Illustrasi: Mimpinya dibunuh oleh biaya pendidikan |
Hei. Bolehkah kita bicara sebentar. Oh iya, aku juga ingin bilang terimakasih karena dengan segala ritme kesibukan, Anda mau mendengarkan kisah ini. Kisah ini adalah satu cerita paling getir tentang mahasiswa UNY yang saya kenal. Cerita ini tentang seorang perempuan kecil dan perjuangannya. Sayang ia tak bisa mengisahkan kepada pembaca secara langsung, karena tepat 9 Maret 2022 ia telah meninggal dunia.
Mungkin tak banyak yang mengenalnya, tapi untuk yang benar-benar berteman dengannya, ia adalah sosok tak terlupakan. Kegigihannya untuk mencoba melanjutkan kuliah berasal dari tekad yg maha dahsyat. Meminjam Hemingway, tekadnya bak: “Bisa dihancurkan, tapi tak bisa dikalahkan.”
Ia bernama Riska. Ambisinya untuk melanjutkan studi, membawa ia dari desa terpencil di Purbalingga menuju daratan Yogya yang amat asing baginya. Kala itu Riska hanya memegang 130rb untuk ongkos perjalanan naik bus & uang saku seminggu di Yogya. Tentu ini bukan bagian yang terburuk.
Bila ini novel fiksi motivatif, mungkin akan berakhir dengan indah, penuh haru bahagia. Celakanya kita sedang berada di dunia nyata. Dengan segala kegilaan yang nyaris mengubur kewarasan. Tempat di mana kita pada akhirnya akan belajar: betapa mimpi pun bisa dibeli dengan uang.
Lantas bagaimana dengan Riska? Ia percaya kerja keras tak akan pernah menghianati. Saya juga mengenal Riska sebagai representasi dari perempuan yang cerdas. Ia memiliki potensi besar untuk menjadi "sesuatu" yg besar. Sayang masalah ekonomi sedikit banyak menghambat potensinya.
Orang tuanya sehari-hari jualan sayur di gerobak pinggir jalan. Di saat yang sama, ibunya harus menghidupi Riska dan keempat adiknya nan belum lulus sekolah. Tidak sulit untuk menebak bahwa jelas keuangan keluarga Riska tak akan cukup membiayai perkuliahannya.
“Tapi kan UKT bisa diisi sesuai kemampuan keluarga, jadi ga bebanin keluarganya dong?” Tunggu dulu! Sebentar, nyatanya tidak sesederhana itu. Pada praktiknya, ia mendapatkan UKT sebesar 3,14 jt. Angka yang curam utk kondisi ekonominya & suram untuk masa depan perkuliahannya.
Saya memang menemukan banyak kasus, di mana nominal UKT mahasiswa UNY melampaui kapasitas keuangan pembayarannya. Dan tidak sulit untuk menemukannya. Terbukti dari hasil temuan UNY Bergerak. Di mana dari 1024 mahasiswa yang mengisi angket, sekitar 97% keberatan dengan nominal UKT-nya.
Keanehan penentuan UKT di UNY memang bukan barang baru. Namun, dalam kasus Riska agak berbeda. Ia sudah mengisi nominal pendapatan yang sesuai dengan kondisi ekonominya. Tetapi, saat diminta mengupload beberapa berkas, ia tidak punya laptop. Sehingga ia meminjam handphone tetangganya di desa
Karna android tetangganya tidak secanggih hp yg sedang Anda pakai. Akhirnya ia tidak bisa mengupload berkas-berkas yg diminta. Ia mengira inilah alasan mengapa nominal UKTnya melonjak. Entah ada pengaruh atau tidak. Namun, secara ajaib nominal UKTnya muncul dgn angka 3.14 jt.
