Ilustrasi: Galih Setiawan |
“Perempuan itu setiap hari nangkring
di atas lemari, kalau yang anak-anak sih dari bangunan sebelah. Hati-hati
mereka suka ngajak main.”
Jika
dilihat dari luar, tidak ada yang aneh dari ruang kelas tersebut. Layaknya
sebuah ruang kelas terdapat meja, kursi, papan tulis, lemari, dan perangkat
pembelajaran lainnya. Letaknya yang agak dipojok mungkin menjelaskan mengapa
kelas tersebut lebih teduh daripada kelas lainnya.
Pagi
itu merupakan hari pertama tahun ajaran baru, anak-anak kelas X mulai mengisi
bangku kelas XI. Hari masih pagi, belum banyak siswa yang datang ke sekolah. Sementara
itu, beberapa siswa yang telah datang langsung memasuki kelas mereka
masing-masing.
Tetapi
ada satu hal yang berbeda, siswa dari kelas yang letaknya dipojok itu duduk
lesehan di depan kelas. Tak ada satu pun yang berani masuk kelas.
Saya
yang kala itu baru datang tentu bertanya pada mereka, usut punya usut dari
dalam kelas terdapat bau anyir yang anehnya tidak diketahui sumbernya.
“Bau
banget kayak bau busuk tercampur darah, udah dicari sumbernya daritadi tapi
tetap gak ada. Kinar, jangan masuk ke kelas deh. Ngeri.” Ujar teman saya
memperingatkan.
Mengabaikan
peringatan tersebut, saya mencoba masuk ke dalam kelas. Namun tidak ada apapun,
hanya bau busuk yang semakin terasa dan membuat suasana menjadi mencekam.
Hadirnya
bau tersebut membuat pembelajaran di kelas tidak berjalan. Kejadian ini
berlangsung selama sepekan, berbagai cara telah dilakukan guru agar kelas
kembali “normal”. Bahkan kami mulai membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an agar
kelas bisa digunakan.
Beberapa waktu berlalu, kelas sudah bisa digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Akan tetapi, teror yang sebenarnya ternyata baru saja dimulai.
*
Suatu
hari di tengah heningnya proses pembelajaran, Bunga yang merupakan salah satu
siswi di kelas tiba-tiba berteriak kencang. Teriakan ini menggema hingga menghentikan
penjelasan guru yang mengajar. Sontak tanpa terkecuali seluruh peserta didik
yang berada di dalam kelas menatap siswi tersebut.
Matanya
melotot garang sembari mulutnya bergumam tak jelas. Kami semua terdiam,
terliputi perasaan takut yang amat dalam. Tak berselang lama, Bunga tiba-tiba
tertawa melengking. Suasana gaduh pun tercipta, membuat seluruh siswi ketakutan
melihat hal tersebut. Merasa tertantang dengan kegaduhan yang ada, Bunga justru
semakin keras berteriak sembari melotot.
“Kalian
jangan di sini! Ini rumah kami! HAHAHAHa!”
Bunga semakin meracau.
Beberapa
siswa laki-laki bergegas memanggil seorang guru yang dipercaya mempunyai
kekuatan supranatural dan bisa mengusir makhluk halus.
Setelah
guru itu datang, Ia menatap Bunga dan berupaya mengusir sesuatu dengan membacakan
surat-surat Al Qur’an.
“Ada yang iseng, katanya mau kenalan sama murid baru. Dia memang penghuni lama. Ayo baca ayat-ayat Al Qur’annya lebih keras.” Ujar guru tersebut mengajak kami sekelas untuk berdoa bersama. Setelahnya, Bunga tak sadarkan diri dan suasana kelas kembali hening.
*
Saya
pikir kejadian kerasukan yang dialami Bunga pada hari itu telah usai dan teror
yang kami alami telah selesai. Namun hal tersebut salah, justru teror semakin
menjadi-jadi.
Beberapa
hari setelahnya dan dalam waktu yang berdekatan, lagi-lagi Bunga berteriak.
Kali ini tak hanya Bunga, seorang siswi perempuan bernama Bulan turut menjadi
korban.
Tiba-tiba
Bulan tertawa, lalu merangkak ke meja dan lantai layaknya seorang balita. Saat
itu kelas sedang ramai karena guru yang mengajar tidak masuk. Melihat Bulan dan
Bunga dengan tingkah tak biasanya membuat semua siswa dalam kelas terdiam.
Bulan
semakin menjadi-jadi, Ia mengajak bermain sosok-sosok yang tidak kasatmata.
Saya yang berada di kelas turut menyaksikan kejadian ini.
Kami
berusaha memanggil guru seperti kemarin. Sialnya, guru tersebut tak ada di
sekolah. Sontak siswa-siswi dalam kelas meminta tolong kepada teman-teman yang
memiliki pengalaman spiritual, tak terkecuali saya.
Sedari
kecil saya memang bisa melihat sesuatu yang tak kasatmata. Konon katanya, mata
batin saya terlihat longgar walau tidak sepenuhnya terlepas.
Berbekal
pengetahuan yang diajarkan ketika belajar bela diri, saya bersama tiga teman
lainnya berusaha menolong Bulan dan Bunga.
Kami
mulai membacakan ayat-ayat Al Qur’an, kemudian menekan titik-titik yang menjadi
medium jalur masuknya “mereka”. Tak berselang lama, Bunga dan Bulan tersadar
dengan wajah linglung.
