Ilustrasi: Adam Yogatama |
1.
Jadi banyak grup WhatsApp (WA)
Tentu saat perkuliahan daring, grup WA menjadi solusi ketika mengkoordinasikan
perkuliahan. Namun, jangan bayangkan hanya satu sampai dua grup WA, seluruh
mata kuliah punya grup masing-masing, belum lagi grup kelas, angkatan,
organisasi dan yang lain. Bayangkan ada berapa grup WhatsApp (WA) yang ada,
betapa ruwet-nya jika saya membuka WA, dan jujur mata saya pedes
nyimaknya. Malasnya lagi jika semester sudah berakhir. Harus keluar dari grup
mata kuliah, nge-scrollnya bikin pegel
jari dan pedih mata sharingan saya. Tapi masih mending sih, daripada scroll
chat mantan (btw kalo scroll chat mantan menyiksa hati gengs, nggerus).
2. Diskusinya tidak jalan begitu baik
Selayaknya kuliah pada umumnya, perkuliahan daring juga tidak
terlepas dari diskusi dan bertukar
pikiran. Tetapi, menurut saya tidak terlaksana secara maksimal. Dimulai saat
pemberitahuan di grup WA mata kuliah saja sudah terlihat tidak berjalan dengan
baik. Ada yang telat menyimak, ada yang
tidak buka handphone, ada yang tidak on WA-nya, bahkan ada yang
masih memeluk “mimpi”-nya. Jadi kayak
gimana gitu. Perkuliahan melalui platform google meet atau zoom pun sepi, krik-krik.
Bukan tukar pendapat yang di dapat, malah kayak cosplay manusia silver di lampu
merah, upss.
Satu hal yang lumrah bila saat perkuliahan terjadi tanya jawab. Lalu
di tengah kuliah, biasanya muncul pertanyaan-pertanyaan yang bikin
mengernyitkan dahi, “opo iki cok.”
Apalagi jika keluar dari pembahasan materi, saya jadi agak pusing mendengarnya,
tapi yo gapapa, soalnya saya sering ketiduran. Nah, yang paling membuat
saya ketar-ketir ketika dosen tanya balik ke mahasiswa, itu rasanya
kayak ditodong tentara Orba. Di saat suasana mencekam, biasanya ada teman
sekelas yang menjadi messiah satu kelas—menjawab. Sedangkan yang lain nampaknya
meniru satpam UNY ketika ada represi saat aksi, diam tak bereaksi (termasuk
saya, hihihi). Mungkin rasa ketar-ketir itu muncul karena
mahasiswa takut salah jawab. Tapi, bukannya hal itu yang menjadi evaluasi
pengajar ke depannya, bagaimana memunculkan iklim diskusi yang nyaman. Bukan
kalau salah jawab langsung dituduh tidak belajar, kan takut Pak/Bu.
3. Sering terdapat kesalahpahaman
Ini kerap terjadi, antara dosen dengan mahasiswa, mahasiswa dengan
mahasiswa, bahkan dosen dengan dosen. Kondisi daring ini membuat komunikasi syulit karena jarak jauh. Hal ini sering
terjadi saat penyampaian materi dan tugas, dosennya bilang A, mahasiswa
menafsirkannya B. Dan terjadilah suatu tragedi. Saat itu dosen memberikan
intruksi penugasan yang kurang jelas, dan teman sekelas saya bertanya ulang.
Eh, lhadalah, dosennya malah keluar dari
google meet, sepertinya ngambek. Lah, salah kita apa, kan udah
nanya baik-baik, malah semakin bingung dibuatnya.
Selanjutnya, ketika mata kuliah diampu dua dosen sekaligus. Sering
terjadi kekacauan materi. Penjelasan materinya berubah-ubah, pun penugasannya.