Kala itu ia hampir mengubur asa untuk berkuliah. Beruntungnya, guru-guru di sekolahnya mau membantu UKT pertamanya. Desir harapan pun hadir. Ia resmi menjadi mahasiswa UNY. Riska sangat bangga berhasil masuk UNY, terlihat dari postingan IGnya. Selama menjadi mahasiswa, ia dikenal sebagai orang yg ceria. Sangat ceria malah menurutku. Sayang keceriaannya mulai luntur tiap mendekati pembayaran UKT. Ancaman putus kuliah, seolah meremas-remas hatinya. Menyergap semua mimpi indah yang ia bangun.
Tidak kurang-kurang usaha yang ia lakukan agar bisa melanjutkan studi. Segala cara dia coba, dari mencari beasiswa hingga mengambil part time. Menurut saya praktis semua usaha sudah ia coba. Namun hasilnya lebih sulit dari yang diduga. Bahkan sebenarnya di awal perkuliahannya, ia sempat bolak-balik dri Rektorat UNY utk mengajukan keberatan terhadap nominal UKTnya. Tapi, menurutnya, ia: "kaya bola yang lagi dimainin oper sana-sini gak jelas." Pengalaman Riska nampak tak asing bagi kita yang berhadapan dengan birokrasi.
Padahal, baru-baru ini saya baru tahu, kala itu hanya untuk bolak-balik rektorat, ia selalu jalan kaki dari kosannya di Pogung sampai ke jl. Colombo. Riska memang selalu jalan kaki ke mana saja. Mafhum, ia tidak memiliki cukup uang untuk memesan driver online.
Dia selalu berhati-hati untuk menggunakan uang. Salah satu temannya pernah memberinya Abon. Dia sangat senang. Selama di kos dia terlihat hanya makan nasi dengan Abon yang diberi temannya tadi. Bahkan odol, sabun, shampo dan mie instan dia dapatkan dari pemberian temannya.
Ini yang membuat saya begitu kagum dengannya. Ia begitu kuat, sangat kuat, terlalu kuat. Atau yg sebenarnya terjadi, dia dipaksa kuat. Salah satu hal yang membuat Riska berusaha kuat, ialah ambisinya untuk menjadi sarjana. Agar di satu masa ia dapat membantu masa depan adik-adiknya
Riska pernah bilang, bila akhirnya dia tidak bisa melanjutkan kuliahnya. Ia ingin kerja agar dapat menguliahkan adiknya. Dia ingin mewujudkan mimpi adiknya. Kata itu terucap saat lagi-lagi masa pembayaran UKT mendekati deadline. Ia nyaris kehilangan asa, karena tak bisa membayar UKT.
Sebelumnya saya menghubungkan Riska dengan salah satu petinggi kampus. Pihak birokrat kampus meminta beberapa dokumen penting untuk membantu penurunannya secara langsung. Dia juga sudah mengisi link pengajuan penurunan UKT yang disediakan kampus. Ironinya, UKT-nya cuman turun ±700rb
Ini masih belum cukup. Ia hampir menyerah. Namun, di detik-detik terakhir bantuan pun datang. Ia menyebut ini sebagai "keajaiban". Teman-teman, Dosen Pembimbing Akademik, dan Jurusan membantu patungan. Saya juga ikut membantu, walau tidak banyak.
Sayangnya meski demikian, nominal tersebut masih belum cukup. Orang tua Riska dan Riska masih harus mencari sisanya. Maklum, periode itu pandemi sedang mengamuk. Akhirnya ia mencoba meminjam uang. Dan di babak akhir Riska bisa mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) dan perkuliahan semester itu masih aman
Namun, tentu saja tidak benar-benar aman. Mengingat, ia tidak hanya kuliah untuk semester itu. Tapi, masih ada semester yg akan datang. Singkat kata, "masih belum usai". Dan pada akhirnya yg ditakutkan pun terjadi. Semester selanjutnya ia lagi-lagi tidak bisa membayar UKT.
