Kolektif Zine.Think melakukan pendampingan terhadap
korban pemerasan berbasis ekspresi seksual. Nana (bukan nama sebenarnya),
adalah seorang Queer yang menjadi korban. Kejahatan ini menunjukkan adanya diskriminasi
hingga berbagai potensi ancaman kepada LGBTQ+. Mulai dari kekerasan fisik,
verbal, doxing dan masih banyak lagi, serta yang paling brutal adalah
ancaman pembunuhan. Di satu sisi, kasus ini telah menyibak tabir bagaimana posisi
Queer yang begitu rentan. Disingkirkan negara, masyarakat, bahkan keluarga.
|
Ilustrasi: Adam Yogatama |
Jumat, 5 Mei 2023,
Kolektif Zine.Think membuat
acara dengan tajuk Sharing is Queering. Tujuan diadakannya acara ini adalah untuk
memperluas jaringan Queer. Selain itu, acara yang dilangsungkan di sebuah Coffee
Shop ini, sebagai bentuk solidaritas terhadap kasus pemerasan berbasis
ekspresi seksual yang dialami oleh salah satu Queer. Sebab, menurut Anggun,
selaku panitia, menyebut bahwa tidak ada ruang aman bagi Queer, justru sebaliknya
banyak diskriminasi yang didapati oleh Queer.
Dalam perhelatan
itu, juga terdapat sebuah diskusi dengan tema keamanan digital. Adanya diskusi
tersebut bertujuan untuk mitigasi dan perlindungan diri dari kemungkinan
terjadinya kekerasan gender berbasis oline (KGBO). Pemilihan tema diskusi yang
diadakan bukan tanpa alasan. Sebelumnya, Nana, bukan nama sebenarnya, menjadi
korban dari KGBO ini. Pemerasan uang dan diskriminasi berbasis ekspresi seksual
menimpanya di media digital—aplikasi kencan online.
“Jadi, latar
belakang diskusi ini karena kita sedang melakukan pendampingan kasus (pemerasan
berbasis ekspresi seksual: Red), yakni pemerasan dan dugaan KGBO melalui dating
apps, korban mengalami ancaman doxing dan diperas uangnya,” ucap
Anggun di sela acara Sharing is Queering.
Anggun menduga
bahwa pelaku ini menyasar kelompok tertentu—LGBTQ+. Pelaku melakukan
pengancaman dan pemerasan uang kepada Nana. Jika tidak diberi, identitas korban
dengan ekspresi seksual LGBTQ+ akan dibeberkan pada keluarga dan tetangga
tempat korban tinggal.
Sebelumnya, kasus
ini bermula pada malam hari tanggal 19 Maret 2022, Nana mengenal pelaku melalui
salah satu aplikasi kencan. Ia kemudian bertukar beberapa informasi dengan
pelaku, termasuk lokasi tempat korban tinggal. Namun, karena dirasa sudah tidak
nyaman, Nana memutuskan untuk memblokir akun pelaku.
Keesokan paginya,
Nana didatangi oleh dua orang lelaki yang mengaku teman pelaku. Mereka bertutur
bahwa pelaku telah memiliki pasangan sah. Kemudian memaksa Nana untuk
memberikan sejumlah uang karena pelaku memiliki suatu permasalahan keluarga
tanpa kejelasan yang pasti.
Karena
terintimidasi dan mendapati paksaan, Nana terpaksa memberi uang dan dipaksa
membuat surat pernyataan yang berisi tentang permasalahan dengan pelaku. Surat
itu memuat tentang kesepakatan bahwa persoalan tersebut telah berakhir dengan tanda
tangan kedua pihak.
“Korban diperas
dan dimintai uang sebesar 2 juta, karena korban tidak punya uang sama sekali,
dia berpikir untuk pinjol (pinjaman online: Red), tapi total pinjamannya jadi 2,7
juta karena bunga pinjol yang besar,” terang Anggun kala bercerita tentang
biaya yang harus ditanggung korban.
Pilihan pelaku
yang menyasar LGBTQ+ sebagai bahan memeras uang menjadi senjata paling ampuh
dalam memojokkan korban. Sebab, ancaman doxing dengan membongkar ekspresi
seksual merupakan ketakutan terbesar korban.
Melihat potensi
itu, pelaku melakukan pemerasan uang sejumlah 2.000.000 rupiah. Jika tidak
diberi, pelaku mengancam akan mendatangi tempat tinggal korban dan
menyebarluaskan identitas sebagai seorang LGBTQ+ kepada keluarga dan tetangga
korban.
