Ilustrasi: Adam Yogatama |
Sesak dada dan air mata kembali datang secara
bersamaan. Lagi-lagi karena sepakbola kembali meregang nyawa. Belum selesai
berduka kala suporter PSS Sleman meninggal
beberapa bulan yang lalu, kita kudu kembali berkabung untuk hilangnya nyawa
manusia karena sepakbola.
Tragedi Kanjuruhan, hati kita semua tercabik-cabik
karenanya. Ratusan suporter Arema meninggal di rumahnya sendiri, Stadion Kanjuruhan.
Hari itu adalah tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah sepakbola di
Indonesia. Seratus orang lebih tidak kembali ke rumah, seratus orang lebih
tidak bertemu lagi dengan keluarganya, dan seratus orang lebih dibunuh oleh
sepakbola.
1 Oktober 2022, akan selalu diingat sebagai hari
kelam sepakbola Indonesia. Bahkan, tragedi itu masuk ke dalam jajaran atas peristiwa
gelap sepakbola di dunia. Tragedi Kanjuruhan yang terlampau kelam membuat
seluruh dunia ikut berduka cita. Berbagai klub dan suporter di belahan dunia
memberikan penghormatan terhadap korban tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan.
“Humanity
above all,” hingga “Tak ada sepakbola seharga nyawa manusia,” membalut
kesedihan setelah peristiwa itu. Kalimat-kalimat itu menyebar secara masif
mulai dari lini masa media sosial hingga tertempel di sudut-sudut kota. Semua
orang menyuarakan itu, sebagai bentuk simpati kepada korban sekaligus
menyadarkan bahwa kemanusiaan di atas segalanya.
Tapi, apakah benar demikian?
Sepakbola di Atas Kemanusiaan
Sedih, marah, dan geram
adalah perasan ketika tahu bahwa lagi-lagi sepakbola menelan korban jiwa. Satu
atau dua nyawa pun tidak pantas melayang hanya karena sepakbola, apalagi
ratusan. Hal itu membuat titik nadir seorang penggila sepakbola sampai pada
puncaknya.
Kematian karena
sepakbola sepertinya sudah menjadi hal yang biasa, terutama di Indonesia.
Suporter dan kematian seakan jadi dua hal yang susah untuk dilepaskan. Keterkaitan
keduanya bukannya kosong tanpa alasan, ada satu hal yang mempengaruhinya:
industrialisasi sepakbola.
Hari ini, marwah
sepakbola sebagai permainan telah hilang. Semuanya berganti menjadi sebuah
komoditi industri yang tidak luput dari keuntungan, keuntungan, dan keuntungan.
Hal itu juga disampaikan dalam buku Sepak
Bola Seribu Tafsir karya Eddward Kennedy: sepakbola hari ini dipegang oleh
para kelas menengah atas demi komersialisasi dan kepentingan kapital. Dan
itulah yang membuat cara memandang suporter menjadi berubah—cara memandang
kemanusiaan juga menyertainya.
Suporter hanya
dijadikan konsumen. Dilihat sebagai sebuah keuntungan belaka, bahkan tidak
dilihat sebagai bagian dari “kebudayaan” sepakbola. Padahal, dalam konsep kulturgenbundenheit, menurut Bakdi
Sumanto, Guru Besar UGM, sepakbola
dan suporter adalah dua entitas yang saling tarik-menarik serta mempengaruhi
antar keduanya.
Dalam Tragedi
Kanjuruhan yang memilukan, konsep supporter
is customer benar-benar terjadi. Tiket yang dijual lebih
dari kapasitas stadion. Itu adalah salah satu anasir penyebab melayangnya
ratusan nyawa di Kanjuruhan.
Bisa bayangkan
bagaimana penuh sesaknya stadion yang over
capacity dengan ribuan orang di dalamnya. Kemudian, coba bayangkan ketika
mereka berusaha menghindar dari tembakan gas air mata, sedangkan untuk
berpindah tempat pun sulit.
Tidak perlu
membayangkan kengeriannya, karena kenyataanya memang demikian adanya. Nyawa
manusia begitu murah dihadapan sepakbola. 180
orang lebih menjadi korban biadabnya sepakbola, 180 orang lebih termakan oleh
omong kosong sorak sorai sepakbola, dan 180 orang lebih menjadi pecandu “ekstasi”
sepakbola yang berakhir dengan “overdosis”—mati—karenanya.
Belum selesai dengan
sebuah amarah dan ketakutan, sebuah amukan besar meraung dalam hati. Yunus
Nusi, Sekertaris Jendral (Sekjen) PSSI mengeluarkan statement yang—menurut saya—tidak manusiawi. Ia berharap agar
Indonesia tidak diberi sanksi oleh FIFA akibat Tragedi Kanjuruhan. Sejenak
terdiam dan syok setelah mendengar pernyataan itu. Ternyata ketakutan diberi
sanksi lebih besar daripada ratusan nyawa hilang karena sepakbola.
Amarah dalam hati tidak
berhenti di situ saja. Presiden Arema FC, Gilang Widya Pramana, kala
diwawancarai di salah satu stasiun televisi memberikan pernyataan
yang sangat memilukan bagi korban. Ia memaparkan bagaimana dampak keuntungan
dan kerugian pendapatan pasca peristiwa yang memukul banyak orang itu. Jujur,
itu benar-benar pikiran yang hanya berorientasi pada uang, uang, dan uang.
Nyawa manusia tidak sepantasnya dibandingkan dengan pundi-pundi uang.
Nyawa manusia yang dikorbankan demi uang, dibandingkan dengan uang, dan tidak dianggap sebagai sebuah kehilangan, menunjukkan bahwa sepakbola di atas kemanusiaan.
Lebih Baik Mati Saja
Tidak pernah terlintas
dalam pikiran di otak saya, ternyata sepakbola begitu kejam dan mengerikan.
Ratusan nyawa hilang karenanya, ratusan ibu menangis karena anaknya tidak
kembali selepas menonton sepakbola, dan ratusan keluarga begitu terpukul karena
sepakbola.
Tragedi Kanjuruhan
berhasil menangkis semua glorifikasi tentang sepakbola. Sepakbola yang dimaknai
sebagai keindahan, ekstasi kehidupan, hiburan, dan bahkan tidak jarang dianggap
sebagai agama, ternyata hanyalah ilusi untuk menutupi biadabnya permainan itu.
Mungkin banyak orang
tidak menyetujui hal di atas, tapi cobalah membuka mata. Bagaimana ratusan
teman, saudara, orang tua, dan keluarga korban memandang sepakbola? Mereka
jelas akan membencinya sampai kapan pun, dan itu adalah hal yang tepat. Mereka mungkin
tidak akan pernah mau mendengar “sepakbola” lagi dalam kehidupannya. Tidak
berlebihan bila dibandingkan dengan warga Rusia yang tidak mau lagi
mendengar The Great Purge karena
pembantaian oleh Stalin, atau orang-orang Yahudi Eropa yang sangat anti dengan
Nazi karena Holocaust.
Dan pada akhirnya, jika sepakbola hanya ada untuk membantai ratusan nyawa, hanya membuat ratusan ibu menangis karena anaknya tewas setelah menontonnya, hanya membuat ratusan orang lantas membencinya, maka, matilah kau sepakbola!