Ada dua kabar berbeda. Ada yang mengatakan ia akhirnya menyerah. Ada juga yang bilang dia cuti dan mencari kerja untuk membayar UKT semester selanjutnya. Saya sendiri lebih percaya yang nomor dua. Orang segigih dia tak mungkin menyerah.
Akan tetapi, entahlah saya tidak benar-benar tau. Banyak yang ingin saya tanyakan sendiri. Apa benar ia menyerah? Mengapa ia tidak meminta bantuan atau sekedar mengabarkan? Semua pertanyaan itu tidak mungkin dijawabnya secara langsung lagi. Karena tepat 9 Maret 2021 ia sudah meninggal dunia
Tentu hal tersebut bukan bagian paling buruk nan menyakitkan. Bagian yang paling menyakitkan adalah mengetahui bahwa kisah ini benar-benar terjadi di UNY. Makam Riska tak hanya mengubur jasadnya, tapi juga mengubur mimpinya. Mimpi untuk menjadi sarjana. Mimpi yang ingin saya lihat.
Lagi, saya kembali disadarkan bahwa kita tidak sedang hidup di Novel Laskar Pelangi. Apa yg salah dari mimpi Riska? Ia hanya ingin menjadi sarjana demi membantu ibunya. Bahkan di hari pemakamannya, ibunya berkisah bahwa Riska tidak pernah meminta uang.
Sejak sekolah Riska sudah membantu ibunya. Dulu dia jualan kecil- kecilan di sekolah. Dari susu jeli, teh tarik, bakso, sampai sosis. Riska juga seorang pesilat. Bahkan dia mencoba mencari uang dengan ikut tarung bebas di desa-desa. Semua demi keluarganya. Ia berusaha tangguh.
Namun, nyatanya ia tidak setangguh itu. Selama ini dia mengidap hipertensi yang amat buruk. Ancamanan putus kuliah kian memperburuk keadaannya. Setelah beberapa waktu tidak kuliah, tiba-tiba muncul kabar ia sedang kritis di RS. Pembuluh darah di otaknya pecah.
Ia pun menyerah pada 9 Maret 2022. Meninggalkan keluarganya beserta mimpi-mimpinya. Saya kehilangan satu teman berharga. Negara ini kehilangan satu potensi besar yg kelak membangun bangsa. Dan kita kehilangan satu lagi orang baik di dunia.
Bagi saya dia orang yang sangat peduli dgn orang lain. Dahulu saat pandemi sedang berada di titik paling buruk. Beberapa mahasiswa UNY berencana membangun Bank UKT dengan sistem dana abadi, demi membantu teman-teman yang tidak mampu membayar UKT.
Riska dengan antusias ingin terlibat utk membantu. Dia bilang: "Apa yg bisa aku bantu, aku juga mau bantu. Karena aku sendiri juga ngerasain susahnya bayar UKT." Ia sangat antusias membantu orang yang bernasib sama. Mijn God! Kita benar-benar kehilangan satu orang baik & berharga.
Riska adalah korban dari kejamnya institusi dan sistem pendidikan di negeri ini. Ia memberi kita semua alasan untuk terus mengawasi tata kelola institusi besar seperti UNY. Memberi kita kekuatan untuk selalu bicara tentang ancaman komersialisasi pendidikan.
UNY kian megah dengan status baru PTN BH-nya. Tapi laporan keuangan berkata berbeda. UNY tidak semegah itu. Kampus ini mengalami defisit tahun 2021 sebesar Rp. 199.435.821.415. Kondisi defisit ini menunjukan ada tata kelola yang buruk di kampus ini. Sangat kontradiktif, dan bukan cuman itu, saya berani berdebat dengan angka dan bukti tentang dugaan masalah hukum yang dilakukan oleh institusi ini. Dari masalah Uang Pangkal hingga persoalan BOPTN dan masih banyak lagi. Bila pihak kampus ingin bicara. Mari kita adakan diskusi terbuka.
