Ilustrasi: Jagad Tegar Martiyas |
Peringatan: konten ini mengandung deskripsi kekerasan seksual secara eksplisit!
Siapa yang salah ketika pelecehan seksual terjadi? Apakah kita juga ikut andil di dalamnya? Atau bahkan kita
ikut melanggengkan pelecehan seksual?
Kalimat
pembuka di atas muncul seiring banyaknya pemberitaan terkait pelecehan seksual
yang tersebar. Berita ini tidak hanya meramaikan tampilan di layar kaca saja,
tetapi juga sempat memenuhi linimasa media sosial. Berbagai akun tampak tidak
ingin ketinggalan dalam menyebarluaskan informasi tersebut.
Tidak
sedikit pula orang yang kemudian memberikan respon dan berkomentar di beberapa
platform media sosial yang ada. Kemudian istilah ini semakin familiar, termasuk
di kalangan mahasiswa. Bahkan yang lebih menyesakkan, kampus menempati urutan
pertama sebagai tempat terjadinya pelecehan seksual.
Komnas Perempuan dalam risetnya menunjukkan bahwa kasus pelecehan seksual dari tahun 2015 sampai 2021 mengalami lonjakan tajam, yakni mencapai 87,91%. Angka ini jika dilihat secara
hitungan kuantitatif memang sangat besar, yang kemudian menandakan bahwa pelaku
pelecehan seksual bersembunyi di ruang-ruang kampus.
Tentu tidak pernah terpikirkan di dalam
benak kita semua, ternyata kampus yang menjadi tempat berkumpulnya orang
berpendidikan justru menjadi sarang pelecehan seksual. Banyak dari mereka
justru melanggengkan atau menormalisasikan pelecehan seksual, hal itu membuat
kampus seakan hilang marwah sebagai tempat lahirnya generasi penerus bangsa.
Lantas, bagaimana bisa perguruan
tinggi memiliki sumbangsih tertinggi terhadap kasus pelecehan seksual?
Kita Semua Melakukannya
Bercanda
adalah yang hal biasa terjadi, bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari. Namun, bercanda yang dianggap sebagai “ketidakseriusan” kerap kali
melewati batas. Tidak ada seorang pun yang
keberatan dengan itu. Walaupun demikian, orang-orang acapkali mengisi guyonan
dengan pesan yang bersifat seksis.
Guyonan macam: “coba goyang dong, badanmu
bagus,” “dadamu besar juga ya,” dan “pantatnya seksi deh,” sering
kali kita dengar di tongkrongan atau di ruang-ruang kampus. Sebagian orang
menganggap bahwa itu masih dalam ranah “wajar”, karena dibalut dengan candaan.
Tetapi, benarkah begitu?
Kalimat-kalimat
seperti itu seharusnya tidak bisa dianggap wajar dengan alasan apapun—bahkan
dalam konteks bercanda. Kultur semacam ini
disadari atau tidak hanya menjadikan perempuan sebatas objek seksual yang
dipandang sebelah mata dan dianggap rendah.
Candaan
bernada seksis ini tak berhenti disitu saja, lebih parahnya dapat dikemas
melalui media sosial. Sering dijumpai dalam bentuk pengiriman pesan berupa
video asusila atau stiker yang beredar di WhatsApp. Penggambaran perempuan
sebagai objek subur dalam ranah-ranah seksual.
Normalisasi
terhadap candaan seperti itu menjadi pintu awal terjadinya pelecehan seksual. Dalam budaya perkosaan atau piramida rape culture, normalisasi berada dalam tahap pertama. Sharna Olfman
dalam bukunya yang berjudul The
Sexualization of Childhood,
menjelaskan bahwa
normalisasi terjadi karena sikap masyarakat yang patriarki dan menganggap perempuan sebagai gender kedua setelah laki-laki. Mereka yang berjenis kelamin laki-laki
menempati strata paling tinggi dan dipandang lebih superior ketimbang perempuan.
Posisi superior
yang melekat pada laki-laki dan
perempuan yang inferior melahirkan ketimpangan dan ketidakdilan. Ketidaksetaraan kedudukan ini menyebabkan
perempuan tidak hanya dijadikan objek seksual, namun juga dipaksa menuruti
kontruksi pandangan masyarakat. Masyarakat patriarki menuntut perempuan harus
bisa memasak, membersihkan rumah, merias diri, dan lain sebagainya.
Perempuan
yang tidak bisa manut dengan kontruksi itu dianggap bukan perempuan.
