Ilustrasi: Farras Pradana |
Ganja merupakan hasil dari tanaman Cannabis yang mengandung senyawa narkotika (Tetrahidrokanibol/THC) , sehingga dapat menyebabkan ketergantungan mental yang diikuti kecanduan fisik dalam kurun waktu cukup lama. Terdapat tiga jenis ganja, yaitu cannabis sativa, cannabis indica, dan cannabis ruderali. Istilah “ganja” sebenarnya mengacu pada daun, bunga, dan batang dari tanaman Cannabis yang kemudian dikeringkan untuk dijadikan rokok.
Senyawa
narkotika inilah yang membuat ganja menjadi barang illegal untuk diedarkan ke
beberapa negara. Legalisasi terhadap ganja menjadi salah satu perbincangan
publik yang acapkali menuai pro dan kontra di dunia, termasuk di Indonesia.
Mengapa tanaman ganja sangat dilarang di Indonesia? Mungkinkah tanaman ganja dilegalkan
di Indonesia?
Tanaman
ganja menjadi momok permasalahan yang kerap menimbulkan ketakutan di tengah
masyarakat. Kehadiran ganja seringkali distigmatisasi masyarakat sebagai barang
perusak anak bangsa, barang haram,
hingga sumpah serapah negatif lainnya yang membuat mulut berbusa. Stigmatisasi tersebut menggiring pikiran buruk orang dalam memandang ganja dan
mempengaruhi kebijakan terkait peredaran ganja.
Padahal,
stigma tersebut tidak
sepenuhnya benar. Dalam
buku berjudul Hikayat Pohon Ganja yang diluncurkan Lingkar Ganja Nasional (LGN),
dijelaskan bahwa ganja adalah pohon kehidupan karena manfaatnya untuk menopang peradaban manusia, sejak
10.000 tahun Sebelum Masehi (SM) lalu. Seratnya berguna untuk
pakaian dan kertas, sedangkan bijinya bisa menjadi sumber protein dan minyak
nabati. Lalu, dengan berbagai manfaat ganja
tersebut, bagaimana
Indonesia memandang ganja?
Baru-baru
ini, dilansir dari Tempo, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik
Indonesia, Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose mengatakan dengan tegas
bahwa tidak ada wacana pembahasan ganja untuk keperluan medis maupun rekreasi
di Indonesia, walaupun beberapa negara mulai melegalkan tanaman ganja tersebut.
Ia beralasan bahwa negara yang melegalkan ganja masih lebih sedikit (kuantitas) dari negara yang
menolak.
Pelarangan
dalam legalisasi ganja di Indonesia dilandasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika. Di dalam UU
itu, ganja dimasukkan dalam narkotika golongan 1. Larangan peredaran ganja di Indonesia disebabkan
karena dampak buruk yang diakibatkannya. Dampaknya seperti hilang ingatan,
kanker paru-paru, gangguan perkembangan janin, sistem kekebalan tubuh melemah,
dan lain sebagainya
Walaupun demikian, ganja ternyata sangat
berguna untuk keperluan medis, seperti mencegah glaukoma, mengurangi nyeri
kronis, mencegah kejang karena epilepsi, dan manfaat lainnya. Ganja yang
dimaksudkan untuk medis adalah ganja industri atau hemp yang sudah diekstraksi secara genetik, sehingga kadar THC
lebih sedikit dibandingkan CBD. Hal itu sebenarnya sudah termaktub dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang menyebutkan bahwa
penggunaan ganja dilarang, kecuali untuk keperluan medis.
Larangan peredaran ganja di Indonesia ditengarai oleh
satu dua hal, salah satunya biaya rekayasa genetik ganja yang
cukup mahal. Sehingga
penelitian untuk menunjukkan manfaat ganja medis masih nihil ditemukan.
Hal itu diperkuat dengan pernyataan dari Koordinator Kelompok Ahli Badan
Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia, Komjen Pol (Purn) Ahwil Luthan
yang mengatakan bahwa teknologi yang digunakan untuk rekayasa genetik ganja
cukup tinggi dan pastinya sangat mahal. Ia juga menyebutkan bahwa ganja di
Indonesia, khususnya di daerah Aceh memiliki kadar THC sebesar 18 % yang
tentunya sangat tinggi.
