Ilustrasi: Adam Yogatama |
Tak ada yang lebih memilukan kala dirimu
dibandingkan dengan perempuan lain. Aku harus terus memenuhi standar kecantikan
yang diamini banyak orang. Bagaimana
tidak, dunia seolah memaksa siapapun untuk memenuhi standar kecantikan yang
telah diamini banyak orang. Bahwa cantik itu harus memiliki tubuh ideal. Bahwa
cantik itu harus kita memiliki rambut yang lurus. Bahwa cantik itu harus
memiliki wajah mulus. Dan masih banyak standar-standar lainnya. Lalu, bagaimana
standar kecantikan masih bertahan di Indonesia hingga saat ini?
Standar Kecantikan di Indonesia yang Menyiksa
Nusantara punya sejarah panjang di mana kulit
putih memiliki tempat yang dipuja-puja sejak lama. Pemujaan ini bahkan telah
berlangsung jauh sebelum kedatangan kolonialisme. Setidaknya begitulah yang
dijelaskan L. Ayu Saraswati dalam bukunya Putih: Warna Kulit, Ras dan
Kecantikan di Indonesia Transnasional.
Dari awal hingga pertengahan abad ke-20, citra
kecantikan yang bergulir di Indonesia cukup beragam, begitupun dengan
keberadaan ras. Meskipun demikian, di antara keberagaman ras, kulit putih
tetap menjadi pakem yang utama. Pada masa itu, berbagai majalah perempuan
menampilkan model wajah cantik dari berbagai ras (Kaukasoid dan Mongoloid),
tetapi semuanya berkulit putih.
Jauh sebelum masa itu pada akhir abad
kesembilan, pembedaan warna kulit putih dan hitam pun sudah ada. Terbukti dalam
sebuah dokumen penting dari India, yakni Epos Ramayana. Naskah itu kemudian
diadopsi oleh masyarakat Jawa yang dinamai dengan Epos Ramayana Jawa.
Epos Ramayana Jawa menggambarkan kemasyuran kulit putih lewat pujian kecantikan Shinta. Shinta digambarkan memiliki wajah putih dan bercahaya bak bulan. Hal ini terbukti dalam penggalan cerita ketika Rama mengenang istrinya.
“Kenanganku akan wajahmu yang manis hidup kembali karena pemandangan seekor kijang. Sang gajah mengingatkanku akan keanggunanmu, sang bulan mengingatkanku akan wajahmu yang terang, Ah, aku dikuasai kecantikanmu,” ungkap Rama, dalam Epos Ramayana yang dikutip dari buku Putih: Warna Kulit, Ras dan Kecantikan di Indonesia Transnasional.
Sementara itu, kulit hitam dilambangkan sebagai sebuah penderitaan. Pada kedua Epos Ramayana, baik itu India maupun Jawa, tokoh-tokoh jahat memiliki kulit yang gelap seakan memiliki makna negatif. Dalam Ramayana Jawa Kuno, dikisahkan seorang pertapa perempuan mengalami perubahan warna kulit menjadi hitam setelah memakan daging Dewa Wisnu. Ramayana menyebutnya “segelap warna celak”.
Tak berhenti di situ, datangnya kolonialisme di Indonesia memperparah jurang pembeda antara kulit putih dan hitam. Pada era kolonialisme Belanda, warna kulit menjadi simbol status sosial. Kulit putih ditempatkan pada tingkat kuasa tertinggi, sedangkan kulit hitam selalu berada di strata terendah. Stereotipe terhadap kulit hitam di Hindia Belanda begitu kejam. Remco Raben dalam tesisnya menyebutkan bahwa diskriminasi terhadap kulit hitam sudah muncul sejak abad ke-17. Lewat catatan dan kesaksian orang Eropa, orang berkulit hitam selalu direpresentasikan sebagai sosok “pemalas”, “bodoh”, dan “lacur”.
Level sosial terhadap warna kulit juga menjalar sampai institusi pendidikan. Hal ini terlihat dari memoar seorang perempuan Indo yang ditulis oleh Van der Veur. Memoar tersebut mengisahkan bagaimana masa kanak-kanaknya selama di Hindia. Pada saat itu para murid dan guru memandang paling tinggi murid-murid Eropa yang berkulit terang dan putih di sekolah.
Lewat media cetak, Epos Ramayana Jawa, dan
kolonialisme, masyarakat dikonstruksi dengan konsep kecantikan berupa kulit
putih. Dari sinilah, standar kecantikan dibentuk dan membuat warna kulit
menjadi sebuah tanda status sosial.
Berkontestasi Menjadi Cantik
Masyarakat yang selalu melanggengkan standar
kecantikan, pada akhirnya melahirkan panggung kontestasi bagi para perempuan.