“Sejak
kecil aku memang mudah sekali untuk dirasuki. Selain karena bisa liat mereka,
rongga di antara tulang dadaku ada yang kosong. Katanya, tempat ini menjadi
favorit bagi mereka yang tak kasatmata.” Bunga menjelaskan asal muasal mengapa
ia sering dirasuki.
Tak
jauh berbeda dengan Bunga, Bulan bercerita bahwa ia bisa melihat hal-hal yang
tak kasatmata.
“Tadi
ada yang ngajak aku main, anak-anak. Makanya tanpa sadar aku merangkak kesana-kemari.
Tahu-tahu kalian udah baca doa sambil megang badanku untuk sadar.”
Saya yang sewaktu itu diam berusaha mencerna apa yang mereka alami. Walaupun sejak kecil saya sering “melihat”, adakalanya saya sendiri merasa tidak percaya bahkan skeptis pada hal-hal mistis.
*
Saya
pikir beberapa kejadian tersebut sudah teratasi dengan baik. Namun rupanya ‘mereka’
belum puas mengerjai teman-teman saya di kelas.
Siang
hari, di tengah teriknya matahari dan kelas sedang ramai. Kami memutar lagu
dari playlist yang terhubung ke speaker sekolah yang berada di kelas. Tak
berselang lama, lagu yang terputar tiba-tiba terganti dengan lagu baru. Padahal
HP yang dipakai diletakan di dekat speaker dan tak ada yang menyentuhnya.
“Woi
anjing, iseng mulu! Mau belajar aja susah.” Tiba-tiba salah satu teman
laki-laki kami berteriak sembari melihat ke arah speaker.
Siswa-siswi
yang lain tentu merasa bingung sekaligus ngeri. Tapi kami berusaha mengabaikan
itu, bisa dibilang kami menjadi lebih terbiasa.
Tak
berselang lama, Bunga dan Bulan mengeluhkan pusing. Bulan meracau bahwa makhluk
itu akan kembali merasuki Bunga seperti sebelumnya. Satu kelas tentu panik,
dengan gugup saya menatap sosok yang juga sedang ditatap oleh Bulan.
Sosok
tersebut adalah perempuan dengan baju putih dan rambutnya yang panjang. Baunya
sungguh anyir, aura tak menyenangkan juga menguar darinya. Ini memang bukan
pertama kali saya melihatnya, saat datang pagi-pagi sebelum saya menyalakan
lampu kelas biasanya sosok ini nangkring di
atas lemari pojok kelas sambil memamerkan wajahnya yang sudah tak berbentuk.
“Kinar,
tolong bawa Bunga keluar kelas. ‘Mereka’ senang kalau ada aku dan Bunga karena
sama-sama bisa narik mereka. Sayangnya, Bunga yang lebih mudah dirasuki.”
Kemudian saya meraih tangan Bunga, membawanya menjauhi ruang kelas sesuai
arahan Bulan.
Usut punya usut, Bunga dan Bulan seperti magnet yang saling menarik sosok-sosok tersebut. Mereka merupakan medium segar yang mudah memengaruhi satu sama lain agar saling berinteraksi dengan penghuni-penghuni di kelas. Dan secara kebetulan saya berada di tengah-tengah mereka.
*
Setelah
kejadian tersebut, sisa hari berlangsung dengan damai, meski suasana kelas agak
mencekam. Saat ingin pulang dan melewati gerbang sekolah, saya melihat Bulan
dan beberapa teman sekelas sedang menunggu Gojek
sambil berdiri di dekat gerbang sekolah.
Bulan
tampak menunduk, saat melewatinya saya ditarik teman sekelas kami. Katanya, ada
yang aneh dengan Bulan.
Saya
mendekati Bulan dan berusaha menatap matanya. Ah, ternyata memang ada yang
berniat iseng dengannya. Lagi-lagi dengan berbekal surat dalam Al Qur’an saya
mencoba mengusir sosok tersebut, sosok perempuan yang berbeda dengan yang saya
lihat kemarin. Kali ini berbentuk anak-anak.
“Bulan
sini dulu deh.” Saya memegang lengan dan leher Bulan, kemudian menyerukan
ayat-ayat Al Qur’an dekat telinganya. Tak berselang lama sosok tersebut
menghilang, dan saya melanjutkan perjalanan ke rumah.
*
Esok
harinya saya jatuh sakit sehingga harus izin tidak masuk sekolah. Kemudian baru
saya ketahui bahwa Bulan bercerita mengenai serentetan kejadian mistis yang
kami alami saat saya masuk kembali ke kelas.
“Dua
hari lalu saat kamu ketemu aku di gerbang, aku emang digelendoti oleh sosok anak-anak yang waktu itu ngajak main.
Anehnya ya Nar, saat melihat kamu mereka malah ketakutan. Makanya aku nunduk
pas kamu samperin.” Ujar Bulan seraya menatap mata saya.
Tak
berbeda jauh dengan pernyataan Bulan, Bunga pun menceritakan hal serupa.
Katanya, ada sesuatu dalam diri saya yang membuat ‘mereka’ takut dan berusaha
tidak bermain-main dengan saya yang juga bisa melihat mereka.
“Kayaknya
sih ada sesuatu dari diri kamu yang buat mereka takut, aku enggak tau itu apa. Tapi mungkin kamu dijagain?”
Saya
menanggapinya dengan tertawa, pertanyaan Bunga tak saya jawab. Ya, mungkin saya
lebih menakutkan daripada ‘penghuni-penghuni’ di kelas, namanya juga manusia.
Ah manusia ya?