikkan bahu. Mereka berjalan bersisihan menuju tempat parkir.
Saat Adhan mulai mendekati
motor dan akan menaikinya, angin kencang tiba-tiba berembus. Mendung hitam
menggelayut, memberi suasana mengerikan. Dari pintu masuk gedung lain di dekat
sana, seorang perempuan tampak menangis dan menjerit dengan histeris. Adhan dan
Anisa susah payah memfokuskan pandangan mereka, mengingat angin kencang membawa
begitu banyak debu yang bisa masuk ke mata kapan saja. Mereka saling berpandangan,
sama-sama mengenali perempuan itu. Perempuan itu merupakan anak dari nenek
miskin yang mendapatkan vonis satu tahun dengan denda 500 juta rupiah.
Entah dorongan dari mana,
Adhan dan Anisa langsung berlari mendekati perempuan tersebut. Namun, di tengah
langkah mereka, sebuah dahan pohon tiba-tiba saja tumbang. Angin kencang
menerbangkannya menuju tepat ke arah mereka berdua. Mereka mencoba menghindar,
tetapi tubuh mereka terpelanting di tengah halaman yang luas.
Adhan mencoba bangkit dan
menahan sakit di punggungnya akibat pukulan dahan tersebut. Ia melihat ke
samping. Anisa juga telah bangkit sembari menepuk-nepuk tubuhnya yang kotor.
Laki-laki itu bergegas memeriksa keadaan rekannya. Di saat yang sama, suara
gaduh terdengar dari arah gerbang. Keduanya menoleh, mendapati masa aksi yang
begitu banyak dengan megaphone menjulang di atas sebuah mobil pick-up.
Kedua wartawan itu terlihat
kebingungan. Kondisi di sekitar mereka sudah sepenuhnya berubah. Mereka seolah
berada di tempat dan dimensi berbeda. Gedung ini bukan gedung yang terakhir
kali mereka singgahi. Tepat di depannya, justru tertulis Rumah Dinas.
Mereka tak tahu rumah siapa, sebab tulisan selanjutnya tertutupi oleh tembok
tinggi berwarna putih. Dua gerbang di sisi kanan dan kiri, tampak dijaga oleh
aparat dengan ketat.
Perhatian mereka kembali
teralihkan. Sebuah mobil mirip Land Cruiser dari Toyota, masuk dari gerbang
belakang. Seorang pria dengan setelan jas necis dan rambut klimis, keluar dari
pintu penumpang. Ia tampak terburu-buru dengan perut yang membulat besar seolah
berusaha menduhuluinya berjalan.
“Apa saya terlambat?” tanya
pria itu pada seorang yang mirip ajudan.
“Anda sudah ditunggu sejak
tiga jam lalu.”
Anisa dan Adhan saling
berpandangan. Tiga jam bukan waktu yang singkat untuk saat-saat yang terlihat
genting seperti ini.
“Keparat itu ada di sana!”
Sebuah teriakan lantang
kembali menarik perhatian dua orang yang masih kebingungan tersebut. Mereka
kembali memandang pada sekelompok orang yang tengah berdemonstransi. Namun,
pandangan itu tidak lama mereka sematkan, sebab massa dalam skala besar itu
mecoba merangsek masuk. Pandangan heran dan kebingungan itu berubah menjadi
awas. Waspada, Anisa dan Adhan memasang kuda-kuda. Ketika gerbang berhasil
dibobol, Anisa dan Adhan dapat melihat dengan jelas badan-badan kurus dan kumuh
berada di sana, berlari dengan amarah. Kaus kedodoran yang tipis dengan
caping-caping yang koyak. Palu, sabit, hingga cangkul mereka bawa dan todongkan
tanpa ragu. Rombongan mereka seperti air bah yang meluber masuk ke dalam rumah
mewah dua tingkat tersebut. Sebagian melewati gerbang, sebagian lagi memanjat
pagar. Suara pistol mulai terdengar ditembakkan.
Dua wartawan itu mencoba menghindari
massa, tetapi mereka dikejutkan dengan auman singa putih yang tiba-tiba
mengamuk—agaknya terkejut dengan pistol dan keributan yang terjadi. Kaki mereka
bergetar karena merasa diserang dari dua arah. Sebelum mereka berhasil
memutuskan akan ke mana, kerumuman masa telah melahap mereka hingga tak
sadarkan diri. Tubuh mereka terinjak-injak seperti kedelai.
Adhan mengerjabkan mata. Bias
cahaya menyilaukan retinanya yang baru saja terbuka. Warna putih mendominasi
ruangan tempatnya berada. Ia melihat ke samping. Anisa terlihat sedang meringis
kala seorang pria mengenakan jas putih menempelkan kapas di wajahnya yang
terluka. Pria itu menyadari Adhan yang telah siuman. Ia tersenyum, kemudian mendekat
setelah selesai mengobati Anisa.
“Bagaimana? Sudah enakan?”
