Ilustrasi: Galih Setiawan |
“Ya,
ingin. Ya, memang itu (menjadi guru – red) tujuan awal untuk masuk ke PJSD
(Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar – red),” ucap Afandi Ahyar dengan yakin soal
minatnya menjadi guru. Ia merupakan mahasiswa angkatan 2019 dari Fakultas Ilmu
Keolahragaan (FIK), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Sebagaimana
mahasiswa angkatan 2019 lainnya, pada semester ini Afandi – sapaannya
sehari-hari – menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Praktik
Kependidikan (PK). Jika program yang pertama hanya untuk mahasiswa program
sarjana tanpa memandang program studi, maka program kedua khusus untuk
mahasiswa program Sarjana Kependidikan, seperti Afandi.
Afandi
melaksanakan KKN dan PK secara bersamaan. Ia ditempatkan di Kabupaten Purworejo.
Kebetulan lokasi antara desa tempatnya KKN dengan sekolah tempatnya PK tidak
begitu jauh. Sehingga, dua program itu
hampir berjalan beriringan, dimulai pada pertengahan Juli dan selesai pada
pertengahan Oktober.
Selesai
menunaikan PK di SD Negeri Sepati, Afandi
semakin mantap untuk menjadi guru. Kesan yang didapatkannya selama mengajar di
sekolah tempatnya PK menjadi salah satu alasannya.
“Setelah
mengajar, malah minat itu semakin bertambah,” katanya kepada wartawan Philosofis
pada Selasa, 1 November 2022.
Berbicara
lebih lanjut, Afandi mengatakan, motivasinya menjadi guru karena beberapa hal.
Ia mengurutkan, pertama, ia berharap dapat bekerja di kotanya sendiri, yakni
Ponorogo. Kedua, ia dapat bertemu dengan anak-anak, dan menyampaikan ilmu yang
bermanfaat.
“Setelah
ilmu yang didapatkan selama kuliah, lalu disalurkan ke anak-anak, terus para
siswa antusias, setiap hari juga dapat bertemu dengan karakter yang berbeda,
itu bisa menambah rasa motivasi diri.”
Hal
yang senada juga disampaikan Muhammad Azril Haidar Al Matiin atau akrab disapa
Acil. Mahasiswa program studi (prodi) Pendidikan Teknik Elektronika itu
merupakan rekan satu kelompok KKN dengan Afandi. Kepada wartawan Philosofis,
ia mengutarakan minatnya menjadi guru setelah menjalani PK.
Sebelum
bergerak lebih jauh, mahasiswa yang melaksanakan PK di SMK PN 2 Purworejo itu
menggarisbawahi apa yang ia maksud sebagai guru atau pendidik. Ia menyebutkan,
guru yang menjadi minatnya tidak hanya terbatas pada guru yang ada di sekolahan
seperti ketika PK. Tetapi, guru sebagai tenaga pendidik secara lebih luas,
seperti instruktur, dengan memiliki sifat mendidik.
Minat
Acil menjadi guru itu karena apa yang dilakukan seorang guru serupa dengan
dakwah.
“Karena,
menjadi pendidik itu harus menyebarkan ilmu mirip seperti dakwah. Ilmu itu akan
terus mengalir seperti sadakah jariah. Karena ilmu yang disampaikan insyaallah
menjadi ilmu yang bermanfaat,
ucapnya pada Rabu, 2 November 2022.
Kondisi
yang berbeda dengan Afandi dan Acil disampaikan oleh Shafa Almeira Balqis
seorang mahasiswa prodi Pendidikan Sejarah. Setelah melaksanakan PK dari Agustus
hingga Oktober di SMA N 1 Karangmojo dia berkesimpulan tidak berminat
menjadi guru.
“Aku
gak minat. Pertama, dunia kerja di dalam sekolah bukan passion aku. Kayak,
bikin administrasi (RPP dan Silabus – red) . Terus kayak sistem di sekolah itu, aku gak suka sama
jam-jam PNS (Pegawai Negeri Sipil – red)
karena masuknya pagi, lalu
pulang sore. Ditambah lagi aku harus masang muka fake,
dan baik-baik saja di depan guru-guru lain sama anak murid, aku gak suka jadi
guru,” ucapnya pada wartawan Philosofis pada Jumat, 4 November
2022.
Meski
demikian, Shafa tidak sepenuhnya tidak menyukai dunia sekolah. Ia mengatakan, dalam
pembelajaran di dalam kelas dan bertemu dengan siswa ia merasa senang.
Lalu,
apa yang akan ia lakukan kelak selepas lulus dengan gelar Sarjana Kependidikan?
