Lukisan yang menggambarkan ibu dari Suharmanto (19/02/2023). Foto: Novalia Rahma Herawati |
Suharmanto (47) yang lahir di Bantul mengatakan bahwa
pameran yang dibuka pada tanggal 7 Februari lalu menjadi pameran kedua yang
diselenggarakan di Yogyakarta. Ia pertama kali membuat pameran karya lukis di
Bentara Budaya Yogyakarta, lebih dari dua dekade silam, tepatnya 23 tahun lalu.
Pada tahun ini, sang seniman memaknai secara khusus pameran
ketujuhnya. Dalam bahasa Jawa, angka tujuh disebut dengan pitu. Lebih jauh, kata pitu
bukan hanya sekadar sebuah kata yang merujuk pada angka, tetapi pitulungan atau pertolongan. Sampai
detik ini ia merasakan mendapatkan pertolongan dari Tuhan dan teman-temannya.
Suharmanto mengatakan bahwa lukisan pertama yang dibuat adalah lukisan ibunya
sebagai bentuk dharma bakti. Kemudian lukisan terakhirnya menggambarkan gadis
yang mengenakan kebaya merah di sebalah kiri dan gadis berkebaya putih di sisi
kanan.
“Pameran ini adalah darma bakti untuk ibu saya, yang jadi
lukisan pertama saya. Dan yang kedua kepada ibu pertiwi, karya terakhir yang
saya buat. Jadi karya terakhir adalah ibu pertiwi yang judulnya ialah 'Generasi
Berikutnya'. Maka dari itu, saya tidak mau ada tiket karena (pameran ini)
sebagai persembahan buat generasi berikutnya. Ini adalah investasi kebangsaan.
Saya ingin karya ini bersifat universal jadi saya ingin orang yang melihat bisa
masuk agar mempunyai tafsir baru,” ujar Suharmanto kepada Philosofis.
Ia bercerita bahwa ide menyelenggarakan pameran lukisan
sudah ada sejak 2016. Pada tahun itu, Jogja Gallery memintanya untuk memamerkan
karya. Namun, permintaan itu ditolak karena Suharmanto masih memiliki
tanggungjawab yang harus diselesaikan. Banyak waktu yang dikorbankan untuk
dirinya, keluarga, dan komitmen, terutama komitmen pada sahabat. Maka tidak mengherankan
jika banyak karya tentang sahabat di tempat ini.
Setelah kurang lebih lima tahun, pada akhir 2021, ia
menerima tantangan dari galeri seni tersebut. Ia hanya diberi waktu selama satu
tahun untuk melukis. Dua belas bulan merupakan waktu yang mepet, karena
normalnya, membuat lukisan memerlukan 3-4 tahun. Apalagi, Suharmanto menerapkan
gaya lukis realisme di gedung yang ukurannya besar. Guna menyelesaikan target,
akhirnya ia mengunci studio dari orang terdekat sebagai salah satu strategi.
Dia ingin konsisten menjaga situasi semacam itu sampai pameran terlaksana.
“Dari menutup pintu tadi, ternyata muncul konsep yang baru.
Kemarin saya mencatat diri saya, saya melihat diri. Saya siapa? Apa yang saya
rasakan? Apa yang saya pikirkan? Kegundahan apa yang ada di pikiranku? Akhirnya (hal itu) menjadi karya pertama,”
jelasnya.
Selain dua lukisan tersebut, ia juga mengonsep pameran
dengan cara unik sesuai dengan tema. Di lantai 2, pengunjung dituntun untuk
mengikuti rangkaian kata yang disusun terbalik di tembok. Tulisan terbalik itu
hanya dapat dibaca dengan jelas menggunakan kaca atau kamera gawai. Di ujung
tulisan, pengunjung akan diarahkan ke sebuah karya yang berjudul “Penantian”
dengan objek lukisan Glenn Fredly.
Lukisan yang menggambarkan Glenn Fredly (19/02/2023). Foto: Novalia Rahma Herawati |
Untuk mengetahui impresi pengunjung pameran, Philosofis lalu bertanya kepada Vika.
Sebagai pengunjung pameran, ia mengetahui pameran yang bersifat gratis ini dari
platform Tiktok. Disinggung terkait
karya yang dipamerkan, ia menyukai gaya realis yang dipegang oleh Suharmanto
ini. Ia tidak habis pikir tentang bagaimana cara seniman membuat berbagai karya
lukis ini yang terlihat realis.
“Bagus-bagus ternyata (lukisannya) kaya bukan dibuat sama tangan. Keren pokoknya,” ujar Vika.
Reporter: Novalia Rahma Herawati dan Wanda Nurmila Febriana (magang)
Editor: Yoga Hanindyatama