Ilustrasi: Galih Setiawan |
Seorang mahasiswa eks-Bidikmisi angkatan 2018 berinisial MNP, hanya dapat tersenyum ketika
melihat tagihan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang didapatnya ketika membuka situs
web tagihan.uny.ac.id. Senyumnya tidak menyiratkan kebahagiaan, melainkan keprihatinan
atas nominal yang tertera pada tagihan tersebut. Ia prihatin mendapatkan UKT
golongan V, yang notabene merupakan UKT dengan golongan cukup tinggi baginya.
Nominal Rp4.200.000,00
terasa mencekik bagi dirinya. Bagaimana bisa ia mendapat UKT sedemikian
besarnya, berbanding terbalik dengan kemampuan ekonomi keluarganya. Tak sanggup
rasanya, ia harus menyediakan uang sebanyak itu dalam waktu yang cukup singkat.
Upah kerja part time selama satu bulan yang ia jalani rasanya pun
tak mampu untuk membayar UKT dengan nominal tersebut. Memang selama ini, ia
harus ikut bekerja dengan menjadi pegawai di warung soto untuk meringankan
beban kedua orang tuanya. Ayahnya hanya bekerja sebagai buruh serabutan dengan
upah tak menentu dan ibunya merupakan seorang ibu rumah tangga, tentu tak akan
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan juga kebutuhan kuliah bagi
dirinya. Sehingga ia perlu mencari tambahan uang selain dari living cost Bidikmisi
untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
Serupa dengan MNP, R yang
juga merupakan mahasiswa eks-Bidikmisi merasa terkejut ketika melihat nominal
UKT cukup besar di laman tagihan.uny.ac.id. Sama seperti MNP, R juga
mendapatkan UKT Golongan V. Ia merasa heran dengan nominal tersebut karena
menurutnya tidak sesuai dengan kondisi ekonomi. Survei kondisi ekonomi ia rasa
sudah isi dengan sejujur-jujurnya dengan kondisi ekonomi keluarganya. Ia merasa tak
sanggup dengan kondisi ekonominya yang sekarang harus membayar nominal UKT
tersebut. Sejak ayahnya tiada, ekonomi kehidupan keluarganya hanya bertopang dari
penghasilan ibunya sebagai guru TK (Taman Kanak-Kanak) honorer. Ibunya hanya mendapatkan gaji
Rp300.000,00/bulan. Melihat nominal gaji ibunya selain untuk membiayai hidup
sehari-hari, rasanya juga tidak masuk akal mampu untuk membayar UKT golongan V juga.
Muncul stigma bahwasanya
mahasiswa Bidikmisi ini suka foya-foya. Menyalahgunakan uang beasiswa hanya
untuk kesenangan semata. Hal ini dapat dilihat di beberapa postingan menfess UNY
terkait mahasiswa Bidikmisi. Tak jarang, postingan seperti ini, pada akhirnya hanya
berujung debat kusir dan ajang adu nasib. Namun, masalah foya-foya dan
gaya hidup hedon justru tak nampak dalam kehidupan keduanya. Jangankan berpikir
untuk foya-foya, memenuhi kebutuhan kuliah saja masih harus memutar otak, memikirkan
cara agar tidak membebani orang tua dengan ikut bekerja part time.
Survei Ekonomi, Formalitas Ala Birokrasi
Senin 11 Juli 2022,
Aliansi Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) melakukan aksi di depan
gedung Rektorat. Seraya membentangkan spanduk yang bertuliskan aspirasi dan
keresahan mahasiswa, serta tak lupa secara bergantian dari mereka berorasi.
Salah satu isu yang dibawa ialah mengenai tingginya UKT Mahasiswa eks-Bidikmisi
tahun 2018.
Tak lama berselang,
sekitar 15 menit, massa aksi beranjak menuju selasar Rektorat. Mereka disambut
oleh pihak Rektorat, salah satu diantaranya ialah Wakil Rektor 2 (WR-2) Bidang
Umum dan Keuangan, Edi Purwanta.
Perwakilan massa aksi
mempertanyakan penentuan UKT bagi mahasiswa Eks-Bidikmisi yang dinilai cukup
tinggi. Namun, jawaban terlontar dari WR 2 dirasa kurang memuaskan. Beliau
hanya menjawab dengan pengalamannya ketika melakukan survei secara langsung
mahasiswa Bidikmisi. Dalam survei tersebut, WR 2 mendapati oknum mahasiswa
Bidikmisi justru memiliki dua traktor di rumahnya. Hal ini dinilainya sebagai
pemalsuan kondisi ekonomi.
