Foto: Rachma Syifa Faiza Rachel |
Belum pudar dalam ingatan, kasus yang menimpa Andini (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang mengalami kekerasan seksual. Bermula saat dia mengikuti agenda organisasi, dan diajak ke indekos dengan dalih kepentingan organisasi oleh senior organisasinya. Andini yang saat itu terguncang, hanya bisa diam dan menangis karena fisiknya tak mampu melawan. Butuh waktu cukup lama untuk dia berani bersuara demi mendapatkan keadilan atas dirinya sendiri. Kasus Andini bagai tabir, menguak kasus kekerasan seksual lainnya di UNY.
Saat
ini, terdapat beberapa kasus Kekerasan Seksual (KS) yang terjadi di UNY.
Pelakunya mulai dari aktivis UKM hingga lurah di lokasi KKN. Sebagai sebuah
institusi pendidikan, UNY sudah seharusnya menjadi wadah untuk melapor terkait
kasus KS, namun pada kenyataannya proses penanganan yang lambat membuat
kasus-kasus tersebut menggantung di tengah jalan. Hingga lahirlah satu titik
temu, apakah pihak rektorat benar-benar mampu dalam menyelesaikan kasus
kekerasan seksual di UNY?
Realitas Kasus Kekerasan
Seksual di Perguruan Tinggi
Menurut
Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek),
kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan,
dan menyerang tubuh atau fungsi reproduksi seseorang. Hal tersebut terjadi
karena ketimpangan relasi kuasa dan gender. Selain itu, dapat mengakibatkan
penderitaan psikis atau fisik, yang kemudian menganggu kesehatan reproduksi
seseorang. Dan pada akhirnya akan mengakibatkan hilang kesempatan melaksanakan
pendidikan yang aman serta optimal.
Tindakan
kekerasan seksual ini dilakukan tanpa consent
atau persetujuan korban, bahkan cenderung disertai dengan unsur paksaan dan
ancaman. Sehingga menimbulkan dampak negatif yang merugikan para penyintas.
Berdasarkan
survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, perguruan tinggi menempati posisi
pertama untuk kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Selama periode
2017-2021, terdapat 35 kasus yang dilaporkan. Berbeda dengan data Komnas
Perempuan, Kemendikbud Ristek melaporkan sepanjang Januari hingga Juli 2021,
terdapat 2.500 kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi dan pelajar
perempuan.
Kekerasan
seksual memang menjadi isu yang tak pernah habis diperbincangkan, bagai
fenomena gunung es, kasus ini sulit terungkap dan hanya terlihat lapisan
atasnya saja. Sebagaimana yang terlihat dari puncak, tak semua korban kasus
kekerasan seksual di Indonesia memiliki kuasa untuk melaporkan kejadian yang
menimpanya. Sehingga kasus-kasus KS, masih tersembunyi dalam ruang-ruang
kampus, dan tak kunjung terselesaikan.
Janji Manis Birokrasi
Bagai Lulabby Nina Bobo Publik
Sepanjang
Juni tahun 2022, terdapat beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di UNY.
Yang terbaru ialah kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa jurusan Ilmu
Sejarah kepada teman satu organisasinya. Kasus ini pun mencuat di ruang publik,
mengundang respon dari berbagai pihak. Tanggapan-tanggapan pun muncul, hingga
pada satu titik pertanyaan, bagaimana kerja birokrasi dalam menangani kasus KS
di UNY?
Berdasarkan
wawancara yang dilakukan wartawan Philosofis
kepada Ahmad Effendi, selaku pendamping dari kasus KS yang dialami oleh
Maryam (bukan nama sebenarnya) pada (21/06), menuturkan bahwa pihak rektorat
memang menerima laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi di UNY. Akan
tetapi, dalam penanganannya masih terkesan sembrono dan tak serius.
Kasus-kasus yang ditangani, termasuk kasus Maryam, umumnya hanya dilempar-lempar
saja, sehingga dalam kurun waktu yang lama kasus ini kemudian mandek.