Seperti yang tertulis di atas, ganja
medis bukanlah ganja murni, sehingga kadar THC-nya lebih sedikit dari CBD.
Kadar THC inilah yang berbahaya bagi tubuh, sedangkan CBD yang menjadi bagian penting dan
berguna bagi dunia medis.
Selain
biaya rekayasa genetik ganja yang mahal, aturan ketat terkait penggunaan ganja
di Indonesia belum ada.
Selama ini, Indonesia hanya menolak mentah-mentah kehadiran ganja, tanpa melihat manfaat lain dibalik sisi negatifnya.
Selasa 28/6, angina segar berhembus untuk para
perjuang legalisasi ganja medis. Wakil Presiden Republik
Indonesia, Ma'aruf Amin,
meminta MUI untuk menerbitkan fatwa terkait pedoman ganja untuk medis.
Menurutnya, fatwa tersebut bakal menjadi pedoman bagi anggota legislatif dalam
merumuskan aturan mengenai penggunaan ganja untuk medis. Hal tersebut dilakukan
agar regulasi yang akan dibuat tidak menimbulkan kemudaratan.
Penggunaan
ganja untuk keperluan medis di Indonesia menjadi satu hal yang tidak bisa
diremehkan. Beberapa kasus hilanganya nyawa diakibatkan karena pelarangan penggunaan
ganja medis di Tanah Air. Pertama, Musa Ibnu Hassan Pedersen, Musa mengidap Cerebal
Palsy selama 16 tahun. Ia menjalani terapi menggunakan ganja di Australia
dan menunjukkan hasil yang baik. Akan tetapi, karena kondisi ekonomi keluarga
yang tidak memungkinkan meneruskan terapi, Musa dibawa pulang ke Indonesia.
Akhirnya, pada 26 Desember 2020, Musa menghembuskan nafas terakhirnya.
Kedua,
yakni Ibu Santi Warastuti.
Ibu Santi menyurati Mahkamah Konstitusi untuk melayangkan
gugatan soal ganja
medis selama 2 tahun, akan tetapi
sampai sekarang belum menghasilkan putusan yang jelas.
Pika, merupakan anak dari Ibu Santi yang mengidap penyakit sama seperti Musa,
yaitu Cerebral Palsy. Hingga di usianya yang ke 14 tahun, Pika masih sering mengalami kejang karena tidak
memperoleh terapi ganja.
Padahal hal itu sangat dibutuhkannya.
Ketiga, yaitu kasus Fidelis
Arie Sudewarto yang menanam ganja di kebun rumah. Ia menanam ganja bukan tanpa alasan, istrinya,
Yeni Riawati sedang
menderita Syringomyelia. Penyakit
itu mengakibatkan kerusakan tulang belakang dan menyebabkan istrinya lumpuh.
Dan bisa sangat fatal—bahkan kematian—apabila tidak ditangani dengan baik.
Kisah
itu berakhir sendu, Yeni Riawati pada akirnya meninggal dunia. Hal
itu dikarenakan Fidelis dijebloskan ke rumah tahanan (rutan)
sejak 19 Februari 2017
terkait penanaman ganja ilegal. Fidelis merasa
jikalau ia tidak ditahan waktu itu, ia dapat terus memberikan terapi ganja
untuk istrinya, sehingga istrinya tidak akan meninggal dunia.
Pada
akhirnya, lagi-lagi wacana
legalisasi ganja menuai pro dan kontra. Satu sisi, ada yang pro karena bermanfaat untuk
kepentingan medis. Sedangkan
di sisi yang lain
(kontra), ditakutkan
akan ada penyelewengan penggunaan ganja, yang awalnya untuk kebutuhan medis
malah digunakan untuk tujuan rekreasional.
Atas dasar itu, perlu adanya aturan
ketat untuk mengatur ganja di Indonesia, agar pelaksanaannya dapat terkontrol
sesuai tujuan. Sebab, selama ini aturan tentang ganja bukan bersifat ketat, akan tetapi menolak secara utuh.
“Marijuana (cannabis) has been used medicinally for centuries. It has been shown to be effective in treating a wide range of symptoms and conditions.” American Nurses Association
Laurentius Aditya Pradana
Editor: Aisya Puja Ray