Jumat, 9 Juni, Yayasan Biennale Yogyakarta
menggelar Pameran Asana Bina Seni “Se(tempat)” 2023. Seniman yang terlibat
sebanyak 15 seniman individu dan 7 seniman yang tergabung dalam perkumpulan
seni. Total ada 22 buah karya yang dipamerkan kepada pengunjung di Taman Budaya
Yogyakarta. Variasi karya dapat dilihat secara jelas, mulai dari video art, instalasi seni, hingga mix media. Salah satu seniman yang
menggunakan instalasi seni ialah Nessa Theo dengan judul “A Taste of
Inheritance”. Dalam pameran ini, Nessa Theo memadukan instalasi ruangan dan
lukisan.
Perempuan yang akrab disapa Nessa ini memaparkan tentang tiga warisan dalam karyanya, yaitu kelas, ras, dan preferensi rasa. Unsur itulah yang membantunya menelusuri sejarah keluarga. Ia berusaha melukiskan ingatan tentang memori yang dialami oleh keluarganya. Memori itu paling banyak berasal dari pengalaman hidup ibu dan kakeknya yang pernah mengalami diskriminasi. Rangkuman ingatan keluarga tersebut menjadi fondasi utama penciptaan karya seni Nessa.
“Lewat karya ini, aku sebenarnya ingin mematahkan ekspektasi
seperti 'Teh kayanya manis, ternyata pas diminum pahit. Atau (teh) ini manis,
pertanda sejahtera'. Pahit di sini konotasinya pengalaman yang pahit,” ujar
Nessa.
Perempuan yang sedang menempuh studi S1 di Prodi Sejarah UGM
itu mendapatkan informasi dari ibunya melalui wawancara. Dari wawancara itu, Nessa
mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi pada keluarganya, seperti pekerjaan
sang kakek. Menurut penuturan ibunya, kakek Nessa merupakan seorang buruh. Selain
itu, kakeknya juga pernah berdagang di pinggir jalan untuk menyambung hidup.
Ibu dan tantenya ikut membantu pekerjaan kakek.
Ada nasihat dari kakek Nessa yang diberikan kepada
anaknya. Ia pernah memberikan nasihat kepada ibu dari Nessa supaya bijak dalam
mengelola keuangan. Di samping itu, kakeknya juga berpesan agar tidak
memamerkan kekayaan kepada
orang lain. Pesan-pesan kebajikan ini yang masih melekat di ingatan ibunya.
Di pameran kali ini, Nessa juga menampilkan lukisan dari teh
dengan
media wadah tepung terigu. Terdapat empat buah lukisan yang
dipajang di dinding pameran. Salah satu karyanya memperlihatkan figur seorang
kakek yang sedang melayani pembeli. Ini terinspirasi dari kisah
kakeknya. Dahulu, kakek Nessa merupakan pedagang. Suatu saat, ada pembeli yang
tidak mau membayar barang yang ia beli. Namun, respons sang kakek bukanlah
menuntut pembeli, ia hanya bisa pasrah karena menjadi pihak minoritas dan takut terjadi suatu konflik yang lebih luas.
Cerita keluarga Nessa bersambung ke memori tentang
diskriminasi yang dialami ibu dan saudaranya ketika bersekolah di sekolah Cina.
Kala itu, pemerintahan Orde Baru membatasi ruang gerak etnis Cina di
Indonesia. Bahkan orang keturunan Cina tidak diperkenankan untuk berbicara
dengan bahasa ibunya, termasuk penggunaan bahasa Tio Ciu. Sebagai penggantinya, setiap orang etnis Cina harus
menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Kebijakan ini berlaku di semua
sekolah.
“Dia (ibu dari Nessa, red) bilang, suatu hari pas sekolah di
Pontianak, sesama guru dan teman terbiasa ngobrol
pakai bahasa dialek (bahasa Tio Ciu) gitu. Terus sama pemerintah, tiba-tiba
dilarang belajar bahasa Mandarin atau bahasa dialek lagi di sekolah. Jadi harus
pakai bahasa Indonesia. Menurut mamaku itu aneh,” terang Nessa.
Larangan belajar bahasa Mandarin bukan akhir dari masalah.
Pemerintah juga menutup sekolah orang Cina tersebut. Anak-anak yang bersekolah
di sana dipindah ke sekolah lain, termasuk ibu Nessa dan saudara-saudaranya.