Ahmad
menuturkan sejak 2018, memang ada beberapa kasus KS yang ditangani oleh pihak
rektorat, akan tetapi yang terselesaikan baru satu kasus, ini pun lantaran
kasus tersebut telah masuk ke dalam hukum pidana.
“Kita
akan serius menangani kasus KS.” Ujar Ahmad menirukan ucapan pihak rektorat.
Kenyataannya,
rektorat tak benar-benar serius berkomitmen untuk menyelesaikan kasus kekerasan
seksual di UNY. Terdapat dua kecenderungan pihak birokrasi kampus dalam
menangani kasus KS. Pertama, tak mau
melibatkan pihak luar yang berkompeten seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan
Rifka Annisa, padahal UNY tak punya SDM yang cukup untuk menangani kasus KS. Kedua, rektorat cenderung sembrono
dan tak transparan, hanya memberikan dopamine kepada mahasiswa, sekadar
menenangkan saja bahwa ada kasus KS mereka bisa lapor ke pihak kampus, tanpa
ada penyelesaian yang jelas.
Ahmad
menyampaikan, proses advokasi KS yang dilakukan pihak rektorat pun cenderung
ugal-ugalan dan tak sesuai dengan prosedur. Mereka cenderung menunjuk seseorang
yang tidak berkompeten dalam advokasi KS, alih-alih menanyakan kebutuhan
korban, pihak rektorat cenderung menempatkan diri sebagai pihak yang
mengintimidasi penyintas.
“Itu
kan sudah malam, mengapa masih ada di kontrakan UKM?” “Bagaimana kronologi
kejadiannya?” “Bagian tubuh mana yang disentuh oleh pelaku?” Ujar Ahmad
menirukan pertanyaan yang dilontarkan pihak rektorat.
Pertanyaan-pertanyaan
itu membuat penyintas kembali terkucilkan dan berkubang dalam duka. Alih-alih
fokus menangani kasus, mereka malah menanyakan pertanyaan yang tidak ramah bagi
penyintas.
Sejauh
pengamatan yang dilakukan oleh Ahmad, pihak rektorat tidak punya pengalaman
dalam melakukan advokasi KS, namun berlaku seolah-olah bisa menangani kasus KS
tanpa melibatkan pihak lain. Rektorat seolah menjadi bahan bakar kasus KS,
tidak memiliki regulasi produktif, namun dengan sombong tak melibatkan pihak
yang berkompeten dalam penyelesaiannya, sehingga kasus KS lamban ditangani
bahkan sampai saat ini.
Kultur Mahasiswa Sebagai
Bahan Bakar Kekerasan Seksual
Apabila
ditarik dalam benang merah, tak menutup kemungkinan bahwa akar sebenarnya dari
kekerasan seksual di lingkungan kampus adalah kultur mahasiswa dan birokrasi
itu sendiri. Birokrasi merasa lebih berhak menyelesaikan kasus KS dibandingkan
melibatkan pihak profesional, sehingga pihak-pihak yang lain dianggap “tidak
berhak” untuk dilibatkan dalam advokasi KS. Pun, kultur mahasiswa masih terkungkung
dalam pemikiran patriarki dan budaya maskulinitas.
“Sekelas
danusan dalam organisasi aja terlihat relasi gender, siapa yang masak dan siapa
yang belanja. Pada akhirnya perempuan mudah terkena kasus KS, karena
ketimpangan ini berdasar dari budaya maskulinitas yang menjadikan perempuan
sebagai objek, tak punya kuasa.” Ujar Ahmad saat dihubungi via telephone.
Tak
hanya itu, kekerasan seksual yang terjadi di kampus seringkali dipengaruhi oleh
hubungan kekuasaan antara korban dan pelaku (quid pro quo), dimana pelaku memiliki power lebih dibandingkan korban. Proporsi insiden yang melibatkan
individu dengan status superior cukup tinggi, yaitu dosen, mahasiswa, dan staf
universitas sebagai pelaku kekerasan seksual. Akibatnya, korban memilih untuk
bungkam ketimbang melaporkan pelaku. Pun, apabila korban melapor, tak jarang
mereka mendapatkan tekanan untuk tetap bungkam.