Mereka berlomba-lomba memenuhi seluruh standar kecantikan yang ada. Mengobarkan
apa saja demi terlihat “cantik” dalam kacamata masyarakat. Mengapa banyak
perempuan melakukan itu? Jawabannya hanya satu, mereka menginginkan privilege.
Seorang perempuan yang memenuhi standar
kecantikan masyarakat akan lebih diterima keberadaannya, memiliki kekuasaan
lebih, dan tentunya akan lebih dihargai. Ya, beauty privilege (hak
istimewa kecantikan) benar adanya dan terpampang nyata. Kita bisa menemukan itu
berserakan di media sosial. Bagaimana orang-orang bersikap lebih ramah lewat
kolom komentar untuk perempuan yang cantiknya memenuhi standar kecantikan
masyarakat. Bahkan memberikan pembelaan atas kesalahan yang telah diperbuat
karena dianggap “cantik”. Dengan begitu, siapa sih yang tak ingin menjadi
“cantik”?
Bertahun-tahun aku terbawa oleh arus standar
kecantikan yang mencekik dan menyiksa. Mungkin kalian juga merasakannya. Dari
sekian banyak indikator-indikatornya, memiliki kulit putih menjadi salah satu
indikator yang sangat aku idamkan. Perasaan kurang cantik pun muncul ketika
berkaca dan melihat warna kulit coklat.
Bagi perempuan yang tak berkulit putih pasti tak
asing mendengar kalimat, “Kamu cantik, tapi sayangnya nggak putih.” Aku
sendiri mengalaminya. Bahkan sejak kecil tak jarang aku dibandingkan dengan
perempuan-perempuan lain yang memiliki kulit putih. Dari sinilah persaingan
antar perempuan dimulai.
Tanpa kita sadari, berlomba untuk menjadi
seseorang yang “cantik” telah dibangun sejak masa kanak-kanak. Mainan menjadi
salah satu media dalam membangun konsep cantik. Misalnya saja mainan barbie.
Meskipun kini telah hadir barbie dengan kulit gelap, tetap saja barbie
yang berkulit putih lebih laku keras di pasaran. Contohnya di Afrika, barbie
berkulit putih lebih banyak peminatnya, meskipun di negara dengan mayoritas
penduduk berkulit gelap. Bukankah ini menjadi pertanda bahwa barbie sebagai
ikon fiktif telah berhasil memberikan doktrin yang melahirkan imajinasi cantik
itu berkulit putih?
Barbie yang menjadi mainan kita dahulu merupakan
representasi standar kecantikan yang berlaku sampai saat ini. Dimana ia (barbie)
memiliki kulit putih, rambut panjang dan lurus, hidung mancung, badan jenjang
dan langsing serta wajah yang mulus dan kencang. Cantik. Itulah definisi cantik
yang dilahirkan melalui mainan.
Pada akhirnya, mainan itu berhasil menggiringku
kepada konsep standar kecantikan sejak aku kecil bahkan hingga dewasa. Seperti
yang dijelaskan Ester Lianawati dalam buku Akhir Penjatanan Dunia, bahwa
sejak kecil perempuan telah didulang standar kecantikan melalui boneka, pujian
ataupun omelan, gambar-gambar dan kata-kata. Oleh karenanya, anak akan
menemukan makna “cantik” dan “jelek” dengan sendirinya. Tidak membutuhkan waktu
lama bagi anak untuk paham bahwa untuk memikat ia harus cantik seperti
imajinasi-imajinasi yang telah ditanamkan (image). Maka selanjutnya ia
akan mencari image tersebut dan menyerupainya.
Itulah yang terjadi padaku. Sejak remaja, aku
berusaha keras untuk menjadi cantik dengan standar kecantikan yang telah kubawa
sejak kecil. Hal itu masuk dalam alam bawah sadarku. Mencari image dan
ingin menyerupainya. Image itu adalah para selebgram. Segala cara aku
lakukan untuk memiliki kulit putih. Mulai dari perawatan tubuh hingga wajah.
Dari ke dokter spesialis kulit hingga klinik kecantikan. Semuanya kulakukan,
dari yang tidak menimbulkan efek apapun hingga menimbulkan rasa sakit seperti treatment,
bahkan menimbulkan iritasi di wajah.
Dalam membeli dan menggunakan produk skincare
pula, aku selalu mencari produk yang memiliki klaim dapat memutihkan kulit.
Begitu obsesinya aku untuk mendapatkan kulit putih. Padahal, pada kenyataannya,
tidak ada satu pun produk skincare yang bisa mengubah warna kulit.
Sebagaimana penjelasan pakar kecantikan dr.