Begitu mengerikannya stigma dalam masyarakat patriarki. Sesuatu yang ditakutkan kemudian ialah muncul rasa benci
terhadap perempuan atau biasa disebut misogini.
Buku Down
Girl: The Logic of Misogyny karya Kate Mane menjabarkan apa saja yang
terjadi pada perempuan ketika tidak menuruti konsepsi gender yang ada di
masyarakat. Mulai dari tidak dianggap sebagai perempuan, sampai dikucilkan dari
masyarakat.
Candaan-candaan misoginis ini tanpa sadar sering terdengar di ruang-ruang kampus. Kalimat “perempuan kok gak rapi,” dan “bersih-bersih dong, kan perempuan.” menjadi dua dari sekian banyak percakapan sehari-hari yang mengarah ke pelanggengan diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan dituntut untuk memenuhi standar masyarakat yang didasari oleh konstruksi gender. Konstruksi gender ini seolah-olah dijadikan tameng untuk menyerang perempuan apabila mereka tidak memenuhinya—perempuan harus feminim, indah, rapi, lemah lembut, dan lainnya.
Kalimat-kalimat tersebut membuat perempuan
harus menanggung beban terkucil dan terpinggirkan di kehidupan
sosialnya. Perkataan
yang terlontar seakan mengekang kebebasan perempuan untuk hidup
selayaknya manusia tanpa harus mengikuti bayang-bayang budaya patriarki.
Budaya
patriarki sejatinya tidak hanya merugikan perempuan saja, laki-laki juga ikut
merasakannya. Standar menjadi seorang laki-laki dalam masyarakat yang
patriarkal haruslah maskulin dan terlihat kuat. Candaan seksis yang menyasar
laki-laki pun juga tak terelakkan. “Punyamu
kecil ya?” “Cowo kok lemah sih, cepet keluarnya,” yang dialamatkan pada
laki-laki yang dianggap tidak maskulin.
Hal ini menandakan bahwa dunia terus
mengalami perubahan serta perkembangan. Secara tidak langsung juga menunjukan bahwa misogini maupun
seksisme adalah kejahatan bagi suatu gender: laki-laki dan perempuan.
Jadi misogini dan seksime adalah
kejahatan gender yang dalam ruang lingkup rape
culture berada di posisi paling bawah, dan tidak menutup kemungkinan bahwa ia
akan menanjak ke puncak.
Kekeliruan
Dalam Menangani Kasus Pelecehan Seksual
Satu hal yang keliru ketika kasus
pelecehan seksual mencuat ke publik. Bukan soal siapa pelaku dan korban, bukan
soal siapa yang salah dan benar, bukan soal barang bukti. Namun, bagaimana
kronologi hal ini dapat terjadi.
Jika
kita mengamati lingkungan sekitar, banyak diantara kita yang menghujani pelaku dengan
cacian dan umpatan. Bahkan banyak di antara kita yang masih menggunakan kekerasan fisik terhadap
pelaku. Dalam benak kita hanya terpikir bahwa pelaku memang salah dan layak
mendapatkan ganjaran stimpal. Respon ini lahir sebagai bentuk ketidakterimaan
masyarakat terhadap pelecehan seksual. Namun, apakah semua tindakan yang telah
disebutklan tadi bisa dijadikan sebuah pembenaran bagi kita untuk menyerang
pelaku kekerasan seksual? Jawabannya adalah tidak.
Respon publik yang semacam itu
merupakan hal tolol dan terbelakang.
Salah
satu alasan mengapa pelecehan seksual bisa sering terjadi ialah karena kultur
seksisme yang masih mengakar kuat. Seolah-olah tidak ada bahan obrolan lain
yang lebih penting dibicarakan selain hal itu. Humor seksisme inilah yang pada
akhirnya membawa pelaku
ke puncak piramida rape culture.
Sesimpel kita berpikir bahwa pelecehan
seksual bisa berangkat dari obrolan seksisme yang telah dinormalisasi. Humor
seksisme inilah yang membawa pelaku ke puncak piramida.
Pelaku tidak mungkin mencapai puncak
jika tidak ada penyanggahnya, pelaku tidak akan melakukan kekerasan langsung kalau
kita tidak menormalisasi hal-hal seksisme seperti yang
selama ini mungkin kita lakukan.
Agaknya kita memang harus merefleksikan
diri. Apakah akan tetap kita diam dan terhibur ketika humor seksime masuk ke
telinga, yang mungkin humor tersebut sudah masuk kategori pelecehan seksual
secara verbal?
Kalau tidak, maka lawanlah dengan
pikiran yang sehat.
Kalau iya, matilah kita bersama seksisme!