Selepas
kasus kekerasan seksual menjadi perbincangan dalam ruang publik, beragam reaksi
pun muncul, ada yang menerima dan ada pula yang menolak terkuaknya kasus-kasus
KS tersebut. Apabila digolongkan dari sisi yang menolak, saya membaginya
menjadi tiga golongan.
Satu, mahasiswa
yang cenderung menolak, beranggapan bahwa perempuan merupakan subjek dari
objektifikasi, sehingga kekerasan seksual dianggap sebagai suatu hal yang tak
serius. Dua, Ormawa yang tidak
mengakui adanya kasus KS, mereka menjadi bahan bakar KS, menutupi kasus demi
menjaga nama baik, dan melanggengkan toxic
seniority. Tiga, Pihak Rektorat
yang sembunyi tangan, berpura-pura mampu menangani kasus KS, dengan regulasi
yang tidak produktif. Akibatnya, kasus KS yang ada di UNY pun mangkrak, jauh
dari kata penyelesaian, dan terlupakan oleh publik.
Penyusunan Regulasi yang
Terkesan Tergesa-gesa
Peraturan
penanganan kasus kekerasan seksual di UNY telah ada sejak tahun 2020. Tetapi
poin-poin yang ada dirasa belum cukup, sehingga peraturan ini dianggap tak
cukup untuk landasan penanganan kasus KS di UNY. Seiring berjalannya waktu,
Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Budaya, Riset dan
Teknologi mengeluarkan Permendikbud No 30 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan
Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, sebagai landasan hukum
baru terkait kasus KS di lingkungan kampus. Adanya Permendikbud No 30 Tahun
2021, memang menjadi lentera bagi para penyintas namun tak serta merta
menghapuskan KS di lingkungan universitas.
Belum
lama ini, Rektor UNY mengeluarkan Peraturan Rektor Universitas Negeri
Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2022, Tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual di UNY.
Dijelaskan bahwa penanganan kasus KS di UNY dilaksanakan oleh Satuan Tugas
(Satgas) yang dibentuk oleh Rektor. Penanganan kasus KS dan pengenaan sanksi
untuk pelaku tertulis jelas dalam peraturan rektor tersebut.
Terdapat
sanksi administratif yang disepakati oleh pihak kampus sebagai hukuman untuk
pelaku. Sanksi administratif itu dibagi menjadi tiga: ringan, sedang, dan
berat. Pada peraturan ini, kampus berkomitmen untuk melakukan penanganan dan
pendampingan korban pada kasus KS di UNY. Akan tetapi peraturan ini hanya
layaknya elemen tertulis, tanpa satuan tugas yang bertugas menangani kasus KS.
Hal
ini dibenarkan oleh Yahya Yusron, selaku Ketua DPM KM UNY dalam wawancara
bersama wartawan Philosofis pada 24
Juni 2022. Pihak birokrasi mengundang perwakilan mahasiswa yang terdiri dari
dua anggota BEM KM, dua anggota DPM KM, dan satu anggota Ormawa untuk
menghadiri pembahasan draft Peraturan Rektor Nomor 6 tahun 2022, akan tetapi
pada awalnya mereka diundang tanpa embel-embel apapun.
“Pembahasan
draft pertama mahasiswa memang dilibatkan, akan tetapi tidak diberi tahu akan
membahas apa. Pagi undangan tersebut datang, kemudian siangnya ada rapat.
Sehingga kami tanpa persiapan apapun dalam membahasa draft tersebut.”
Yahya
menuturkan, akibat pembahasan yang mendadak pihak mahasiswa terutama dirinya
meminta waktu untuk mengkaji kembali mengenai hal tersebut. Selang beberapa
hari, pihak DPM mengajak Ruang Aman dan UNY Bergerak untuk melakukan pembahasan
draft tersebut.