Yessica Tania atau sering disapa dr. Zie, bahwa pada dasarnya penggunaan skincare
bertujuan untuk mencerahkan wajah bukan memutihkan. “Kalau kamu mau pakai skincare
untuk mutihin wajah, jujur itu ngga bisa. Jangan pernah berharap untuk bisa
ubah warna atau skintone kamu. Yang bisa dilakukan skincare itu
hanya membuat kulit lebih cerah,” ungkapnya.
Secara tidak langsung, produk kecantikan ini juga andil dalam mendukung standar kecantikan yang selama ini dikonstruksikan. Lewat klaim produk “dapat memutihkan kulit wajah”, seakan kalimat itu ingin mengatakan bahwa cantik itu harus putih.
Pelanggengan Standar Kecantikan Dan Diskriminasi
Tak berhenti di mainan dan produk kecantikan
saja. Media sosial turut andil melanggengkannya. Setahun yang lalu, TikTok
sempat ramai dengan tren make up yang bernama clean girl aesthetic.
Semua perempuan seakan tak mau ketinggalan dengan tren tersebut. Mulai
dari beauty influencers hingga public figure seperti Gigi Hadid.
Secara garis besar, clean girl aesthetic ingin
menunjukkan penggunaan make up yang minimalis. Meskipun hanya bermodalkan
beauty balm (BB) cream, blush on, lip gloss, dan
pensil alis, wajah mampu terlihat glowing.
Sayangnya, di media sosial, banyak orang yang
salah kaprah mengenai makna sesungguhnya dari tren make up tersebut. Clean
girl aesthetic di dunia maya lebih banyak direpresentasikan oleh perempuan
yang berkulit putih dan tanpa jerawat. Sehingga membentuk konsepsi bahwa
perempuan yang berwajah glowing adalah mereka yang memenuhi indikator beauty
standard Eurosentris. Padahal awal mula konsep clean girl justru
lebih dulu diangkat oleh perempuan-perempuan Latin
yang notabene berkulit gelap.
Di samping itu, perempuan berjerawat dan
berkulit coklat seringkali mendapat diskriminasi. Aku dan banyak teman di luar
sana pasti pernah mengalaminya. Secara sadar atau tidak, orang-orang dengan
entengnya melontarkan bermacam kalimat penghakiman, bahkan sampai
merendahkan.
Tidak sedikit yang menganggapku jorok dan kotor.
Hanya karena jerawat yang muncul di wajahku. Padahal, faktanya jerawat memiliki
banyak penyebab. Salah satunya memang diakibatkan karena kotoran yang menempel.
Ya, aku mengakui dan tidak menyangkalnya. Akan tetapi, hal itu tidak serta
merta dijadikan sebagai penyebab utama.
Masih banyak hal lain yang menyebabkan munculnya jerawat. Pertama, faktor keturunan (genetik). Siapa saja bisa mengalami masalah jerawat jika orang tuanya merasai hal serupa. Kedua, produksi sebum yang berlebih. Sebum adalah zat yang diproduksi kelenjar minyak untuk mencegah kulit kering secara alami. Ketiga, hormon. Jerawat bisa muncul kala hormon androgen diproduksi secara berlebih. Perubahan hormon saat menstruasi maupun hamil juga menjadi pemicu munculnya jerawat.
Epilog
Jerawat adalah hal yang normal. Bukan sesuatu
yang menjijikkan, juga bukan aib yang harus ditutup-tutupi. Begitu pun dengan
warna kulit. Tak masalah jika berjerawat. Tak masalah jika berkulit coklat.
Masalah itu baru muncul ketika kita terus mengikuti arus standar kecantikan.
Terus berusaha berkontestasi dengan perempuan-perempuan lain untuk menjadi
“cantik” dan memenuhi standar kecantikan demi diakui masyarakat.
Pengakuan dari publik membuat kita kehilangan value
diri kita yang sebenarnya. Lewat beauty standard, kita dipaksa
menjadi orang lain. Kita seakan hanya dijadikan objek untuk memenuhi hasrat
kecantikan versi mereka (re:masyarakat). Hal itu menyebabkan diri kita yang
seutuhnya, sepenuhnya, dan sebenarnya hilang ditelan konsep kecantikan yang
menyiksa.
Kita semua cantik. Kecantikan tidak diukur
dengan warna kulit, tubuh langsing, dan rambut yang lurus. Kecantikan adalah
ketika setiap perempuan bisa menjadi dirinya sendiri. Kecantikan lahir kala
semua perempuan menerima apapun warna kulitnya dan bangga memilikinya. Bukan
menjadi orang lain dan berkompetisi demi kecantikan yang dikonstruksikan.