Temuan satu atau dua
kasus tidak dapat menggambarkan keseluruhan kondisi ekonomi mahasiswa
eks-Bidikmisi. Seperti penuturan salah seorang mahasiswa eks-Bidikmisi yang
masih mempertanyakan penetapan UKT yang didapatnya.
“Saat itu saya (mahasiswa baru) mendapat UKT gol II. Padahal pengisian kondisi ekonomi kala itu dan (kondisi) sekarang sama persis. Mengapa tiba-tiba dapet gol V? Kan beda jauh”
Gap UKT
yang besar sebelum menerima Bidikmisi dan pasca Bidikmisi dengan kondisi
ekonomi sama atau lebih buruk karena pandemi menjadi tanda tanya disini. Seperti
penuturan dari eks-Bidikmisi yang enggan disebutkan namanya.
“Ekonomi keluarga saya
menurun akibat dampak pandemi Covid-19. Ayah saya selaku tulang punggung
keluarga harus menanggung enam anggota keluarga yang tiga diantaranya masih
bersekolah. Dengan pendapatan Rp1.750.000 perbulan dan masih ada tanggungan utang yang belum dibayarkan.”
Pandemi Covid-19 dua
tahun berlangsung, berujung pada gelombang PHK besar-besaran, menyebabkan
orang-orang menjadi pengangguran. Seperti data yang dihimpun oleh
Philosofis, mayoritas orang tua, terutama ayah dari mahasiswa Bidikmisi ini
sudah tidak bekerja lagi karena di PHK atau pun harus bekerja serabutan dengan
hasil tak menentu. Belum lagi, terdapat beberapa mahasiswa yang terpaksa menjadi
tulang punggung keluarga. “Saya bekerja di warung kecil dibayar Rp15.000 per hari. Beban utang orang tua saya sangat banyak. Sertifikat
tanah digadai di Bank BRI.” Ucap HO, mahasiswa eks-Bidikmisi kepada Philosofis
pada Sabtu(9/7)
Selain nominal yang
tinggi, mahasiswa eks-Bidikmisi juga mengeluhkan waktu pembayaran UKT yang terlalu
singkat. Mereka merasa sulit untuk mengumpulkan uang sedemikian banyak hanya
dalam waktu beberapa pekan saja. Jalan satu-satunya, mereka harus berutang,
meskipun kondisi keuangan keluarganya juga sudah terlilit dengan utang. Tak
jarang, beberapa mahasiswa Bidikmisi juga menggunakan uangnya untuk membayar
utang. Seperti kondisi yang dialami oleh eks-Bidikmisi kepada Philosofis.
“Uang Bidikmisi saya, sebagian besar digunakan untuk membantu membayar utang orang tua. Perbulannya ditagih Rp700.000”. Penjelasan lebih lanjut HO kepada Philosofis
terkait uang Bidikmisi yang ia gunakan.
Memang sulit rasanya
ketika melihat kondisi keluarga terlilit utang. Ada rasa dalam diri ingin
membantu, hingga akhirnya uang Bidikmisi pun digunakan untuk membayar utang.
Bukan bermaksud menyalahgunakan uang beasiswa tersebut. Hanya saja, kondisi
ekonomi memaksa mereka untuk melakukannya. Utang-utang tersebut juga sebagian digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kuliah.
Para mahasiswa eks-Bidikmisi tersebut bertanya-tanya, lantas apakah pihak kampus asal-asalan dalam
menentukan UKT tersebut, tanpa melihat isi angket kondisi ekonomi yang ia
tulis. Dalam salah satu isian juga mengandung kejanggalan, seperti yang
disampaikan oleh eks-Bidikmisi kepada Philosofis.
“Kejanggalan terletak
pada data sosial ekonomi kepemilikan emas dan hewan ternak yang tidak bisa
diisi Rp. 0 padahal banyak yang tidak memilikinya.” Tuturnya kepada Philosofis
(10/7).
Saat ini, para mahasiswa eks-Bidikmisi masih diselimuti rasa gelisah. Menunggu kabar tak pasti tentang nasib mereka.
Menunda terlebih dahulu kelulusan dengan mengambil cuti, atau tetap melanjutkan
studinya dengan mencari dana seadanya—berutang untuk membayar UKT-nya—dari
orang lain.