Pada
tanggal 7 Februari akan diadakan pembahasan lagi oleh pihak rektorat, namun
dibatalkan karena alasan tertentu. Lalu pada 23 Februari 2022, pihak
kemahasiswaan UNY membuat diskusi tentang kekerasan seksual yang diadakan di
gedung Student Center (SC). Pada 15 Maret 2022, diadakan kembali rapat yang
sebelumnya dibatalkan oleh pihak rektorat, masih mengenai pembahasan peraturan
kasus KS di UNY.
Selang
beberapa hari, yaitu pada 18 Maret 2022, dikeluarkanlah Peraturan Rektor No 6
Tahun 2022, Tentang Penangulanggan Kekerasan Seksual di UNY yang merupakan
pembaruan dari Peraturan Rektor No 17 Tahun 2020. Namun, tak berselang lama
pada tanggal 25 Maret 2022, Pak Agus Basuki mengirim draft revisi hasil rapat
ke DPM, tidak ada peraturan nomor dan tanda tangan dari rektor.
Pengiriman
draft hasil rapat pasca pengesahan peraturan rektor tersebut tentu menimbulkan
tanda tanya. Mengapa pengesahan Peraturan Rektor No 6 Tahun 2022 cenderung
buru-buru, sedangkan draftnya baru dikirimkan kepada DPM tujuh hari pasca
pengesahan.
“Hal
ini memang cukup aneh, rektorat cenderung terburu-buru dalam pengesahan
Peraturan Rektor tersebut.”
Akan
tetapi, Yahya beserta pihak kolaborasi (DPM KM, Ruang Aman, dan UNY Bergerak)
beranggapan bahwa ini merupakan awal yang baik, dan kemudian berlanjut pada
tahapan berikutnya yaitu pembentukan Satgas dan sosialisasi peraturan tersebut.
Pembentukan Satgas Yang
Masih Sekadar Angan-angan
Dalam
peraturan rektor tertulis, sebelum pembentukan Satuan Tugas (Satgas) diperlukan
panitia seleksi. Yahya menuturkan, pembentukan panitia seleksi itu dipilih oleh
pihak rektorat, terdiri dari tenaga pendidik dan perwakilan mahasiswa, yaitu
satu dari BEM KM, satu dari DPM KM, dan satu dari Ormawa. Penunjukan ini tidak berlandaskan apa-apa,
pihak rektorat cenderung sepihak dalam memilih mereka.
“Mereka
yang ditunjuk belum tentu orang yang berkompeten dan bukan atas kemauan diri
mereka. Saat ditanya, pihak rektorat cenderung bungkam dan berdalih bahwa
penunjukan ini masih bisa dirubah. Namun, saat saya bertanya kepada
kemahasiswaan, pembentukan panitia seleksi ini telah diajukan ke dalam
kementerian dan tinggal menunggu pengesahan.”
Sampai
saat ini, pembentukan panitia seleksi masih mengalami kebuntuan dan menunggu
pengesahan dari kementerian. Begitu pun dengan pembentukan Satgas Penanganan
Kasus KS. Seharusnya, Satgas sudah terbentuk sejak bulan September 2021. Tetapi,
sampai saat ini panitia seleksi belum menunjukan kejelasan.
“Pembentukan
Satgas masih belum jelas, karena pengesahan panitia seleksi saja masih tertahan
di pihak kementrian, sehingga saat ada kasus KS, pihak birokrasi kampus
bingung, karena tak ada Satgas untuk menanganinya.” Ujar Yahya menutup
wawancara pada hari itu.
Pengesahan RUU PKS dan
Kenyataan Pahit
Pada
12 April 2022, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU
TPKS) disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, setelah
sebelumnya mandek bertahun-tahun dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Dalam UU TPKS, kekerasan seksual dikategorikan menjadi lima bentuk: pelecehan
seksual, pemaksaan memakai alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual,
eksploitasi seksual, dan tindak pidana kekerasan seksual yang disertai dengan
tindak pidana lain.
