Sabtu (20/05), Bentara Budaya Yogyakarta menggelar pameran
seni bertajuk “Kita Berteman Sudah Lama: Ekspresi 100 Seniman dan Perupa
Yogyakarta Mengenang 25 Tahun Reformasi”. Pameran ini diadakan sebagai sarana
seniman untuk menuangkan gagasan seni yang penuh makna kebersamaan. Selain itu, acara ini
juga sebagai peringatan 25 tahun Reformasi. Peristiwa bersejarah yang menandai akhir pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei tahun 1998.
Pameran dibuka oleh Ilham Khoiri selaku
General Manager Bentara Budaya dan Communication Management. Dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng
untuk merayakan ulang tahun Pagoejoeban Ngoendjoek Tjiu (Pangoentji).
Setelahnya, dilaksanakan peluncuran ulang buku karya Sindhunata berjudul Putri
Cina, Kambing Hitam-Teori Rene Girard, dan Menyusu Celeng. Buku itu diserahkan
Sindhunata kepada beberapa seniman, salah satunya Djoko Pekik.
Karya yang ditampilkan pada pameran diisi
berbagai
bentuk, mulai dari karya seni lukis, hingga pertunjukan seni. Karya lukis sendiri berada di dalam dan luar
ruangan. Karya yang ada di dalam umumnya menggunakan kanvas dibalut bingkai. Ukurannya bermacam-macam,
ada yang kecil dengan ukuran hanya 50 cm x 50 cm. Ada juga yang ukurannya lebih
dari 100 cm. Produk seni yang dipamerkan juga memiliki keanekaragaman aliran
seni rupa.
Waktu
diwawancarai
Philosofis, Yunanto, pengelola Bentara Budaya
Yogyakarta. Ia mengatakan bahwa pameran ini merupakan refleksi akan salah satu
peristiwa besar yang pernah terjadi di Indonesia.
“Karena 25 Tahun reformasi itu catatan perjalanan bangsa.
Ada catatan yang bagus dan banyak hal yang tidak tercapai. Reformasi itu apa
capaiannya? Apa kegagalannya? Maka kita memperingati dalam bentuk seni rupa
karena visual itu lebih memudahkan orang,” kata Yunanto.
Ia mengatakan bahwa seniman ikut serta karena diundang oleh
Bentara Budaya. Selain karya dari Djoko Pekik, ada pula karya dari Butet
Kartaredjasa, Nasirun, dan lainnya. Di samping itu, ia juga menjelaskan tentang
penerbitan ulang buku karya Sindhunata. Buku itu lahir dalam suasana Reformasi. Buku itu sengaja dicetak
ulang untuk mengingat kembali sebagian besar peristiwanya karena berisi kritik
sosial.
“Saya secara pribadi ingin agar buku itu diterbitkan ulang.
Karena buku itu bagian dari kritik sosial. Kerja-kerja intelektual dan
ilmiahnya Romo Sindhu (red: Sindhunata) di situ. Terlepas dari kekurangan yang
ada, itu bukan persoalan. Buku itu mengingatkan bahwa peristiwa itu pernah
terjadi,” tambah Yunanto
Cerita
tentang Perempuan yang di-PHK
Dari ragam
karya yang ditampilkan,
salah satu karya menggambarkan figur wajah seorang perempuan berambut panjang.
Di sekelilingnya terdapat berbagai ornamen, seperti tulisan perempuan PHK,
tahun 98 yang disilang, PHK, Reformasi, pribumi, ekonomi, dan sebagainya. Karya
ini merupakan karya dari Rismanto yang berjudul “Perempuan PHK ‘98”. Ia menggunakan
cat akrilik dalam menggambar sosok perempuan itu.
Lukisan “Perempuan PHK ‘98” karya Rismanto (20/05/2023). Foto: Yoga Hanindyatama |
Dengan dimensi 50 cm x 50 cm, Rismanto berusaha membawa
peristiwa yang pernah dialaminya ke dalam ruang seni. Pada tahun 1998, ia sudah
meninggalkan daerah asalnya, Yogyakarta dan tinggal di Ciputat, Kota Tangerang
Selatan. Di sana, ia bekerja sebagai animator. Kala itu, keadaan sosial ekonomi
di DKI Jakarta dan sekitarnya mengalami krisis. Hal ini juga mengguncang
pemerintahan Orde Baru yang kala itu berada di ujung tanduk. Di Ciputat itulah
ia bertetangga dengan pasangan suami istri yang kala itu bekerja di mal.
“Ketika tahun 1998, semua chaos karena banyak bangunan yang kebakar, termasuk mal. Artinya
mal melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan. Seketika itu,
saya selalu melihat wajah perempuan yang kerja di mal-mal itu. Saya merasa
kasihan. Dulu mereka menggunakan pakaian yang modis-modis, lalu setelah di-PHK,
kegundahan itu terlihat jelas. Hampir semua orang waktu itu menganggur,” ujar
pelukis kelahiran 1972 itu.
Kejadian itu menandakan situasi yang semakin tidak menentu.
