Beki (nama panggilan) berorasi di peringatan International Women Days 9/3/2023. Foto: Dewa Saputra |
Yogyakarta, 8 Maret 2023, aksi memperingati
International Womens Day (IWD) kembali dilakukan. Gerakan ini diikuti
secara kolektif ataupun individu, mereka memulai aksinya dengan long march
dari Ketandan, Malioboro, hingga Titik Nol Yogyakarta. Cuaca yang terik dan
jalanan yang padat tidak mengurangi semangat dalam menyerukan tuntutan mereka: Perempuan
dan Rakyat Bersatu Lawan Seksisme, Tolak KUHP dan Cipta Kerja.
Titik Nol Yogyakarta adalah tempat dimana mereka mengemukanan
keresahan masing-masing. Secara bergantian perwakilan dari kelompok bahkan
individu melakukan orasi dan puisi, serta musik di sela-sela massa aksi. Dari
berbagai orasi yang dikemukanan, Beki, salah satu massa aksi lebih menyoroti
persoalan terhadap seksisme.
“Seksisme merupakan diskriminasi berdasarkan gender, konstruksi
tersebut dibuat oleh masyarakat berkelas yang kemudian diarahkan untuk agenda
tertentu,” ujar Beki.
“Betul, hal ini menunjukan bahwa ketimpangan gender
lahir bukan karena penindasan dari laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Seksisme muncul melalui budaya yang timpang,
kemudian menimbulkan ketimpangan gender,” sambung Beki ketika diwawancari Wartawan
Philosofis.
Pada akhirnya seksisme bukan lagi persoalan mengenai diskriminasi
perempuan terhadap superiornya laki-laki.
Bahkan laki-laki juga bisa menjadi korban dari seksisme: seperti
laki-laki harus kuat, laki-laki tidak boleh menangis, laki-laki tidak boleh
lemah. Hal ini yang kemudian membuat laki-laki enggan mengekspresikan apa yang
mereka rasakan, padahal disatu sisi laki-laki juga adalah manusia yang bisa
merasakan hal-hal tersebut.
Ekspresi yang dirasakan oleh lelaki dapat dilakukan
melalui berbagai cara untuk mencapai kesetaraan gender. Beki mengatakan salah
satu caranya adalah kita harus mewujudkan pendidikan yang memiliki kesetaraan
gender, apalagi ketika kita SD hingga kuliah diajarkan (untuk: Red) anti
kekerasan seksual, hal ini bisa mengurangi perkembangan seksisme di masyarakat.
Hal yang bertolak belakang dari tercapainya kesetaraan
gender justru dapat kita jumpai melalui negara. Secara tidak langsung justru
negara melanggengkan seksime dan membuat seksisme kian tumbuh di masyarakat.
“Pada umumnya yang kita lawan adalah negara, negara
secara tidak langsung melanggengkan hal ini (budaya patriarki: red) dan
memiliki kepentingan terhadap kekerasan perempuan. Kita perlu ingat bahwa
agenda seperti ini (kesetaraan gender: red) sudah terjadi sejak dahulu: Gerwani,
perempuan di Tiongkok, atau Marsinah. Mereka adalah wujud dari perempuan
progresif yang kemudian mengalami represifitas oleh alat-alat negara: militer,
kepolisian dan tentara,” ucap Beki setelah berorasi.
Wujud dan bukti ikut campur negara dalam melanggengkan
seksime tercermin melalui hukum dan hal-hal yang bersifat komersial.
“Selain itu mereka juga melanggengkan hukum-hukum yang
kemudian mengatur tubuh perempuan, tayangan-tayangan mengenai objektifitas
perempuan yang menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas: ketika berjualan
handphone (SPG), itu (secara tidak langsung: red) buka hp nya yang dijual,
melainkan tubuh model yang harus seksi,”
Selain itu, menurut Beki, pelanggengan budaya
patriarki oleh negara juga tercermin dalam hukum yang lebih berpihak pada
oligarki. Ia menjelaskan bahwa oligarki adalah mereka yang menduduki kekuasaan
dan bekerja pada pemilik modal (). Kemudian mereka (oligarki) mengikuti pemilu.
Setelah terpilih, mereka meloloskan undang-undang yang berpihak pada mereka
atau kepentingan industri dan perusahaan.
“Contoh seperti produk skincare, yang mereka
jual adalah insecurity perempuan: perempuan harus cantik, perempuan
harus kurus (beauty standart). Hal itu yang kemudian diciptakan oleh
perusahaan kosmetik dan melegalkan melalui negara dengan membayar mereka,”
Beki juga menjelaskan, hukum yang diciptakan
pemerintah ini melanggengkan produk dari perusahaan dan industri yang justru
memperparah budaya patriarki. Maka ia berpandangan bahwa negara dan hukumnya
manjadi kaki-tangan industri (oligarki) yang mengambil keuntungan dari insecurity
perempuan.
Negara yang seharusnya menciptakan ruang aman, negara
yang seharusnya menjamin kebebasan berpendapat, negara yang seharunsya
menghilangkan diskriminasi gender, justru berperan besar dalam perekembangan
seksisme.
Peringatan IWD 2023 melihat jelas bahwa seksisme sudah
menjadi penyakit yang ada di masyarakat, hal ini mendorong sebagian masyarakat
untuk melawan seksisme.
“Peringatan IWD ini hanya setahun sekali, sedagkan
penindasan penindasan dan kampanye beauty stadart terjadi setiap hari. Ketika
kita buka (aplikasi) Tik Tok, itu (objektifitas perempuan) yang muncul,
akhirnya masuk for your page (fyp) dan hal itu seperti lingkaran setan. Kita
harus melawan itu (seksisme) setiap hari dan dengan bentuk apapun dan dimana
pun,”
Gilang Kuryantoro
Reporter: Gilang Kuryantoro, Kartiko Bagas
Editor: Dewa Saputra