Selain
itu, terdapat empat poin penting dalam UU TPKS ini yaitu, penyidik tidak boleh
menolak perkara, tidak ada restorative
justice, barang bukti dapat dijadikan alat bukti, dan kewajiban restitusi
korban yang sepenuhnya dibebankan kepada pelaku.
Walaupun
UU TPKS telah disahkan oleh DPR dan menjadi landasan hukum tindak pidana
kekerasan seksual, namun kenyataannya penyintas KS tak lantas mendapatkan
kemudahan memperoleh keadilan. Kenyataan pahit ini harus dipaparkan, mengingat
inilah realitas yang terjadi. Masih banyak korban yang belum mendapatkan
keadilan, seperti putusan bebas terdakwa kasus kekerasan seksual di Universitas
Riau (Unri). Vonis bebas atas terdakwa kasus kekerasan seksual ini merupakan
kenyataan yang memilukan dan menjadi pukulan telak bagi para pejuang keadilan
korban KS.
Serupa
dengan apa yang disampaikan Ahmad, Yunita Azizah dari Ruang Aman menyampaikan
bahwa pihak birokrasi cenderung melibatkan sedikit sekali pihak dalam menangani
kasus kekerasan seksual. Pun kasus KS yang sudah dilaporkan, mengambang begitu
saja tanpa alur penyelesaian yang jelas. Sudah seharusnya, ada dokumentasi yang
menyatakan bahwa UNY sedang tak baik-baik saja, alih-alih membranding diri
sebagai lembaga yang aman.
“Sudah
seharusnya semua pihak terutama birokrasi, menerima bahwa kasus KS itu ada.
Jangan membuat benteng seolah-olah keadaan UNY baik-baik saja. Pun, dengan
adanya peraturan masalah ini terselesaikan begitu saja. Harus ada kontribusi
dari publik, agar penanganan kasus KS di UNY dapat terlaksana.” Ujar Jojo –
sapaan akrabnya, kepada wartawan Philosofis
dalam wawancara, pada 17 Juni 2022.
Jojo
menuturkan, dengan adanya UU TPKS dan Peraturan Rektor Nomor 6 Tahun 2022, tak
pelak membuat korban mendapatkan keadilan, selama birokrasi kampus masih tak
serius dalam menangani kasus KS.
Narasi
birokrasi dengan mempertemukan korban dengan pelaku adalah langkah yang salah.
Pertemuan antara korban dan penyintas justru akan memicu trauma korban.
Berhenti membranding diri bahwa lembaga ini aman, dengan mempertemukan keduanya
agar masalah dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Sudah seharusnya UNY lebih
serius dalam penanganan kasus KS, pun merilis bahwa lembaga ini tidak baik-baik
saja, agar semua pihak dapat lebih aware.
“Kita
tidak perlu tau kronologis, nama pelaku, dan nama korban, cukup mengetahui
bahwa ada yang tak baik-baik saja disini.”
Peraturan
Rektor Nomor 6 Tahun 2022 memang telah ada, namun sayang tak dibarengi dengan
keseriusan dalam sosialisasi kepada dosen dan mahasiswa. Jangan seolah-olah
dengan adanya peraturan tersebut, kasus KS di UNY selesai.
Pentingnya Pelibatan
Pihak Berkompeten dalam Advokasi Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan
Tinggi
Menyoal
mengenai kekerasan seksual, tak hanya di ranah kasusnya, melainkan juga dalam
layanan penanganannya. Penting untuk melibatkan jaringan di luar kampus,
apabila penyelesaiaanya hanya dilakukan oleh instutusi, tak menutup kemungkinan
adanya keberpihakan dan nilai-nilai yang merugikan penyintas. Fenomena ini
diamati oleh Agus Triyanto dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
DIY. Sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang telah berdiri sejak 23
Desember 1967, berfokus pada isu sosial, kesehatan produksi perempuan, dan
penanganan kekerasan.