Selain biaya uang
yang harus dikeluarkan untuk menutup hutang. Nana juga harus menanggung beban psikologis
karena ancaman yang dilakukan oleh pelaku. Korban mengalami depresi dan
terpukul karena kejahatan ini
Mengurungkan
Niat Melanjutkan Proses Hukum
Melihat kejahatan
yang dilakukan oleh pelaku, Nana dan teman-teman komunitas LGBTQ+ memutuskan
untuk menempuh jalur hukum. Namun, karena resiko yang dihadapi begitu berat
bagi Nana dan tidak ada hukum di Indonesia yang melindungi LGBTQ+, mereka
mengurungkan diri melanjutkan proses hukum.
Nana dan teman-teman komunitas LGBTQ+ sempat mendatangi Lembaga
Badan Hukum (LBH) Yogyakarta. Mereka berkeinginan untuk melanjutkan kasus ini
di persidangan.
“LBH sebenarnya bisa melakukan pendampingan sampai pengaduan
kepolisian, cuman, kemarin masih tahap konsultasi dan diterangkan
resiko-resikonya,” ujar Anggun, teman satu komunitas Nana yang juga ikut
membantu advokasi.
LBH Yogyakarta juga telah
menerangkan kepada korban tentang berbagai resiko yang dihadapi jika kasus yang
menimpanya dilanjutkan di jalur hukum.
“Diterangkan juga resiko yang dihadapi akan
seperti apa, kasus ini bisa masuk ke ranah hukum karena ada ancaman,” Anggun
mulai menjelaskan.
Meskipun sudah ada bukti pemerasan yang jelas. Namun, karena tidak
ada hukum yang melindungi ekspresi seksual dan keamanan diri LGBTQ+, Nana dan
teman-teman komunitas LGBTQ+ mengurungkan niat.
“Dengan adanya kerugian, sebenarnya sudah ada bisa ke jalur hukum,
tetapi karena identitas LGBTQ+ rentan untuk di blaming dan disalahkan,
jadi yang dilakukan LBH hanya sebatas konsultasi hukum,” pungkas Anggun
memperjelas.
Meski bukti-bukti intimidasi dan pemerasan berbasis ekspresi seksual
sudah dikumpulkan, mereka tetap tidak melanjutkan proses hukum. Menimbang
berbagai resiko yang harus dihadapi Nana. Terutama ketakutan terbesarnya jika
identitas sebagai LGBTQ+ diketahui publik.
Pihak LBH Yogyakarta, melalui Kharisma, selaku Kepala Divisi Pendidikan
dan Pengaderan, mengkonfirmasi kasus yang menimpa Nana. Kasus tersebut diterima
oleh LBH, namun berhenti pada tahap konsultasi hukum.
“Kami tidak pernah memaksa client, memberikan nasihat hukum itu
sifatnya opsi-opsi pertimbangan. Semua dikembalikan lagi pada client, gak ada
masalah kalau tidak mau melanjutkan proses hukum, karena lagi-lagi itu
keputusan dan pertimbangan ada di client,” Kharisma menjelaskan.
LBH Yogyakarta mengaku belum sempat membuat analisis hukum kala
menerima laporan kasus Nana. Kharisma menjelaskan bahwa memang terdapat
indikasi kasus KGBO. Bocornya data tempat tinggal Nana ke orang lain adalah
salah satu indikasi terjadinya KGBO. Namun, ia lebih menyoroti pada pemerasan
dan intimidasi yang dilakukan pelaku.
“Sebenarnya,
bentuk kekerasan intimidasinya bukan KGBO, karena KGBO kan berbasis online dan
gender, tetapi dalam kasus ini terjadi intimidasi dan pemerasan secara
langsung,” tutur Kepala Divisi Pendidikan dan Pengaderan LBH Yogyakarta.
Kasus yang menimpa Nana memang
memiliki indikasi KGBO, namun dari kronologis yang disusun, Kharisma menyebut
kasus ini sebagai pemerasan dan intimidasi secara langsung. Namun, tetap tidak
mengkesampingkan KGBO yang dilakukan pelaku dengan menyebarkan tempat tinggal
korban.
Kharisma menyebutkan bahwa banyak
kasus yang terjadi di kalangan LGBTQ+. Ia juga menduga bahwa masih banyak kasus
tidak terungkap yang menimpa Queer. Ditambah, ketika mengadvokasi kasus LGBTQ+
menjadi tantangan tersendiri, karena diskriminasi yang terjadi bisa berlapis.
Tidak Ada Hukum yang Melindungi
Menjadi Akar Diskriminasi LGBTQ+
Perlindungan data pribadi, termasuk
ekspresi seksual tidak mendapat perhatian serius dari negara. Hal ini menjadikan
LGBTQ+ rentan ketika mengekspresikan kebebasan gender dan seksual mereka. Tak
jarang mereka mendapat diskriminasi secara fisik dan verbal, juga ancaman
dibunuh.