Berulangkali Audiensi,
Informasi Nasib Eks-Bidikmisi Masih Tak Pasti
Terdapat organisasi sebagai wadah aspirasi dari mahasiswa Bidikmisi di UNY, organisasi tersebut ialah FOMUNY. “FOMUNY (Family of Mahadiksi UNY) merupakan forum yang berfokus pada ranah sosial kemasyarakatan dan menjadi wadah serta pusat informasi bagi mahasiswa Bidikmisi dan KIP-K di UNY.” Penjelasan Kepala Divisi Koordinator Family of Mahadiksi UNY (FOMUNY) 2022 kepada Philosofis. Lebih lanjut, adapun fungsi lain dari FOMUNY adalah menyalurkan aspirasi dan mewadahi pengembangan potensi mahasiswa Bidikmisi dan KIP-K.
FOMUNY andil dalam
melakukan advokasi ketika mendengar kabar permasalahan eks-Bidikmisi tersebut. Kepala
Divisi Koordinator Fakultas FOMUNY menjelaskan bahwa mereka telah menyebarkan
angket untuk menjaring aspirasi. Hasil dari angket tersebut, akan mereka
paparkan ketika beraudiensi dengan pihak rektorat bersama Advokesma (Advokasi Kesejahteraan Mahasiswa) BEM KM.
Hasil dari audiensi 4 Juli 2022 tersebut, pihak rektorat menyepakati untuk memberikan keringanan UKT,
perpanjangan pengajuan keringanan UKT, dan peninjauan ulang bagi mahasiswa eks-Bidikmisi. Selain itu, dari pihak FOMUNY dan Advokesma juga diberikan amanah
untuk menghimpun data. “Hasil audiensi yang kami lakukan ialah bagi mahasiswa eks-Bidikmisi yang tinggal skripsi bisa mengajukan keringanan 50%. Sementara bagi mahasiswa yang sudah mengajukan keringanan tersebut dan masih tidak mampu bisa mengajukan angsuran.” Terang Kepala Divisi Koordinator Fakultas FOMUNY kepada
Philosofis melalui telepon (13/7).
Setelah audiensi
tersebut, FOMUNY mendengar kabar terdapat audiensi terbuka yang dilakukan oleh
pihak lain—Mahasiswa UNY yang berdemo pada 11 Juli 2022—di Rektorat UNY.
“Kami mengkonfirmasi ulang kebenaran hasil audiensi terbuka dari pihak lain tersebut ke Koordinator Keuangan, karena hasilnya berbeda dengan audiensi yang kami lakukan”. Jawabnya
kepada Philosofis. Dijelaskan lebih lanjut, masih menunggu keputusan dari
Rektor mengenai perbedaan hasil dari kedua audiensi tersebut.
Pada audiensi terbuka, WR
2 menyepakati untuk memberikan kembali UKT terendah yakni golongan I bagi
seluruh eks-Bidikmisi. Sedangkan untuk audiensi bersama FOMUNY, rektorat memberikan
pengajuan keringanan dan angsuran UKT bagi eks-Bidikmisi. Keduanya bersepakat
untuk melakukan peninjauan ulang kembali penetapan UKT yang telah ada. Namun,
belum ada informasi pasti pelaksanaannya.
FOMUNY sendiri berharap
bahwa eks-Bidikmisi tetap akan mendapatkan keringanan untuk masalah UKT seperti
pada tahun-tahun sebelumnya.
“Mahasiswa eks-Bidikmisi bisa mendapat keringanan dalam menyelesaikan studinya, misalnya pemberian UKT yang rendah. Sehingga tidak menghambat studi mereka yang kebanyakan tinggal menyelesaikan skripsi.”. Jelasnya terkait perlunya
keringanan UKT bagi eks-Bidikmisi.
Hingga tanggal 16 Juli, tagihan bagi eks-Bidikmisi belum berubah seperti yang disepakati di
audiensi terbuka. Salah satu mahasiswa mengatakan informasi audiensi tersebut
ke bagian keuangan. Namun, staf di keuangan mengaku belum mendapatkan
informasi mengenai hal tersebut. Belum ada kepastian hasil audiensi terakhir
akan segera diimplementasikan. Para mahasiswa masih menunggu Surat Edaran (SE)
terkait penurunan UKT bagi eks-Bidikmisi. Mengingat, pihak rektorat memberikan
tenggat waktu pembayaran hingga 25 Juli.