Menurut
Agus, kekerasan seksual dapat terjadi karena adanya ketimpangan relasi dari
laki-laki dan perempuan, baik dari tenaga maupun status sosial.
Sejauh
pengamatan yang dilakukan oleh Agus, fakta yang muncul ketika membicarakan
kekerasan seksual, sebagian besar pelaku merupakan seseorang yang dikenal oleh
korban secara personal, baik pacar, dosen, teman, orang tua, dan lainnya.
Kekerasan seksual bentuknya tak hanya pemerkosaan, sehingga diperlukan
pemahaman kepada masyarakat bahwa terdapat banyak turunan kekerasan seksual.
“Tak
jarang mereka tidak menyadari bahwa dia merupakan korban kekerasan seksual,
semisal ciuman tanpa consent dalam
hubungan pacaran. Ini kan termasuk bentuk kekerasan seksual, akan tetapi sulit
rasanya apabila masyarakat kita tak memahaminya.”
Agus
juga menambahkan, kasus kekerasan seksual itu sulit untuk dibawa ke dalam ranah
hukum. Hal ini disebabkan berbagai faktor, seperti aparat penegak hukum yang
belum paham akan kekerasan seksual hingga kurangnya bukti penyintas untuk
menjerat pelaku.
“Kasus
kekerasan seksual agak sulit untuk dibawa dalam jalur hukum, apalagi dalam
relasi hubungan seperti pacaran dan pernikahan. Apabila muncul pernyataan suka
sama suka, kasus tersebut otomatis gugur begitu saja.”
Apabila
ditarik dalam lingkungan perguruan tinggi yang merupakan sebuah institusi,
dalam menangani kasus KS, tentu memiliki regulasi sendiri. Akan tetapi, yang
menjadi persoalan ialah bagaimana kampus merespon dan menangani kasus tersebut,
karena tak menutup kemungkinan yang dilawan bukan hanya personal oknum,
melainkan institusi itu sendiri.
Berkaca
dari kasus yang terblow-up media, sebuah institusi pendidikan tentu
memiliki birokrasi. Respon setelah melaporkan kasus KS memang bagus, akan
tetapi butuh waktu lama dalam penanganannya. Sementara, pada proses itu apakah
penyintas mendapatkan perlindungan? Tidak menutup kemungkinan adanya keberpihakan.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan juga, alih-alih membantu penyintas,
mereka malah menyudutkan.
“Menjadi
penyintas tentu bukanlah perkara mudah untuk berani berbicara atas kasus yang
menimpa mereka. Tak menutup kemungkinan adanya lobi yang mengintimidasi korban
agar tetap bungkam demi menjaga nama baik dan reputasi kampus. Sehingga
diperlukan pelibatan pihak luar yang memang tidak memiliki kepentingan dalam
advokasi kasus KS.” Ujar Agus kepada wartawan Philosofis saat diwawancarai pada 30 Juni 2022 melalui Google Meet.
Sepenuturan
Agus, dalam proses advokasi KS memang membutuhkan waktu yang lama. Diperlukan
kesabaran dan penguatan pendamping kepada penyintas yang tak menutup
kemungkinan mendapatkan tekanan sosial.
“Tidak
cukup hanya regulasi saja, diperlukan pengawalan dan implementasi sebagai
komitmen penanganan kasus KS di lingkungan perguruan tinggi. Pembentukan Satgas
adalah utama, kemudian diikuti oleh evaluasi dan monitoring bersama agar
tercipta ruang aman dari jerat predator kekerasan seksual.”
Menurut
Agus, penting adanya kesadaran dari seluruh pihak, baik aparat hukum, institusi
kampus, dan masyarakat sehingga penanganan kasus kekerasan seksual tak lagi
alot. Terlebih, setelah adanya pengesahan UU TPKS sebagai landasan hukum baru
untuk menangani tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia.
Rachma Syifa Faiza Rachel
Editor: Zhafran Naufal Hilmy