Poin penting yang ingin saya sampaikan adalah: "tata kelola yg buruk dari institusi besar seperti UNY, bukan tidak akan menimbulkan korban. Riska adalah satu dari sekian banyak korbannya.” Maka tekanan publik harus hadir dalam pengawasan institusi besar seperti UNY.
Karna UNY tampaknya tidak pernah belajar. Terbaru, mekanisme penurunan UKT, hanya diberikan pada mahasiswa yang orangtuanya meninggal. Apakah ini tidak terlampau kejam? Apakah harus ada yg meninggal utk mendapatkan keringanan besar? Logika ini sudah tidak waras.
Kadang saya berpikir keras, sebenarnya institusi ini miliki siapa? Setelah akumulasi biaya kuliah (kita) dipakai untuk membangun gedung-gedung besar di UNY. Akan tetapi, masih banyak fasilitas yang tak bisa diakses oleh mahasiswanya sendiri. Bahkan harus disewa. Bisnis macam apa ini?
Bagaimana kampus menimbun cuan dengan berbagai cara, seperti salah satunya menjual jasa tes toefl, yang dibuat mereka sendiri. Lalu dipakai untuk syarat kelulusan. Maka UNY harus dinobatkan sebagai pebisnis tersukses di Karangmalang, melampaui dominasi Mirota Kampus.
Saya percaya bahwa seperti negara yang tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya, PTN juga tidak boleh berbisnis dengan mahasiswanya. Bila iya, maka inilah yang akan terjadi, banyak yang akan menjadi korban dan orang-orang seperti Riska menjadi kelompok yang paling rentan.
Dahulu saya beberapa kali membantu orang-orang yang tidak bisa membayar UKT dengan uang hasil tulisan saya. Tapi, akhirnya saya sadar, tindakan itu mungkin benar, tapi tidak bijak. Karena akar persoalannya ada di institusi UNY, yang harus memperbaiki sistemnya.
Saya yakin perbaikan itu akan memakan waktu yang lama. Sehingga fungsi pengawasan harus terus dilakukan, dan untuk itu kita harus memiliki nafas yang panjang.
Sedangkan banyak orang yang bernasib sebelas-duabelas seperti Riska butuh bantuan cepat. Sebenarnya beberapa teman-teman di kampus tertarik utk membuat organisasi yang bermitra dengan NGO. Tujuannya demi mencari & menyalurkan beasiswa pada mahasiswa UNY. Mungkin ada yang tertarik terlibat?
Jujur saja, selama bertahun-tahun saya kuliah di sini, sulit untuk berimajinasi kampus ini akan memperbaiki diri dengan sendirinya. Terlebih bila bercermin dari tata kelola pimpinan kampus dari dulu sampai sekarang. Alih-alih marah, saya justru kasihan dengan kampus ini.
Lantas apakah bisa menaruh harapan ke Rektor UNY, Sumaryanto? Maaf-maaf saja, bahkan sebelum pelantikannya, terdapat intimidasi preman yg turut mewarnai Pemilihan Rektor. Ia memang memiliki catatan buruk berkaitan dengan kebebasan akademik.
Saya menulis ini dan saya sadar betul bahwa isu komersialisasi pendidikan bukanlah isu yang populer. Tidak banyak politisi yang bicara dan bertindak tentang isu ini. Bahkan di momen yang mendekati Pemilu ini, partai-partai akan jauh lebih menjual program yang populis.
Bahkan saya ragu ada politisi dari salah satu partai yang akan merespon thread ini. Tentu saja karena kisah Riska tidak menjual untuk mendulang suara. Tidak ada politisi yang benar-benar berada disebelah orang-orang seperti Riska.
Rakyat kita seolah sengaja dibiarkan bodoh untuk terus dibodohi. Di mana dalam rangka menyambut bonus demografi, yang terjadi malah biaya kuliah dibuat kian mahal. Seolah kita disuruh rebutan lapangan pekerjaan, di satu mekanisme pasar yang buas dan tanpa ampun.