Adhan hendak mengangguk,
tetapi pandangannya teralihkan oleh layar televisi yang ada di ruangan itu. Tayangan
televisi tidak seperti biasanya, bukan menampilkan gosip, bukan pula menampilkan
sinetron. Banyak angka yang tertera di sana, seperti laporan fluktuasi
keuangan. Mungkin seperti laporan saham? Atau entahlah.
“Itu siaran apa?” Adhan
memilih bertanya.
Pria yang ia kenali sebagai
dokter itu menoleh ke arah yang Adhan tunjuk.
“Oh itu?” tanya dokter itu,
memastikan dengan kembali menatap wajah Adhan yang mengangguk. “Live report belanja
negara dan pendapatan. Apa Kau jarang melihatnya sampai-sampai tidak tahu itu
apa?” Dokter itu tertawa. “Langka sekali,” lanjutnya sembari menggelengkan kepala.
“Langka?”
“Iya, langka. Orang sepertimu
ini langka. Live report PBN, siapa yang tidak tahu? Mereka ditonton
setiap hari bahkan rating-nya melebihi siaran yang lain.”
Adhan masih terdiam. Dokter itu tampak menatap Adhan heran. Dia lantas mengulangi pertanyaan yang belum sempat Adhan jawab. Setelah memastikan pasiennya baik-baik saja, dokter itu berpamitan. Katanya ada jadwal lain sepuluh menit lagi di lantai bawah—entah Adhan dan Anisa sedang berada di lantai berapa. Namun, bagi Adhan dokter itu tepat waktu sekali.
Sambil memandangi sekitar
tempatnya berada, Adhan bertanya lirih, “kita di rumah sakit mana?”
Anisa menggeleng. “Kita bukan
berapa di rumah sakit, kita berapa di dalam pikiran kita sendiri.”
Semakin bingung, Adhan
mengernyitkan dahi lebih dalam. Ia mulai menyisir sekelilingnya, menyapukan
mata ke segala arah secara berulang. Di sebuah sisi sebelah kanan dirinya,
semburat cahaya masuk menyilaukan ruang itu, cahaya kekuningan datang melalui sebuah
jendela yang terbuka, sehingga menarik perhatiannya. Adhan berdiri lalu membuka
lebar-lebar tirai putih pada jendela itu. Aneh. Tempat ini persis seperti yang
pernah ia bayangkan.
“Tak ada korupsi, tak ada monopoli,
tak ada kolusi, korporasi menjalankan bisnisnya sesuai porsi. Kau pernah kan
membenci konsep, ‘mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya’?”
Adhan berbalik menghadap Anisa
yang kini tengah tersenyum.
“Bagaimana dengan robot-robot
itu?”
“Mereka membantu manusia,
bukan menggantikan.”
Anisa menekankan kata kerja
yang ia sebut pertama. “HAM dijalankan tanpa menumpulkan keadilan, kebebasan
diberlakukan, tapi bukan berarti tanpa batasan. Seperti katamu, kebebasanmu,
dibatasi oleh kebebasan orang lain. Setiap orang berjalan di jalannya
masing-masing.” Anisa ikut mendekat ke jendela, menatap kota metropolis yang
juga diidam-idamkannya.
“Bagaimana mereka bisa sampai
ke tahap ini?” Adhan bergumam.
Dia tiba-tiba teringat
sesuatu. Matanya cepat menatap mata Anisa. “Bagaimana dengan demonstrasi tadi?”
tanya Adhan sebelum Anisa sempat membalas gumaman pertamanya.
Anisa belum sempat menjawab
saat gedung tiba-tiba bergetar seperti gempa tengah terjadi. Alarm berbunyi di
mana-mana, suaranya memekakkan telinga. Lampu-lampu merah menyorot ke berbagai
arah, memberi tanda bahaya. Adhan dan Anisa menunduk. Mereka melindungi kepala
dan tengkuk leher dengan tangan. Berjongkok, berjalan pelan ke bawah meja.
Mereka menutup mata sembari merapal doa. Tubuh mereka seketika terhenyak,
seolah gravitasi menarik mereka dengan kasar menuju tempat lain.
“Kalian merasa lebih baik?”
Suara itu tak asing di telinga
Adhan. Laki-laki itu membuka mata. Kini ia terbaring di brankar dengan seorang
dokter yang tersenyum di sisi kirinya. Anisa terbaring di brankar sisi
kanannya. Ia melihat pada televisi di dekat sana. Sinetron yang biasa ibunya
tonton muncul di sana. Suasana ini sangat familiar, tidak seasing tadi sebelum
gempa terjadi.
“Istirahat dulu, nanti saya
kembali buat memeriksa kalian lagi.”
Dokter itu hendak berlalu.
Namun, dia menarik satu langkah mundur. Kembali menghadap Adhan dan Anisa. “Mau
jadi seperti yang pertama atau yang kedua, itu semua bergantung pada kalian.”
Dokter itu tersenyum sebelum benar-benar pergi.
Ariska Sani
Editor: Dewa
Saputra