Salah satu massa aksi membentangkan spanduk di peringatan IWd (8/4/2023). Foto: Dewa Saputra |
Yogyakarta, 8 Maret 2022, peringatan International Women's Day (IWD) di tahun 2023 diwarnai orasi, puisi, dan musik. Terik matahari dan jalanan yang padat di Titik Nol tidak menghalangi massa aksi menyuarakan tuntutan mereka. Ayu, salah satu massa aksi yang tergabung menyoroti isu kesehatan reproduksi perempuan.
Orasi disampaikan secara bergantian pada peringatan IWD. Mereka memiliki isu yang beragam mengenai posisi perempuan saat ini. Salah satu topik dalam orasi adalah kesehatan reproduksi. Ayu, dari Zine.think, mengatakan bahwa hak kesehatan reproduksi adalah milik semua orang, khususnya perempuan.
“Perempuan ketika membicarakan mengenai hal seksual selalu diberi stigma dan dianggap tabu. Apa yang salah dengan perempuan yang belum menikah dan aktif secara seksual? Bagiku, seks yang halal adalah seks dengan konsensual, bukan dengan pernikahan. Mau kalian menikah pun perempuan tetap menjadi korban kekerasan seksual, dll,” ujar Ayu kepada Wartawan Philosofis.
Ayu menambahkan bahwa munculnya stigma terhadap para perempuan terkait memeriksakan kesehatan reproduksi juga diperlihatkan oleh tenaga kesehatan. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan ketika melakukan pemeriksaan itu justru difokuskan pada perihal sudah menikah atau belum. Selain itu juga ditambah dengan bahasa tubuh dan tatapan yang seakan-akan lebih menyoroti urusan pribadi.
“Seharusnya kita menormalisasi perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum menikah untuk mendapatkan hak kesehatan reproduksi. Pertanyaan-pertanyaan yang menstigma membuat perempuan berpikir berulang kali untuk datang dan memeriksakan kesehatannya. Perempuan menjadi takut berhadapan dengan tenaga kesehatan yang konservatif,” ucap Ayu tegas.
Dalam pendidikan Indonesia, mengenai reproduksi masih dianggap tabu. Sex education berfokus pada laki-laki. Banyak sekali dari mereka yang cenderung berbuat merendahkan derajat perempuan.
“Bagaimana mereka akan mengenalkan tentang reproduksi perempuan jika mereka tidak berpihak kepada perempuan?” ucap Ayu dengan nada tinggi.
Pemerintah dinilai belum berhasil memberikan ruang aman bagi kesehatan reproduksi, bahkan UU pekerja rumah tangga belum selesai. Meskipun pemerintah sudah melakukan champaign mengenai kesehatan seksual, sayangnya swab vagina tidak ter-cover oleh BPJS.
Ayu sendiri mempertanyakan mengenai penyediaan fasilitas aborsi aman bagi para korban kekerasan seksual yang tidak siapkan oleh pemerintah. Menurutnya, tersedianya faasilitas tersebut harus dipenuhi dan dijamin oleh negara (pemerintah: red).
“Karena tubuh perempuan adalah pilihannya. Kenapa pemerintah tidak menyediakan fasilitas aborsi dan justru memberikan pernikahan sebagai opsi? Perempuan korban kekerasan seksual mendapatkan stigma, trauma, kekerasan fisik, dan verbal, tapi dipaksa harus membesarkan anak hasil kekerasan tersebut. Perlindungan secara psikologis pun tidak diberikan,” ucap Ayu mempertanyakan.
Melalui peringatan IWD ini, Ayu berharap perempuan mendapatkan rasa aman, terutama bagi perempuan yang datang ke tenaga kesehatan untuk memeriksakan kesehatan reproduksinya dan tidak mendapatkan stigma.
“Perempuan bebas berpakaian apa pun, perempuan bebas dengan
gaya rambut apa pun, perempuan bebas memilih menikah ataupun tidak. Mereka yang
sudah menikah ataupun belum, mereka yang sudah memiliki anak ataupun belum
adalah perempuan yang harus dihargai dan diapresiasi. Semoga negara aman atas
hak-hak perempuan yang seringkali di kekang dan dijauhkan dari perempuan itu
sendiri,” ucap Ayu mempertegas.
Fatimah Nabila Azzahro
Reporter: Aisya Puja Ray dan
Rohmawati
Editor: Dewa Saputra