Apa mungkin dosennya ga se-circle, jadi komunikasinya kurang, hmm
bisa jadi. Yang terakhir, ketika absen. Beberapa dosen biasanya ngebut menyebut
nama mahasiswanya. Kayak rapat RUU
Omnibus Law. Dosen itu tidak peduli sinyal mahasiswanya jelek atau kuota
mahasiswanya lagi tipis. Lebih parahnya lagi, pengabsenan itu cuma satu
kali, jadi kasian yang ga jawab gara-gara sinyal jelek tapi
dianggap ga masuk. Terkadang saya merasa iba dan ingin menagis
tersendu-sendu melihat teman-teman itu.
4. Kuota Bantuan Internet Ga
Turun-Turun Cuyy
Kuota internet menjadi suatu hal penting dalam perkuliahan jarak
jauh ini. Tak kalah pentingnya seperti Pancasila bagi hidup saya, huaahahaha. Jadi, kalau tidak ada
jaringan internet, ya ga kuliah dong. Dengan tuntutan harus ada
jaringan internet setiap saat, maka kelompok miskin dan bukan pemakai indierumah
seperti saya ini perlu bantuan kuota internet. Karena kalo pakai uang sendiri,
tentu menjadi semakin miskin. Kampus pun memberi bantuan kuota, tapi yang saya
heran adalah lambat turun. Turunnya itu bisa sebulan dari pengisian data nomor handphone,
padahal saya bayar UKT juga tepat waktu, selalu full dan nggak pake ngangsur.
Kok iso yo? YA NDAK TAU KOK TANYA SAYA (bayangin pak jokowi yang
ngomong kayak gini, pasti lucu). Masih menjadi misteri kenapa bantuan kuota
turunnya lambat, hmm tapi nggak heran
sih, soalnya penanganan kekerasan seksual di UNY juga lambat,
HAHA.
5. Teman kelompok yang cuek
Menurut saya, ini yang menjadi masalah utama, fundamental, dan
puncak problematika dari kuliah online. Pernah dong ketemu teman
sekelompok yang tanpa kontribusi? (Kaya birokrasi, xixixi) ya sering lah. Mau
ditulis namanya tapi kok ga ngapa-ngapain, ga ditulis kok
kasihan. Saya menyebutnya, paradoks kerja kelompok. Orang kayak gini biasanya ga
ngerasa kalo dia punya tanggung jawab tugas. Kalo diskusi ga ikut, dibagi
tugas yang ringan ga dikerjain, eh bisa-bisanya update snapgram baru nongkrong atau pacaran, yang membuat jiwa
jomblo saya meronta-ronta (mungkin saya iri kali ya). Untuk orang kayak gini,
tolong! anda itu kuliah pake duit orang tua heyyy, jangan seenaknya, BLOKK
(pake nada Tretan Muslim) atau mungkin anda anak pejabat ya? Duitnya ga
habis habis, bisa beli skripsi, hiya hiya chuakksss.
Sebenarnya masih banyak hal yang menyebalkan
di UNYeah, tapi takut, ah. Nanti dituduh ga bersyukur sama yang dikasih kampus.
Dengan pengumuman resmi kuliah offline, harapannya tugas kelompok lebih
minim, dan perkuliahan lancar. Tapi, itu masih harapan dan cita-cita.
Kuliah luring tentu butuh kelas, tapi jangan
sampai ruang kelasnya kurang, lho. Soalnya UNY ini seneng banget naikin kuota
mahasiswa tiap tahun. Apalagi kuota yang paling banyak itu jalur mandiri.
Kampus ini paling girang kalo mahasiswanya bayar uang pangkal di atas 20 juta
bahkan sampai 100 jutaan, panen duit nihh ya ga? HAHAHA. Harapan terakhir,
semoga teman yang cuek jadi lebih perhatian lagi dan berkontribusi ketika kerja
kelompok. Satu hal lagi, jangan lupa kasih kabar misal terkendala. Jangan
tiba-tiba ngilang kayak doi, eh malah curcol dong. Itulah
beberapa alasan menyebalkannya kuliah online di UNYeah ini, dan saya
ucapkan "welkom kulyeah luring". Secara keseluruhan, kuliah online
itu menyenangkan bukan? BUKAN.
Kartiko Bagas
Editor: Zhafran Naufal Hilmy