Ilustrasi: Eriko Aby |
Begitu
langkahnya menapaki ruangan, terlihat banyak senyum terkembang. Senyum itu
diikuti tatapan yang menyiratkan kebanggaan atas prestasi seseorang. Sepertinya dia adalah orang yang dibanggakan itu. Matanya beberapa kali berkedip dan
telapak tangannya terasa dingin, gugup mulai merasukinya.
Tetapi dia berusaha membalas
senyum semua orang.
***
Salah satu pegawai di ruangan itu menyuruhmu duduk di
sofa lobi. Meski ruangannya tidak terlalu luas, namun itu cukup eksklusif bagi siswa. Hal ini
disebabkan
tidak adanya anak berseragam sekolah yang bebas duduk di sana. Tentu
saja karena lobi merupakan tempat penerima tamu sekolah, sedangkan bagi siswa
terdapat jalan sendiri untuk memasuki sekolah. Hal tersebut membuatmu terlihat
kikuk, sebab kamu hampir tidak pernah duduk di ruangan itu. Kamu pun terus
menunduk dengan kaki dan tangan yang tidak tenang.
Dari lobi,
kamu bisa melihat orang berlalu-lalang. Sepertinya orang-orang itu bukan tamu
undangan biasa, terlihat dari pakaian yang mereka kenakan. Gugup yang kamu
rasakan semakin menjadi. Kamu berdiri, menuju sisi ruangan lain untuk
mengenyahkan pikiran yang membuatmu gugup.
Di sisi lobi
terdapat lemari besar yang penuh dengan piala kejuaraan. Di atas lemari
berjejeran foto-foto yang bertuliskan "Kepala Sekolah" di setiap periode tertentu. Kepalamu juga
bergerak memperhatikan dinding di sisi lain, dekat sofa yang sebelumnya kamu
duduki. Sebuah batu tanda pengesahan bangunan kini menjadi fokusmu. Lalu, langkahmu
mendekat pada sisi dinding itu. Di sebelah batu pengesahan , terdapat bingkai
berisi tulisan dan foto.
Kamu terdiam
beberapa saat sembari memperhatikan tulisan dan foto itu dengan saksama.
"Ah nyebelin. Jadi kangen waktu itu," kamu menyeka ujung mata yang
tiba-tiba berair sambil menatap foto dan tulisan yang terjaga dalam bingkai. 'Udik
Emas: Bukan Sembarang Julukan' Headline tersebut kamu baca dengan lirih.
Cukup lama kamu menatap foto tersebut. Adakah sesuatu dibalik foto itu?
"Terima
kasih, terima kasih banyak," ucapmu tiba-tiba entah kepada siapa.
Matamu
bergerak ke kanan dan ke kiri, membaca tulisan tersebut dalam hati. Artikel
itu mengenang masa keemasan sekolah di suatu waktu. Terdapat percakapan yang
diawali pertanyaan dari seorang guru.
"Dulu ada kakak kelas kalian namanya Bagus. Ada yang kenal?"
"Kenal Pak!"
"Dia
berhasil mewakili kabupaten kita di Pekan Olahraga pada bidang atletik.
Sayangnya waktu itu belum bisa lanjut ke provinsi. Tapi, perlu diingat! Dia
berhasil mengalahkan saingannya dari sekolah-sekolah yang lebih senior dari
sekolah kita. Kita mencetak sejarah besar saat itu. Berkat Bagus."
Kamu tertawa
kecil setelah membaca percakapan itu. Memangnya ada yang lucu dari tulisan itu?
"Parah
banget pas ditanyain sama Pak Surya, aku nggak
tahu sama sekali. Angkat tangan sendirian lagi."
Entah fakta
apa yang membuatmu terkekeh dan bermonolog. Kamu pun kembali terdiam,
melanjutkan membaca artikel tersebut. Kamu sedikit tersentak saat mendengar
suara langkah dan pembicaraan dari arah
pintu menuju koridor. Dua orang siswi yang mengenakan seragam OSIS berjalan
menuju ke arahmu.
"Eh tahu nggak? Katanya reporter dari koran lokal bakal ikutan ngeliput di
sini loh."
Kamu
mengintip asal suara itu. Matamu membulat dan kamu buru-buru memundurkan badan.
"Tahu kok. Dari provinsi juga. Koran yang
paling kita incar, tapi nggak
dapat-dapat. Eh, sekarang mereka datang sendiri."
Entah
mengapa kamu bersikap seolah sedang bersembunyi. Entah ingin menguping
percakapan mereka atahu tidak ingin ketahuan. Kamu menyandarkan punggung ke
dinding tempat batu pengesahan itu berada. Tatapanmu juga terlihat waspada.
"Kita
bisa nggak ya?" salah satu dari
mereka bertanya, jarak mereka cukup dekat dengan posisimu.
"Harus
bisa sih," suara siswi satunya menimpali pertanyaan itu.
"Hayo ngomongin apa kalian?" seorang
laki-laki berjas rapi keluar dari ruangan dekat lobi.
"Eh Bapak. Bukan apa-apa kok," siswi yang bertanya tadi terlihat seperti pencuri yang ketahuan.
"Ini
kameranya. Foto yang bagus ya," laki-laki itu memberikan sebuah kamera
kepada mereka.
"Siap,
Bapak!"
"Jika
yang bertugas sudah kumpul semua, langsung kirim nama-namanya ke saya ya."
"Baik Pak. Kami permisi dulu."