Shafa menuturkan, setelah lulus nanti, ia akan pulang ke kota asalnya di
Bengkulu dan membantu serta meneruskan usaha yang telah dirintis orang tuanya.
Guna
melihat lebih jauh, minat mahasiswa yang mengikuti program PK pada semester
ganjil 2022/2023, Philosofis melakukan survei kepada 49 mahasiswa
UNY. Baik mahasiswa yang sudah selesai maupun yang masih
menjalani PK. Survei ini
dilakukan melalui platform Google Form dan bertanya secara langsung baik tatap muka
maupun melalui aplikasi perpesanan.
Dari 49 mahasiswa itu, 29 di antaranya berasal dari Fakultas Ilmu Sosial (FIS), 9 dari Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), masing-masing 2 dari Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), serta masing-masing 3 dari Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) dan Fakultas Teknik (FT), dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) 1. Dari jumlah itu, sebanyak 26 mahasiswa berminat menjadi guru, sedangkan 23 sisanya tidak.
26
mahasiswa itu berminat menjadi guru atau pendidik dengan alasan: 1 mahasiswa
karena gaji atau penghasilan, 12 mahasiswa karena pengabdian atau jiwa
mendidik, 11 karena suasana dan lingkungan sekolah, dan 2 mahasiswa karena
alasan lainnya.
Sementara itu, untuk 23 mahasiswa yang tidak berminat menjadi guru atau pendidik terbagi ke dalam lima kategori sebab. 7 mahasiswa menyebut gaji atau penghasilan dari profesi itu sebagai alasannya. 4 mahasiswa untuk masing-masing alasan lingkungan, beban administrasi, dan pengabdian atau jiwa mendidik. Serta 4 mahasiswa dengan alasan lainnya, seperti alasan kesehatan, kuliah untuk mencari gelar, dan mencari pengalaman di bidang lain.
Philosofis kemudian
bertanya kepada 23 mahasiswa yang tidak berminat menjadi guru atau pendidik itu,
pekerjaan bidang apa yang akan mereka geluti setelah lulus kuliah?
3
mahasiswa untuk masing-masing yang ingin bekerja di Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bukan guru, dan bisnis. Untuk
bidang yang terakhir ini mencakup: bisnis keluarga, menjadi eksportir, dan
membangun usaha mikro kecil menengah (UMKM). Lalu, 2 mahasiswa untuk
masing-masing yang ingin bekerja dibidang: pariwisata, kepenulisan, konten
kreator, dan bekerja di perusahaan multinasional. Kemudian, 1 mahasiswa ingin
bekerja di perusahaan start-up, dan 5 mahasiswa lainnya di bidang yang
lain.
Menanggapi
hasil survei di atas, Pusat Studi Pendidikan Tinggi (PSPT) melalui Direktur
Eksekutif Ali Alatas melihatnya dalam dua hal, pada program PK itu sendiri dan
kesejahteraan guru di Indonesia.
Terkait
yang pertama, Ali mengatakan, bahwa pelaksanaan PK perlu dikaji dan dianalisis
secara lebih komprehensif. Terutama mengenai tujuan penyusunan program PK
beserta output dan outcame yang harus lebih didefinisikan secara
lebih terperinci. Ia mencontohkan dalam term “pengajar”.
Selain
itu, pada program PK perlu untuk melihat feedback eksternal apabila melihat
paradigma saat ini. Bahwa, PK tidaklah hanya sebatas program
normatif dan administratif, tetapi juga perlu sistematika
dan hulurisasi kurikulum secara lebih integratif.
“Maka,
perlu sekiranya sistematika penyusunan kurikulum PK dirancang secara sistematis
meliputi hilirasi input sampai dengan outcome, sehingga mahasiswa
tidak ‘bias’ dalam menerjemahkan term ‘pengajar’ dan menjadi ‘pengajar’,” katanya
melalui Whatsapp pada Sabtu, 26 November 2022.
Mengenai
yang kedua, kesejahteraan guru, Ali menyebutkan bahwa sekarang, Indonesia
kekurangan 1-2 juta guru sampai tahun 2040, dan itu pun diimbangi dengan
surplus sarjana keguruan.
“Pertanyaannya,
kedua hal yang seharusnya integral ini mendapatkan tantangan yang cukup
signifikan. Bagaimana cara menguraikannya (menjawabnya—red) adalah, dengan, bagaimana
lembaga terkait, baik unsur pemerintah dsb, mampu menjawab isu ‘kesejahteraan
guru yang hingga saat ini masih diperjuangkan, dan jangan ada lagi kalimat ‘guru
dengan gaji 300 ribu’,” tutupnya mengakhiri wawancara.
Mangstab
BalasHapus