Ilustrator : Erico Aby Pratama |
Harapan Selembar Daun
Aku selembar daun
terakhir di reranting ini
Setelah musim
panas menjejali bumi, aku beningkan hati
Rahim suci yang
melahirkanku telah lama mengering, barangkali badai yang esok bertandang kan
mempercepat nyawanya tumbang
Aku selembar daun
terakhir di reranting ini. Tak henti-henti angin menghajarku
Jutaan peluru
hujan menikam-nikam. Aku pernah bermimpi menganyam serat dedaunan
Namun semua alpa.
Bunga-bunga yang dulu ku asuh kini telah memadatkan ruhnya pada embun subuh. Tiap
waktu ku tata detak jantungku. Agar kematian menyesuaikan irama degupnya.
Ruh yang Belum Ditiup Ke Tubuhmu
Aku masih sedia di sini, sampai fajar hari
menyingsing. Kegelapan baru saja dinyalakan
Tak ada hanya menerka-nerka jemputan itu tiba.
Saban malam ku lukis cahaya. Aku takkan rapuh sebelum merasuk ke tubuhmu.
Sebagai intan permata. Banyak orang di luar sana membual, cinta ditafsirkan
dengan tidak semestinya. Rasa kesal bermukim di sini, aku mengamati
gerak-geriknya. Terkantung di luar jendela, rumah yang kelak milik kita
Ada nubuat dan firman yang sampai padaku,
masih sama. Samar dan tak terjangkau. Ada keheningan yang di susupkan ke
tubuhmu bikin aku cemburu, hendak ku beringsut mendekatimu tapi makin dekat
denganmu makin lunglai aku
Waktu mengikis aku, waktu menjebakku, terkutuk
kau waktu
Cempaka
Telah sampai aku
gugur padamu kekasih, jutaan hari aku lalui mendongak ke matahari atau sekedar
memandang lengkung pelangi selepas gerimis kecil yang menyalip bunga-bunga
sekitar sini
Telah aku
pegangkan kelopak juga sari-sari. Aku memimpikan Pantai Wonosari juga burung
kuntul di pematang sawah yang menerjang ani-ani
Semburat matahari
telah menawarkan padaku; udara harum serta perempuan-perempuan dengan dada
ranum
Iradat: Karena
Buat Dwi
Hartini
Karena aku mencintaimu; maka setiap senja
ku lukis wajahmu di udara
Pelupukmu mengerjap seperti matahari,
desah napas yang harum itu merangkai kebahagiaan dari satu pulau ke pulau
lainnya mengitari dunia. Karena aku mencintaimu maka ku sisihkan kabut-kabut
itu agar lembah dan tanah menumbuhkan bunga di atasnya, untukmu saja.
Karena aku mencintaimu, maka ku pandang
wajahmu dengan cinta, meski hanya wajah yang terpantul dari telaga atau bunga
mimpi semata
Di samping daun-daun kemuning yang
tanggal, di pinggir telaga yang tenang arusnya. Ku sebut namamu dengan suara
yang penuh rindu
Karena aku mencintaimu, manisku, dengan
cuaca berwarna biru
Don
Quixote, Sebuah Amsal
Kuda itu tak pernah lelah kau pacu,
menembus sabana gersang dan guyuran matahari kerontang
Dan kuda itu terlepas dari dekapan,
mengembara ke lain samudera, benua bahkan antariksa
Langit yang tiba-tiba kesumba, bentang
alam terjelma seekor kuda meringkik dalam terpaan debu-debu, serta qolbu yang
melebar seluas lembaraan awan. Bintik kecil yang tergencet. Dunia memang
senantiasa menyuguhkan duka lara, resah gelisah. Bebauan kirmizi serta numinous
yang suci. Aku melihatmu datang dari ujung Alabasta, gurun yang penuh rahasia.
Haiku: Bahang
Bahang
hatiku, gersang, dan kering
Tiap
jengkal tubuhku mencecap sunyi; tanpa ampun,
Dari
mata-mataku memancar duka yang asing
Aku
ingin mengenal salju dan telaga; aku ingin mengenal dedaunan dan persik
matahari; aku ingin mengenal hujan dan huruf-huruf puisi
Hisyam Billya Al-wajdi
Editor :Rachma Syifa Faiza Rachel