Sekolah yang menjadi tujuan ini merupakan sekolah negeri. Namun, ketika bersekolah
di institusi pendidikan yang baru, ibunya merupakan satu-satunya orang beretnis
Cina dan tidak bersama dengan saudaranya. Padahal sebelum pindah, mereka berada
dalam satu kelas yang sama. Setelah ditelusuri, ternyata di dokumen saudara
ibunya, pekerjaan sang ayah itu pedagang. Sedangkan pekerjaan kakek Nessa itu
buruh. Perbedaan kelas ekonomi juga berpengaruh dalam pengaturan
siswa dalam sekolah.
"Waktu itu mama dipindahin ke sekolah negeri yang gak
ada orang Cina. Terus mama ngerasa takut,” ujar Nessa.
Kakek Nessa berpesan kepada ibu Nessa untuk menurut dan
jangan macam-macam. Hal ini tidak terlepas dari munculnya diskriminasi terhadap
orang Cina di Kalimantan. Ibu Nessa menceritakan ayah temannya yang hilang,
mendengar tembakan atau dimasukkan ke camp.
Nessa sempat membandingkan dirinya sebagai mahasiswa keturunan Cina di Prodi
Sejarah UGM dengan ibunya. Namun ibunya mengatakan bahwa komparasi seperti itu
sudah tidak tepat. Cerita semacam itu yang terkandung dalam karya Nessa.
Karya seni yang ditampilkan ini tidak luput dari proses
kurasi. Orang yang berperan sebagai kurator karya Nessa ini ialah Samuel
Bonardo, alumni ISI Yogyakarta. Dalam gelaran pameran ini, Sam,
panggilan akrabnya, andil dalam karyanya. Tak hanya kurator, Sam juga
berperan sebagai
penulis. Kendati demikian, Sam mengakui bahwa ia tidak terjun
banyak dalam kerja kekuratoran. Kegiatan lain, seperti letak display dan ruang,
itu menjadi kerja eksplorasi yang dilakukan ketika sudah pameran.
Saat menyinggung karya Nessa, hal pertama yang dilakukan
Samuel terhadap karya, yaitu bertanya tentang motivasi seniman. Sebagai orang
yang memiliki latar belakang di bidang film dan televisi,
pendekatan inilah yang dilakukan. Ia juga akan menanyakan tentang alternatif
karya atau memberikan saran yang diharapkan bisa membantu seniman, termasuk
Nessa.
“Aku merasa karya Nessa memiliki cerita yang sangat folkative dan ia orang yang tidak nol banget dalam
gagasan. Menurutku, karya ini eksplorasi paling berani buat seorang pelukis watercolor yang dapat diserap
pancaindra,” ujar mahasiswa lulusan ISI Yogyakarta ini.
Sebagai seorang kurator, Samuel juga membantu kebutuhan yang
diperlukan oleh seniman. Untuk Nessa sendiri, Samuel membantu mencarikan ceret sebagai penggambaran memori.
Sebelum menggunakan media kain dari wadah tepung terigu, Nessa mencoba memakai
linen. Sayang catnya tidak menempel sehingga diputuskan untuk menggunakan bahan
lainnya. Ia menambahkan bahwa konsep
yang dibawa Nessa menguatkan konteks dan nuansa. Lalu ia membuat tulisan kuratorial.
Selain Nessa, ada empat karya seniman yang ditulis oleh Sam. Menurutnya, keempat
karya itu memiliki kedekatan isu.
“Secara konsep, aku sangat setuju karena secara visual itu
sangat menguatkan konteks dan nuansa yang ia ingat dari cerita keluarga waktu ngeteh dan ngobrol sama mamanya. Jadi,
aku sangat setuju dengan penggambaran seninya,” kata Sam saat mengomentari
konteks peristiwanya.
Fatimah Nabila Azzahro
Reporter: Yoga Hanindyatama, Fatimah Nabila Azzahro, Alya Fitri Rahayu
Editor: Aisya Puja Ray
Perempuan yang akrab disapa Nessa ini memaparkan tentang tiga warisan dalam karyanya, yaitu kelas, ras, dan preferensi rasa. Unsur itulah yang membantunya menelusuri sejarah keluarga. Ia berusaha melukiskan ingatan tentang memori yang dialami oleh keluarganya. Memori itu paling banyak berasal dari pengalaman hidup ibu dan kakeknya yang pernah mengalami diskriminasi. Rangkuman ingatan keluarga tersebut menjadi fondasi utama penciptaan karya seni Nessa.
Figur seorang kakek yang tengah melayani pembeli (09/06/2023) Foto: Yoga Hanindyatama |
Reporter: Yoga Hanindyatama, Fatimah Nabila Azzahro, Alya Fitri Rahayu
Editor: Aisya Puja Ray
minimal straightnews yang kek gini. keren!
BalasHapus