Massa aksi yang ikut bersolidaritas di Pengadilan Tinggi Yogyakarta (24/11). |
Pintu
masuk utama Gedung Pengadilan Tinggi Yogyakarta dipadati oleh puluhan orang
pada Kamis, 24 November 2022. Dengan pakaian yang didominasi warna hitam dan
membawa spanduk, mereka menggelar aksi damai. Dalam aksi ini, massa menuntut
pembebasan korban salah tangkap kasus klitih di Gedongkuning, Yogyakarta. Massa
aksi yang tergabung dalam Gerakan untuk Pembebasan Terdakwa Salah Tangkap Kasus
Klitih Gedongkuning ini terdiri dari berbagai elemen, salah satunya pelajar SMK
Muhammadiyah 3 Yogyakarta.
Hadirnya pelajar dalam aksi damai itu
dikarenakan pihak yang menjadi korban salah tangkap berasal dari kalangan
pelajar juga. Mereka menunjukkan rasa solidaritasnya sebagai sesama pelajar.
Hal ini sesuai dengan keterangan A, selaku Koordinator Lapangan yang tidak
ingin disebutkan nama terangnya.
“Kita
harus berjuang dalam (kasus) salah tangkap ini. Teman-teman kami yang berlima
tidak bersalah sehingga jangan sampai (kasus) salah tangkap ini mencederai
pihak aparat dan masyarakat. Ketika (kasus) salah tangkap selalu terjadi,
pandangan masyarakat terhadap aparat akan menurun. Keprofesionalan aparat akan dipertanyakan
apabila kasus salah tangkap selalu terjadi,” ujar A kepada wartawan Philosofis.
Dalam
aksi yang digelar pada pagi hari itu, A tidak mengetahui secara detail mengenai
bagaimana para siswa dapat datang di
Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Hal ini berkaitan dengan prosedur perizinan yang
diajukan mereka kepada sekolah, apalagi aksi dilaksanakan pada weekday.
Walaupun secara pribadi tidak mengetahui mekanismenya, ia memiliki pandangan
sendiri. A meyakini bahwa rasa solidaritas berperan penting di sini.
Rasa
solidaritas yang ada di dalam diri pelajar telah menggerakkan mereka untuk ikut
serta dalam aksi damai. Selain itu, ketidakadilan yang ada di kasus tersebut
membuat pelajar yakin atas pilihannya.
“Jika
terkait perizinan oleh pihak sekolah, saya kurang paham. Tetapi dalam pandangan
saya, solidaritas telah tertanam dalam diri mereka. Hal ini menjadi kunci dalam
aksi ini. Mereka menganggap keadilan tidak bisa dibeli, mereka meyakini bahwa
teman-teman mereka tidak bersalah. Jikapun mereka membolos, mereka melakukannya
demi membela teman mereka, bukan karena mereka tidak ingin sekolah,” katanya.
Selain
pelajar dari SMK Muhammadiyah 3
Yogyakarta, hadir pula beberapa pihak, seperti alumni dan pelajar dari sekolah
lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Muhammad (nama samaran). Ia menjadi
salah seorang dari alumni yang bergabung dengan beberapa elemen masyarakat
lain.
“Kami berkumpul bersama, kebanyakan satu SMK meski ada anak dari (sekolah) lain dan ada juga alumni,” papar Muhammad.
Dengan
adanya aksi ini, mereka mendesak aparat penegak hukum agar dapat bertindak
adil. Hal ini menyangkut sikap arogansi terhadap pelajar. Selain itu, penegak
hukum diwajibkan menuntaskan perkara sesuai fakta di lapangan. Mereka berharap
pelajar yang dijadikan terdakwa bebas dari tuntutan hukum.
Lebih
jauh, mereka meminta masyarakat umum memiliki perhatian lebih terhadap kasus
ini. Terlebih kasus salah tangkap ini bukan yang pertama kali terjadi. Pihak
yang dirugikan tidak hanya korban, tetapi juga keluarga dan lingkungan di mana
ia tinggal. Selain itu, mereka menyoroti tentang desakan kepada masyarakat
supaya tidak begitu saja memercayai suatu berita. Harus ada proses verifikasi
berulang kali sehingga dapat terhindar dari jebakan berita hoax.
Dalam
aksi itu, Herlambang P. Wiratraman, dosen Fakultas Hukum UGM turut berorasi. Ia
menyinggung tentang sistem penegakan hukum yang tidak bekerja sesuai jalannya.
Kebenaran yang menjadi tujuan yang harus dicapai ternyata masih sulit untuk
diwujudkan. Selain Herlambang, Eko Prasetyo dari Social Movement Institute
juga ikut memberikan orasinya.
“Bersama, bersolidaritas bahwa di negeri ini tidak boleh hukum itu dipermainkan. Tidak boleh pengadilan hanya menjadi alat untuk membenarkan kekeliruan, kesalahan yang sebenarnya ditutupi. Tidak ingin hak asasi manusia itu yang sebenarnya hak-hak dasar warga negara diinjak-injak. Hadirnya saya, sedikit saja, bersolidaritas bersama,” kata Herlambang
Reporter: Aisya Puja Ray, Rohmawati, dan Dewa Saputra
Editor: Yoga Hanindyatam