Harapan Eks-Bidikmisi di
Akhir Masa Studi
Pemberitahuan nominal UKT
dan tenggat waktu pembayaran yang pendek, memunculkan asumsi liar di kalangan
mahasiswa eks-Bidikmisi. “Hal itu mencerminkan kampus tidak memberi ruang bagi kami untuk bernegosiasi terhadap pemberitahuan tersebut karena singkatnya deadline pembayaran”. Ucap informan yang enggan
disebut namanya kepada Philosofis terkait beredarnya asumsi liar semacam itu
(9/7).
Di lain sisi, keruwetan
dan simpang siur informasi dari birokrasi, membuat eks-Bidikmisi seperti
ditelantarkan dan tak didengar. “Saya hanya lelah sudah berjuang baik bolak
balik jurusan-fakultas-rektorat sendirian, jurusan angkat tangan, fakultas
angkat tangan, rektorat pun tidak 1 suara”. Penuturan dari eks-Bidikmisi
yang berjuang mencari kejelasan atas nasib studinya(10/7).
Informasi yang dihimpun
oleh Philosofis, mayoritas mahasiswa eks-Bidikmisi satu suara bahwa UKT lebih
dari golongan III itu berat bagi mereka. Jangankan lebih dari itu, golongan III saja masih terasa berat bagi sebagian mahasiswa eks-Bidikmisi.
“Rerata mereka merasa keberatan untuk membayar UKT tinggi yang didapat. Sehingga mereka meminta keringanan ataupun perubahan kebijakan, agar tetap dapat menyelesaikan studi di UNY.”
Terang Kepala Divisi Koordinator FOMUNY kepada Philosofis.
Miris, ketika sampai saat
ini belum keluarnya SE resmi terkait permasalahan UKT mahasiswa eks-Bidikmisi.
Padahal permasalahan ini sangat pelik dan butuh penyelesaian secepat mungkin,
karena ratusan mahasiswa eks-Bidikmisi angkatan 2018, bergantung pada keputusan
rektorat. Sulit rasanya membayar UKT yang tinggi, di tengah kewajiban mereka
untuk mencari tambahan nafkah bagi keluarganya.
Hingga 18 Juli 2022,
belum ada kejelasan terkait UKT mahasiswa eks-Bidikmisi. Audiensi kembali
dilakukan, mempertanyakan nominal tagihan yang belum berubah, padahal pada
pertemuan sebelumnya Wakil Rektor II (WR 2) telah berjanji meratakan tagihan
UKT seluruh mahasiswa menjadi golongan I.
WR 2 mengatakan sudah
menginstruksikan untuk dilakukan penurunan UKT golongan I hingga semester 10
bagi mahasiswa eks-Bidikmisi. Bagi yang belum mampu melakukan pembayaran hingga
tanggal 25 Juli, akan diberikan tenggang waktu hingga 29 Agustus. Namun,
terlebih dahulu melakukan konfirmasi kepada bagian keuangan.
Selain itu, akan ada
skema pengembalian UKT bagi yang sudah terlanjur membayar. Untuk yang
mengajukan cuti karena alasan terkendala biaya, dapat membatalkan pengajuan
cutinya di sistem dengan syarat hanya sisa tugas akhir saja.
Masih ada rasa pesimis di
benak mahasiswa eks-Bidikmisi dari hasil audiensi tersebut. “Kami masih menunggu Surat Edaran (SE) untuk kejelasan pembayaran UKT ini. Jika hanya keluar dari mulut saja kami khawatir janji tersebut hanya sekedar janji manis saja”. Ucap salah satu eks-Bidikmisi terkait hasil audiensi
tersebut (18/7).
Harapan mahasiswa eks-Bidikmisi, rektorat terkhusus WR 2 menepati janjinya terkait penyelesaian
biaya pendidikan ini, karena masa depan mereka bergantung pada bagaimana
persoalan ini diselesaikan. Apabila UNY tetap tak mendengar aspirasi mereka,
rasanya kecil sekali kesempatan mahasiswa eks-Bidikmisi untuk tetap melanjutkan
pendidikan di UNY karena tak mampu membayar UKT, padahal perjuangan mereka
segera mencapai garis akhir menuju kelulusan.
Ahmad Nur Alamsyah
Editor: Aisya Puja Ray