Diskriminasi terhadap LGBTQ+ menjadi
hal yang paling sering dijumpai dan paling ditakuti bagi mereka. Namun, hukum
di negara ini tidak mengakui dan melindungi LGBTQ+. Bahkan negara tidak
memasukkan LGBTQ+ dalam kelompok rentan. Hal itu kemudian membuat LGBTQ+ sering
mendapat diskriminasi, baik di ruang fisik maupun ruang digital.
“Peraturannya ya secara umum saja,
KUHP, kekerasan, pengancaman tapi enggak ada yang khusus untuk queer. UU
mengakui kelompok rentan tapi queer (LGBTQ+: Red) tidak termasuk kelompok
rentan,” ucap Kharisma di salah satu ruang kantor LBH Yogyakarta.
Diskriminasi gender dan ekspresi
seksual terjadi karena tidak adanya perlindungan hukum. Kim, bukan nama
sebenarnya, ikut merasakan diskriminasi karena tidak adanya perlindungan dari
negara kepadanya. Tidak jarang juga, Kim mendapati diskriminasi yang beragam, mulai
dari bercandaan yang menyudutkan sampai ancaman yang membuatnya tertekan.
Awalnya ia sangat menutupi identitas
sebagai LGBTQ+ karena takut akan diskriminasi yang menimpanya. Akan tetapi,
lambat laun, Kim mulai membuka identitasnya sebagai Queer. Tidak semua tempat
bisa membuat Kim menunjukkan ekspresi gendernya. Ada ruang-ruang tertentu yang
memaksa Kim untuk menutupi identitas, yakni ranah keluarga dan tetangga di
kampungnya. Keluarga menjadi ruang yang paling dihindari Kim.
“Latar belakang keluargaku itu dari
ponpes (pondok pesantren: Red), aku gamau ketahuan di keluarga dan di
desa, walaupun mungkin alumni SMK ku udah tahu dari twitter,” Kim
memulai cerita.
Kim memilih untuk tidak membuka
identitasnya sebagai LGBTQ+ di keluarga karena tidak ada pilihan lain. Sebab,
ia tumbuh di keluarga yang konservatif religius.
“Sudah terbayang ancamannya apa saja
yang mungkin terjadi, seperti secara fisik, ditendang misalnya dan jadi aib
keluarga, karena latar belakang keluargaku kayak gitu ya,” tutur Kim
membayangkan resiko yang harus ia terima jika indentitas gendernya diketahui
keluarga.
Latar belakang keluarga Kim membuat
ia menutupi identitas gender sebagai LGBTQ+. Ia kemudian menempuh jalan panjang
untuk mengekspresikan identitasnya sebagai LGBTQ+. Ia memulai membuka
identitasnya ketika kuliah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.
“Aku mulai berani menunjukkan
identitasku ketika semester empat, itu soalnya temenku teledor, karena udah
terlanjur, jadi mau gak mau sekalian aja aku tunjukkin,” ucap Kim saat
bercerita dengan sedikit senyuman di bibirnya.
Kim merasa harus menerima
identitasnya sebagai LGBTQ+ diketahui oleh teman-teman kampusnya. Sebab,
keteledoran temannya itu sudah menyebar dan semakin meluas. Akhirnya, ia harus
menerima resiko diskriminasi di lingkup kampus.
“Pas ketahuan, banyak yang
berubah, mulai dari beberapa orang mengurangi interaksi ke aku, temen-temen
yang dulunya nongkrong bareng, sekarang udah enggak pernah lagi, banyak jokes
yang bikin aku engga nyaman, sampai ketika kuliah, mereka
menghindari duduk didekatku,” Kim bercerita diskriminasi yang didapati setelah
identitasnya sebagai LGBTQ+ diketahui oleh teman sekelasnya.
Berhadapan dengan diskriminasi yang ia alami, Kim hanya bisa menerima
perlakuan tersebut. Sebab, penerimaan membuat Kim menguatkan dirinya terhadap
diskriminasi yang dilontarkan padanya.
“Poin pentingnya justru adalah penerimaan, Its Okay jadi beda.
Namun, berkaitan dengan diterima atau tidaknya, secara pribadi posisiku sudah
tidak ada harapan, apalagi di Indonesia sudah suram banget. Setidaknya aku bisa
menjadi diriku sendiri, kapan saja, dan memiliki ruang,” ucap Kim dengan nada
perlahan.