Apakah dunia seperti ini yang akan kita wariskan? Dunia yang transaksional. Di mana orang-orang seperti Riska tidak punya kesempatan yang sama untuk meraih mimpi, hanya karena ia tidak mempunyai uang. Artinya ini adalah dunia yang nista. Ia tak akan mengajarkan apapun selain getir dan pahit
Menulis narasi ini membuat gejolak emosi yang campur aduk. Saya harus membuka kembali chat dan semua kenangan yang tertinggal. Membicarakan Riska dengan orang-orang terdekatnya. Terkadang semua ini membuat tubuh menggigil, dengan dada sesak harus menggali ulang semua memori.
Bak menahan buncahan ombak tajam. Tapi semakin jauh ada satu perasaan lega. Saya semakin termotivasi untuk menyelesaikan cerita ini. Saya harus menyelesaikan cerita ini dan publik harus mengetahui kisah Riska. Ia harus dikenang.
Bicara soal kenangan, memori saya kembali tepat di hari kala ia memastikan bisa melanjutkan studi. Hari itu 31 Desember 2021, dia terlihat sangat bahagia. Dan tepat di hari itu juga saya membuat janji dengannya. Saya berjanji akan datang ke wisudanya. Janji yang tidak bisa saya tepati
Ia berkali-kali mengucapkan “terima kasih” pada saya. Riska amat murah mengucapkan kata itu. Dulu saya menganggap ini ucapan yang biasa. Namun, kini saya sadar kalimat itu penuh makna. Setidaknya bagi saya.
Tapi di kepingan akhir tulisan ini—alih-alih menerima ucapan itu—jauh di lubuk hati saya, saya justru ingin mengucapkan kata maaf padanya. Maaf karena tidak bisa menepati janjiku. Maaf karena gagal mengawasi kampus ini. Dan maaf, bahkan setelah kamu berpulang, UNY tidak berubah
Tulisan ini sangat intim bagi saya. Sangat intim. Saya ingin melihat akhir dari perjuangannya. Dan bukan akhir seperti ini. Maka mari sejenak saja beri ruang duka atas meninggalnya Nur Riska Fitri Aningsih. Dan mari sejenak beri ruang duka matinya kampus pendidikan (UNY)
Publik praktis kehilangan imajinasi tentang pendidikan gratis. Bahkan kesempatannya untuk melanjutkan kuliah, disebut Riska sebagai: “Keajaiban”. Padahal pendidikan yang murah adalah amanat konstitusi. Riska bukan hanya satu-satunya korban. Masih banyak korban lain di luar sana.
Entah berapa banyak lagi korban yang berjatuhan karena biaya pendidikan. Tak ada satupun tanda yang membuktikan bahwa berikut hari keadaan akan baik-baik saja. Ancaman resesi di depan mata, bahkan kondisi ekonomi masyarakat pasca-pandemi belum benar-benar pulih.
Riska-riska baru akan terus bertambah. Bonus demografi akan menjadi bencana demografi. Orang-orang akan rebutan pekerjaan. Kisah Riska akan dilupakan begitu saja, karena ihwal muncul Riska baru. Demikianlah tulisan ini suatu hari akan kehilangan makna. Tidak, ini tidak akan terjadi
Karena kepada Andalah tulisan ini saya persembahkan, wahai Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Menteri yang bertanggung jawab atas seluruh Perguruan Tinggi di seantero Indonesia. Pemegang tongkat kuasa tertinggi atas pendidikan di negeri ini
Apakah kehendak Anda sehingga orang-orang seperti Riska harus diciprati lumpur oleh orang-orang seperti Sumaryanto (Rektor UNY). Dan lebih dari sekitar ribuan mahasiswa UNY, harus diperlakukan dengan buruk dan mengalami penindasan atas nama Anda.