Penuh kekacauan di beberapa wilayah. Orang-orang yang kehilangan sumber
pendapatan menjadi kebingungan. Mereka tidak tahu harus berbuat apa di masa
mencekam seperti itu. Apabila mereka pulang, belum tentu mereka mendapatkan
pekerjaan. Namun, jika mereka memutuskan untuk tetap bertahan di Ibukota, mereka tidak mempunyai cukup
uang untuk tetap bertahan. Tidak ada jaminan bagi orang-orang untuk mendapatkan
pekerjaan.
Rismanto mencoba mengingat kembali peristiwa 25 tahun silam.
Kala itu, dia ditanya oleh tetangganya yang baru saja di-PHK terkait
kemungkinan pulang kampung. Rismanto menjawab bahwa ia akan pulang ke
Yogyakarta karena kondisi yang tidak memungkinkan. Sedangkan wilayah
Jabodetabek tidak dapat menawarkan solusi terkait pekerjaan yang layak. Setelah
itu, ia membalik pertanyaan itu. Ternyata, tetangganya itu memutuskan untuk
menetap di Ciputat.
“Saat dia ditanya kemungkinan pulang kampung, dia merasa
malu sama tetangga. Kalau belum sukses, dia tidak mau pulang. Begitu gigihnya
dia berjuang. Di situ saya tertarik melukis itu. Sebenarnya (figur) itu wajah
milenialnya perempuan waktu tahun 1998. Tapi ekspresi wajah sedih dan tegarnya,
saya hadirkan,” kata Rismanto
Lalu, ia melanjutkan ceritanya. Dalam memorinya, terekam
berbagai tulisan yang hadir dalam keadaan menjelang runtuhnya Orde Baru. Ada
tulisan pribumi, chaos, dan ekonomi.
Di samping itu, banyak orang yang memekikkan kata-kata Reformasi dan revolusi.
Ia memutuskan balik ke Yogyakarta pada 1999. Namun, ia masih kembali lagi ke
Jakarta. Baru di tahun 2000, ia benar-benar tinggal menetap di Yogyakarta.
Midnight
Father, Johnnie Walker, dan Kesendirian
Selain lukisan Rismanto yang menggambarkan situasi di
Ciputat, ada pula lukisan karya Ugo Untoro. Lukisan ini didominasi warna putih
dan abu-abu di hampir seluruh bagian. Ukurannya relatif lebih besar daripada
lukisan yang dihasilkan oleh seniman lainnya. Dalam deskripsi karya, tercatat
dimensinya 100 cm x 120 cm. Dalam menghasilkan produk seni, Ugo menggunakan
teknik spray on paper.
Seniman Ugo Untoro membuat lukisan berjudul “Midnight Father” (22/05/2023). Foto: Ariska Rafika Sani |
Dalam wawancara terpisah via WhatsApp (23/05/2023), Ugo
Untoro mencoba menjelaskan tentang proses kreatif dalam membuat karyanya. Dia
mengaku sering memakai bungkus atau kertas dengan merk dan gambar yang
menurutnya unik. Kemudian pada bagian yang unik itu, Ugo robek. Kadang ia gunting bungkus atau kertas
tadi. Setelah itu, Ugo menyajikannya dengan cara menempel. Sedangkan untuk
judul, ia sesuaikan dengan tema pameran.
Ugo berkata bahwa dalam karya itu, ia menggunakan potongan
kemasan bergambar seorang laki-laki dari Johnnie Walker, sebuah produk whisky
asal mancanegara. Kala itu, kemasan yang ada hanya merek Johnnie Walker. Maka,
Ugo memutuskan untuk menggunakannya. Saat disinggung mengenai peristiwa di
balik karya, ia memberikan jawaban.
"Ini seperti potret diri ya. Atau seseorang yang entah
siapa. Ketika laki-laki pada umumnya menghadapi atau menanggung masalah,
biasanya cara melampiaskannya dengan minum (alkohol)," tutur pria yang
menempuh pendidikan tinggi di ISI Yogyakarta
Sosok dalam Johnnie Walker merepresentasikan tentang
laki-laki pada umumnya. Namun, ia juga mengungkapkan bahwa sosok itu dapat
diidentifikasikan dengan dirinya sendiri. Dalam pandangan Ugo, visualisasi
laki-laki di dalam gambar itu menggambarkan tentang suasana kesendirian. Ketika
disinggung tentang makna dari warna putih dan abu-abu yang dominan, ia
mengatakan bahwa garis menunjukkan padang perbukitan, jalan raya, atau
gang-gang kecil nan sempit.
Sebelum karya ini lahir, ia pernah membuat karya serupa.
Saat itu, ia menggunakan kemasan rokok, korek api, pakaian hingga makanan.
Karya Ugo pernah dipamerkan di beberapa kota, seperti Yogyakarta, Jakarta, dan
Surabaya. Lalu, Ugo menutup wawancara dengan memberikan harapan terkait pameran
ini.
"Saya harap budaya minuman tradisional kita dilindungi
dan dilestarikan karena itu juga salah satu kekayaan budaya kita. Tentang
aturan minum sudah tertera dalam Serat Centhini, jadi saya kira pihak yang
berwajib, dalam hal ini kepolisian memahami budaya kita," pungkasnya.
Reporter: Yoga Hanindyatama dan Ariska Rafika Sani
Editor: Dewa Saputra