Penerimaan Kim bukan tanpa alasan, ia memilih jalan itu karena merasa
tidak ada jalan lain di kehidupan sosialnya. Terlebih, ia harus berhadapan
dengan ancaman yang bisa datang dari mana saja. Tidak terkecuali jika dosen
tempat ia mengenyam pendidikan mengetahui identitasnya sebagai LGBTQ+, potensi
pendidikannya bisa terancam, mulai dari nilai yang jelek, atau hal lain yang ia
tidak inginkan.
“Kalau di level kampus aku juga enggak mau ketahuan sama dosen
yang memiliki pengaruh, yang ‘membahayakan diriku’. Aku mencoba untuk dandan
lebih manly (pada umumnya: Red) ketika aku diajak nongkrong
(main) dengan circle baru atau circle yang sudah lama tapi di
tempat yang baru,” tutur Kim pada Philosofis.
Kim kemudian membayangkan resiko terburuk yang dapat menimpa dirinya.
Ditambah ketika ia mengingat posisi LGBTQ+ di Indonesia dipandang bukan sebagai
manusia seutuhnya. Kim tidak memiliki pijakan lain untuk keselamatan dirinya,
berharap pada Negara bagi Kim sama saja mengharap ketidakpastian perlindungan
bagi LGBTQ+.
Alih-alih menghabiskan energi dan percaya kepada negara, Kim bersama
komunitas LGBTQ+ membuat ruang aman dari diskriminasi yang selama ini diterima
oleh teman-teman Queer lain.
“Aku berada di posisi sudah kehilangan kepercayaan sama negara, secara
ideologis maupun pengalaman pribadi. Daripada kita menghabiskan tenaga buat
perjuangan yang legal, atau nuntut UU (Undang-Undang: Red) ini itu, mending menciptakan
ruang aman sendiri. Kalaupun itu terjadi (jalur legal: Red) ya bagus,” Kim
bercerita kepasrahannya terhadap Negara dalam melindungi LGBTQ+
Membangun Komunitas, Menciptakan Ruang Aman LGBTQ+
|
Kutek atau nail art sebagai bentuk ekspresi tubuh Kim (foto: Dewa Saputra) |
Diskriminasi yang menimpa Kim dan LGBTQ+ lain membuat mereka terpaksa
membatasi diri dan juga lebih selektif dalam menjalani kehidupan sosial. Baik
di ruang sosial secara fisik maupun digital. Berkurangnya ruang sosial tersebut
membuat ia dan kawan-kawan lain membuat komunitas guna menciptakan ruang aman
bagi mereka.
Ancaman, diskriminasi, dan kekerasan terhadap LGBTQ+ tidak terjadi di
Kim dan Nana saja. Banyak dari LGBTQ+ mendapati beragam kekerasan lain.
Kekerasan ini dapat terjadi di ranah sosial secara fisik ataupun digital.
Merasa tidak ada ruang lagi bagi LGBTQ+, akhirnya mereka berjejaring dengan
membuat komunitas yang saling membersamai dan memberi dukungan satu sama lain.
“Queer kan sebetulnya adalah kata hinaan, dalam bahasa inggris
pun queer artinya aneh, secara ga langsung dengan jadi queer
berati sudah menjadi aneh di masyarakat. Ketika kamu memiliki keasadaran bahwa
kamu berbeda, otomatis kamu punya kesadaran kalo kamu itu aneh atau beda,”
tutur Kim yang kemudian menjadi alasan untuk menerima dirinya seutuhnya dan
kemudian bergabung dalam komunitas LGBTQ+ untuk menciptakan ruang aman baginya.
Meski telah bergabung dalam Komunitas ini, Kim masih mengurungkan
identitas dirinya sebagai seorang LGBTQ+. Sebab, menurut Kim, di negara ini
posisi LGBTQ+ sangat suram. Ditambah stigma di masyarakat bahwa LGBTQ+ adalah
penyakit menular di masyarakat. Tidak jarang juga mereka mendapat kekerasan dan
narasi bahwa membunuh dan melenyapkan LGBTQ+ adalah halal hukumnya.
“Mungkin
karena dogma udah melingkupi masyarakat kita mulai dari pendidikan, pola asuh,
pola interaksi sosial itu jadi ya udah berat aja (penerimaan LGBTQ+: Red). Kita memiliki slogan jadul: queer
support queer. Jadi dengan kita bertemu sesama queer pun secara
ga langsung sudah menciptakan ruang (space) tersendiri,” ucap Kim
menjelaskan hanya komunitasnya yang menjadi ruang aman terhadap LGBTQ+,
terutama bagi dirinya.
Dewa Saputra
Reporter: Dewa Saputra
Editor: Zhafran Naufal Hilmy