Massa Aksi mengawal penyerahan memori banding di Pengadilan Tinggi Yogyakarta, (24/11) |
Solidaritas Orang
Tua Mencari Keadilan melakukan aksi di pelataran Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta,
Kamis (24/11). Mereka datang dengan membawa suara yang sama: pembebasan
terdakwa salah tangkap kasus klitih Gedongkuning. Massa aksi menggeruduk PT,
untuk melayangkan memori banding terhadap putusan hakim pada terdakwa
dugaan salah tangkap pelaku klitih, yang dianggap banyak keganjilan.
Rombongan massa
aksi yang tergabung dalam Orang Tua Mencari Keadilan, memasuki PT Yogyakarta,
pagi hari, sekitar pukul 10.00 WIB. Mereka terdiri dari orang tua korban salah
tangkap pelaku klitih dan solidaritas. Massa aksi, didominasi oleh pelajar SMA/K,
yang tak lain adalah teman korban salah tangkap pelaku klitih. Para pelajar bergabung
untuk ikut mengawal memori banding yang dilayangkan pada Kamis (24/11).
“Kami mengawal kasus
ini sejak awal, ketika mengetahui bahwa teman-teman (korban salah tangkap-red)
dituduh (melakukan aksi klitih-red). Akhirnya kami berkoordinasi dan membagi
tugas, sampai mendatangi pengadilan untuk mengawal sepenuhnya,” tutur seorang
remaja, teman korban salah tangkap klitih kepada wartawan Philosofis (24/11).
Seorang teman
korban salah tangkap pelaku klitih, Gilang (bukan nama sebenarnya), meyakini
bahwa penangkapan tersebut tidak sesuai fakta. Ia menjelaskan bahwa memang
teman (korban salah tangkap-red) mereka terlibat tarung sarung, pada malam yang sama dengan
kasus pembunuhan yang dilakukan Klitih di Gedongkuning. Gilang yakin,
penangkapan ini terdapat rekayasa dan terjadi salah tangkap.
“Pada dasarnya,
ini (penangkapan pelaku klitih) menjadi indikasi yang memang mencederai pihak
aparat dan masyarakat. Ketika salah tangkap ini terjadi, kepercayaan terhadap aparat
hukum dan kepolisian akan menurun,” ucap Gilang di sela massa demonstran.
Gilang berharap,
pengadilan dan aparat bisa berlaku adil dalam penangkapan klitih yang sebenarnya.
Ia dan teman-teman melakukan solidaritas atas gerakan hati serta untuk membela
teman baiknya yang tidak bersalah.
Melayangkan
Memori Banding
Penasihat hukum
seorang terdakwa korban salah tangkap pelaku klitih, Taufiqurrohman, keluar
dari dalam gedung PT Yogyakarta setelah melayangkan memori banding. Ia
menjelaskan bahwa memori banding tersebut berisikan keberatan dalam proses
peradilan terhadap terdakwa yang diduga menjadi korban salah tangkap klitih. “Proses yang dilakukan pada persidangan terakhir tidak
sesuai dengan fakta hukum,” ujarnya.
Kuasa Hukum memperlihatkan memori banding yang dilayangkan ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta, (24/11) |
Banding yang
diupayakan oleh penasehat hukum sebenarnya tidak memiliki aturan dalam proses
persidangan. Namun banding ini diperbolehkan, ia
mendesak hakim yang mengadili perkara agar dalam waktu tiga bulan semuanya sudah
selesai. Bahkan jika bisa, sebelum tiga bulan telah mendapatkan hasil yang
objektif dalam sidang.
“Proses banding
ini tidak ada aturannya, majelis hakim pengadilan tinggi punya waktu menyelesaikan
dan mengadili perkara ini dalam waktu tiga bulan,” ucap Taufiq setelah
mengajukan memori banding.
Kasus ini mendapat
perhatian langsung oleh Komnas
HAM, mereka menyampaikan dugaan pelanggaran HAM dalam proses peradilan yang
dilakukan Pengadilan Negeri Yogyakarta. Taufiq menuturkan, dalam memori banding
juga memuat dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti yang disampaikan
langsung oleh Komnas HAM.
“Kami memasukkan semua hal, termasuk potensi
pelanggaran HAM yang disampaikan oleh Komnas HAM. Selain itu, kami juga memasukkan
kekerasan yang diterima terdakwa, perusakan barang bukti, tidak mampunya jaksa
dalam membuktikan fakta dakwaan, dan fakta-fakta dakwaan yang diputarbalikkan,”
ujarnya lebih lanjut.
Taufiq bersama
penasihat hukum terdakwa dari Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum, Fakultas
Hukum, Universitas Gadjah Mada, menyusun pelbagai indikasi rekayasa dan
manipulasi barang bukti dalam persidangan. Mereka menyoroti proses yang ganjil
dalam persidangan. Ia menyebut, terdakwa mendapat perlakuan kekerasan dan tidak
diperbolehkan mendapat pendampingan hukum.
Kejanggalan
dalam Persidangan
Memori banding yang dimuat oleh penasihat hukum terdakwa berjumlah dua klipping tebal, masing-masing tersusun dalam ratusan lembar. Isi memoar diuraikan secara rinci. Pelbagai kejanggalan dimuat.
“Kejanggalan ini dimulai dengan rekayasa yang dengan mempersulit akses
pendampingan penasihat hukum kepada terdakwa. Saya (penasihat hukum, Taufiq) ketika hendak mendampingi terdakwa, justru ditangkap. Ketika masih menjadi tersangka,
penasihat hukum mendapatkan keterbatasan dalam pendampingan, begitu juga dalam proses
penyidikan. Hingga detik ini saya tidak pernah mendampingi klien saya dan tidak
mampu mengakses berkas dalam persidangan. Saya juga mengecam rekonstruksi yang
dilakukan,” tutur Taufiq kepada wartawan Philosofis
Penasihat hukum
mengecam rekonstruksi yang dilakukan. Rekontruksi kejadian yang dilakukan tidak
berdasarkan pada pengungkapan proses kejadian, akan tetapi, terdakwa justru
dipaksa untuk melakukan kejadian yang dibacakan oleh penyidik.
“Terdakwa ini
seperti topeng monyet. Disuruh memperagakan adegan yang dibacakan oleh penyidik.
Padahal Peraturan Kapolri menjelaskan bahwa rekonstruksi adalah proses penyelidikan yang
diperankan dalam tindakan. Artinya, penyidik itu seharusnya bertanya bagaimana
kamu melakukan kejahatan ini? tapi ini tidak, ini seperti topeng monyet,” ucapnya
dengan nada berat.
Rekayasa bisa dilihat secara gamblang ketika terjadi perusakan CCTV. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan fakta dalam rekaman kamera pengawas yang dijadikan alat
bukti. Taufiq mempertegas bahwa rekaman itu penting untuk pengungkapan
siapa yang melakukan kejahatan. Pada akhirnya, alat bukti tersebut menuai
perdebatan.
“Bagaimana kok
hakim bisa memutuskan orang ini bersalah, padahal banyak permasalahan yang
terdapat di persidangan? Itu persoalan intinya,” penasihat hukum memperjelas.
Hingga saat ini,
dugaan perusakan CCTV belum diketahui jelas. Namun, penasihat hukum terdakwa
tidak ambil diam. Mereka melaporkannya ke Polsek Kota Gede, yang menangani
kasus ini. Taufiq berharap agar Polsek berlaku adil dan mengeluarkan hasil
secara objektif.
Dewa Saputra
Reporter: Aisya Puja Ray, Rohma, Dewa
Saputra
Editor: Zhafran Hilmy