***
Kamu
tersenyum dari balik dinding dekat sofa yang tadi kamu duduki. "Mereka
semangat seperti biasanya. Aku percaya kalian bisa jadi pribadi yang hebat.
Seperti orang yang ada di artikel ini."
"Penulis
artikel itu juga hebat," tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya masuk ke
lobi dan tersenyum kepadamu. Dia orang yang sama, yang memberikan kamera pada
dua siswi sebelumnya.
Kamu
tersentak. Dia pun tersenyum. Rupanya, dia mengetahui keberadaanmu. Kamu terkejut karena seseorang mengetahui dirimu, dan membuatmu menunduk malu.
Senyuman yang entah menyiratkan apa. Malu karena tertangkap basah menguping
dengan posisi yang cukup "aneh" atahu karena ucapan laki-laki
tersebut. Kamu bergeming dan perlahan senyumanmu memudar.
"Ada
apa Mbak?"
Laki-laki itu mendekat dan berdiri di sisimu.
"Mbak
Zahra memang hebat Pak. Sayang, saya nggak
bisa belajar dengan beliau lebih lama," Dengan takut-takut kamu mendongak.
Laki-laki yang masih terlihat gagah di usia yang sepertinya sudah
senja—terlihat dari rambutnya yang sudah dipenuhi uban dan menyisakan sedikit
rambut hitam—itu tersenyum menatapmu.
"Harimau
mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati
meninggalkan nama. Kamu tahu apa artinya?"
Kamu
mengangguk. "Setiap orang yang sudah meninggal pasti akan dikenang sesuai
dengan perbuatannya di dunia."
"Pintar.
Walaupun kamu tidak bisa belajar dengan dia lagi, dari apa yang dia tinggalkan, kamu
masih bisa belajar," bahumu yang menurun kembali tegak. "Apa yang
kamu capai juga menjadi bukti bahwa apa yang sudah dia beri tidak kamu
sia-siakan."
"Bapak
yakin?" Kamu bertanya dengan raut cemas.
"Kenapa
tidak? Dengar ya, Mbak. Sebelum almarhumah pergi kami sempat mengobrol,
membahas tulisan itu juga," kepalamu mengikuti arah jari telunjuk
laki-laki itu.
"Tulisan
itu tidak begitu saja ditulis sekali jalan. Ada banyak yang dia lalui. Jatuh,
bangun, begitu terus. Dia juga berkata bahwa sosok Bagus menjadi motivasinya
untuk terus belajar. Setelah yakin dengan apa yang dia punya, dia mencoba
mengajukan tulisan itu ke koran. Selanjutnya, kamu tahu kisahnya."
Kamu terdiam
sambil menatap foto dalam bingkai. Foto perempuan yang diceritakan laki-laki
itu. Pipimu kembali mengembang. Kamu terlihat sangat bahagia. "Saya
bersyukur bisa mengenal perempuan hebat ini, Pak. Laki-laki bernama Bagus
menginspirasi Mbak Zahra, kemudian Mbak Zahra menginspirasi saya dan
teman-teman saya."
"Dia
juga menginspirasi Bapak sebagai gurunya."
"Terima
kasih Pak Surya. Bapak juga menjadi inspirasi bagi saya."
***
Dari
pengeras suara terdengar panggilan untuk seluruh undangan yang belum mengambil
tempat duduk untuk segera mendekat ke tempat acara. Kamu dan laki-laki yang bernama
Pak Surya itu berjalan menaiki tangga menuju sumber suara dan mengikuti arahan.
Tanganmu
menyentuh dada, sepertinya degup jantungmu dapat kamu rasakan lebih keras.
Kakimu tidak bisa tenang dan telapak tangan mulai basah oleh keringat. Kamu kembali gugup.
Sepanjang acara kamu sesekali memperhatikan sekeliling, tidak fokus pada
panggung di depanmu.
"Kepada
Bapak Putra Siregar selaku Kepala SMP Negeri 3 dipersilakan naik ke podium
untuk menyampaikan apresiasi," suara dari MC membuatmu menatap ke depan. Gerak
kakimu perlahan berhenti dan mulai fokus dengan kegiatan yang berlangsung.
Matamu menatap ke depan.
"Kepada
Ananda Ratih Prameswari selaku penerima nilai ujian kelulusan tertinggi tingkat
SMP se-kabupaten, saya persilakan naik ke panggung."
Kepalamu
menengok ke kanan dan ke kiri. Beberapa pasang mata menatapmu dengan tatapan
bangga. Beberapa kamera juga siap menangkap momen tentangmu. Kamu berdiri
dan melangkah menuju podium dengan
tertatih-tatih.
"Ayo,
Ratih. Jalan tegap," Gumammu.
Setelah itu,
langkahmu mulai tenang dan tegas. Di sekitarmu ramai suara tepuk tangan. Kamu
mengangkat sedikit dagumu dan menyunggingkan senyum. Sampai di depan laki-laki
bernama Putra Siregar, kamu mendapat plakat akrilik dan ucapan selamat. Setelah
berfoto selama prosesi pemberian plakat tersebut, kamu diminta memberikan pidato singkat.
Kepalamu
bergerak seperti mencari sesuatu. Seseorang mengangkat sedikit tangannya
sehingga kamu menyadari posisi orang itu. Kamu tersenyum makin lebar. "Dia
akar dari segala inspirasiku. Terima kasih Ayah," kamu berkata lirih
sebelum mendekat ke arah mikrofon.
Fatimah Nabila Azzahro
Editor: Rohmawati