Ilustrasi: Kedrick Azman |
Review Buku kedua dari Trilogi
negeri 5 Menara: Ranah 3 Warna
Penulis : A. Fuadi
Cetakan Ketiga Januari 2011
Tebal : xiii + 473 halaman
Man jadda wa jadda yang berarti barang siapa bersungguh-sungguh dia pasti berhasil, I’malu fauqa ma’amilu yang berarti berusaha di atas rata-rata orang lain, man shabara zhafira yang berarti siapa yang sabar akan beruntung.
Tiga prinsip hidup tersebut merupakan prinsip hidup Alif yang menurut reviewer sangat menentukan masa depannya terutama dalam mencapai tujuan dan cita-citanya. Buku ini bercerita tentang Alif seorang pemuda yang tinggal di dekat Danau Maninjau dan seorang lulusan pondok pesantren yang bermimpi untuk kuliah tinggi hingga belajar sampai Benua Amerika.
Perjuangannya dalam mencapai mimpi
dimulai dengan belajar pelajaran SMA, karena sebelumnya ia lulusan pondok sehingga tidak memiliki ijazah SMA dan harus mengikuti ujian persamaan SMA
agar bisa mendaftar tes UMPTN. Alif harus mempelajari buku
pelajaran dari kelas satu hingga tiga SMA dengan waktu yang singkat, hingga
pada akhirnya kerja keras tersebut mengantarkannya menempuh kuliah di
Universitas Padjajaran Jurusan Hubungan Internasional.
Awal mula cerita perkuliahan Alif, pembaca disuguhi kisah persahabatan Alif dengan Wira, Agam, dan Memet. Tak lupa juga drama menarik kisah persahabatannya dengan Randai yang merupakan teman satu kampung di Maninjau sekaligus teman satu kos Alif, ketertarikannya kepada seorang gadis bernama Raisa, serta perjuangannya belajar menulis kepada Pimpinan Redaksi Majalah “Kutub”, Bang Togar.
Cerita perkuliahan Alif mulai berubah dramatis ketika ayahnya meninggal dan dia mencari cara untuk dapat menghidupi dirinya sendiri di Bandung agar tidak merepotkan Amak yang juga harus menghidupi adik-adiknya yang tinggal jauh di Maninjau. Alif mencoba beberapa pekerjaan, mulai dari menjadi guru privat, menjual barang dari sebuah katalog, hingga menjual kain produksi minang. Di mana pekerjaan-pekerjaan tersebut harus membuatnya tidak memiliki waktu leha-leha dari pagi hingga malam, sampai akhirnya Alif terserang penyakit tifus.
Sejak saat itu pula, Alif memutar otak untuk mencari cara lain dalam mendapatkan uang. Ia menyadari bahwa berdagang bukanlah bakatnya, ia berpikir kembali bahwa bakatnya adalah menulis. Seperti yang telah dilakukan sebelumnya, ia berhasil membuat tulisan bagus di majalah kampus, “Kutub”, hasil dari didikan keras pimpinan redaksi, Bang Togar. Maka saat masa pemulihan sakitnya itu, ia kembali datang ke Bang Togar untuk kembali belajar menulis agar tulisannya dapat dimuat di media hingga menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Usahanya dari belajar hingga giat
menulis pun membuahkan hasil, bahkan Alif berhasil mengirim uang hasil keringat
sendiri kepada Amak di kampung. Tak sampai di situ,
cita-citanya pergi ke Benua Amerika berusaha ia wujudkan kembali dengan
mengikuti program pertukaran pelajar. Berkat kerja keras dan usaha yang dilakukan berbeda dari peserta lain dalam mengikuti proses seleksi yang ketat,
berhasil membawanya ke Kanada bahkan sempat singgah di Jordania .
Dalam program pertukaran pemuda tersebut, Alif berkesempatan bekerja di sebuah stasiun TV lokal bersama rekan Kanadanya Franc. Alif berhasil meliput beberapa hal penting, seperti liputan tentang suku Indiana dan seni berburu Moose serta wawancara eksklusif dengan tokoh utama referendum di Quebec yang membuat Alif mendapat penghargaan sebagai peserta terbaik. Selama bergabung dalam program pertukaran pemuda ini, Alif dapat melatih kemampuan berbahasa Prancis, berkenalan dengan keluarga dan teman berbeda budaya, bahkan mengenalkan Tari Indang kepada masyarakat Quebec dan teman-teman negara lain yang mengikuti program ini. Menurut Alif program pertukaran tersebut telah berhasil memperkuat jati diri, wawasan hidup serta memperkuat tali hati lintas benua.
Novel ini sangat menarik karena pembaca dapat langsung terbawa ke dalam cerita walaupun belum membaca novel yang pertama. Bisa dibilang, novel ini juga menggambarkan hustle culture yang dimiliki Alif ketika dirinya berkeinginan untuk kuliah, bekerja, hingga mewujudkan mimpinya ke Kanada. Yang paling menarik dalam novel ini yaitu pembaca disuguhkan perjuangan-perjuangan yang dilalui Alif yang dilakukan dengan maksimal disertai kesabaran. Selain itu, bumbu-bumbu persahabatan dan percintaan juga dimasukkan dalam novel ini, yang membuat setiap kejadiannya sangat menarik untuk terus diikuti.
So
far, novel ini cocok untuk para mahasiswa yang haus akan motivasi dan
masih memiliki jiwa rebahan tapi memiliki mimpi yang tinggi. Novel ini membawa
pembaca pada perjuangan Alif meraih mimpinya dengan kerja keras, dengan percaya
akan kemungkinan-kemungkinan akan terwujudnya sebuah mimpi, bahkan
ketika masalah datang bertubi-tubi melalui prinsip hidupnya yang sebelumnya
sudah diperoleh dari Pondok Madani, yaitu “man jadda wajada” yang berarti siapa yang
bersungguh-sungguh pasti akan berhasil serta “man shabara zhafira” yang
berarti siapa yang sabar akan beruntung.
Dissara
Editor: Fatimah
Nabila Azzahro