Pohon Randu di Randu Alas Wadas, Purworejo, Sabtu (12/02). Philosofisonline.id/Yoga Hanindyatama. |
Di Desa Wadas ada sebuah mitos. Tentang pohon dan alas yang dikeramatkan. Ini bermula dari petuah leluhur yang menjadi hukum hidup dan mati bagi mereka. Seakan-akan apabila dilanggar akan terjadi pertumpahan darah dan kehancuran desa. Sebab pendahulu mereka menyelaraskan relasi manusia dan alam, serta Tuhan. Celakanya, rencana penambangan batuan andesit mengancam keselarasan lingkungan hidup Wadas.
Lantas, mitos seperti apa yang hidup di Bumi Wadas selama ini?
Jalan itu kadang terjal, berbidang sempit, dan beberapa bagian aspal telah usang. Bahkan beberapa jalur berbatasan langsung dengan jurang. Jumat, 11 Februari 2022, sekitar pukul 14.15 WIB wartawan Philosofis dalam rombongan motor melintas perlahan. Saat memasuki Desa Wadas yang berjarak kurang lebih 4-5 Kilometer dari Jalan Purworejo-Salaman, suasana begitu senyap. Banyak pintu rumah warga yang tertutup rapat. Rumah-rumah ditinggalkan, sebagian warga berkumpul di Masjid Hidayatul Islam karena kedatangan tenaga ahli Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Sementara sebagian warga yang lain mengungsi keluar dari desa. Mereka masih belum beranjak dari ketakutan terhadap kekerasan serta pengepungan oleh aparat kepolisian yang terjadi pada Selasa, 8 Februari 2022.
Ketika wartawan Philosofis tiba di Masjid Hidayatul Islam, langit nampak mendung dan waku semakin beranjak sore. Suasana Masjid itu nampak ramai. Beberapa orang warga memadati serambi masjid, sementara sisanya lagi di luar karena penuh. Perhatian mereka tertuju pada Yohanes Joko yang memimpin rombongan tenaga ahli KSP. Kedatangan perwakilan KSP itu untuk mencari keterangan tentang apa yang sebenarnya terjadi di Desa Wadas. Keterangan itu menurut Joko kemudian akan disampaikan kepada Presiden Jokowi.
Warga Wadas sempat heran dengan kedatangan para tenaga ahli KSP itu. Pasalnya, mereka datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
“Bapak-Ibu, mohon maaf, kami ke sini tanpa pemberitahuan. Harusnya kami yang memberi wedangan (suguhan),” ucap salah satu anak buah Yohanes.
“Silakan Bapak-Ibu menyampaikan unek-uneknya. Kami akan menampung semua informasi untuk disampaikan langsung kepada Presiden,” kata Yohanes menambahkan.
Satu persatu Warga Wadas lalu menyampaikan aspirasinya. Dengan nada sedih, bercampur tangis, kadang juga amarah, mereka menegaskan menolak tanah Desa Wadas untuk ditambang.
Lalu, tibalah giliran seorang warga yang bernama Rozi dalam kerumunan di serambi masjid, mengungkapkan salah satu alasan mengapa mereka tetap bertekad mempertahankan tanah.
“Semua desa mempunyai mitos, Pak,” mulainya.
“Silakan diterima atau tidak apa yang saya sampaikan ini,” lanjutnya. “Masyarakat Wadas—khususnya yang menolak tambang—mempunyai alasan irasional yang dipegang teguh. Yakni soal Alas Sedudo dan Randu Alas. Menurut nenek moyang kami, apabila tanah Randu Alas dan Sedudo diusik, apalagi sampai memotong kayu (pohon) Randu Alas. Maka hal tersebut menjadi awal kehancuran dan pertumpahan darah di bumi Wadas,” ucapnya Rozi dengan nada tegas.
“Betul!” teriak warga lain bersautan diiringi dengan gemuruh tepuk tangan.
Mereka yang Mempercayai Mitos
Fahrul Rozi, setelah menyampaikan aspirasinya di depan KSP keluar dari serambi Masjid. Wartawan Philosofis kemudian menyusulnya untuk menceritakan lebih soal mitos Randu Alas dan Alas Sedudo.
“Ketika umur 15 tahun,” mulainya. “Orang tua saya bercerita, kalau Randu Alas ini sampai dipotong, maka akan ada pertumpahan darah. Sebenarnya selain menolak quarry, masyarakat juga mempercayai mitos ini. Namun, mereka tidak menyuarakannya, sebab takut dikira mempercayai takhayul.”
Pria tersebut menceritakan penduduk setempat yakin akan mitos yang telah lama hidup berdampingan dengan mereka. Kebanyakan percaya Randu Alas dan Alas Sedudo merupakan tempat yang terhormat. Bahkan orang luar desa tak jarang datang hanya untuk melakukan ritual di lokasi tersebut.
Randu Alas amat berarti bagi desa Wadas. Warga menjaga kelestariannya, keselarasannya, dan merawat keberlangsungan hidup. Petuah leluhur tersebut ada bukan tanpa alasan, sebab mereka memberi pesan agar hutan Wadas tetap lestari demi anak cucu kelak.
Randu Alas sendiri merupakan sebuah pohon randu dengan ukuran yang sangat besar. Awalnya pohon itu hidup di atas tanah satu orang. Hingga akhirnya, diameter pohon itu berkembang hingga merambah ke tanah warga yang lain. Kini, pohon itu menempati bidang tanah milik tiga orang.
Tak jauh berbeda dengan kisah yang dituturkan Fahrul, mitos tersebut juga dipercaya oleh Andri. Seorang pemuda, yang saat diwawancarai oleh wartawan Philosofis sedang berkumpul bersama teman sebaya di serambi masjid. Awalnya dia kebingungan karena tidak yakin untuk bercerita. Tetapi setelah beberapa saat ia mulai bertutur.
“Kalau saya belum berani datang ke Sedudo, kata orang tua saya tidak boleh ke sana. Horor, katanya juga ada yang mengambil batu (di Randu Alas) dan anehnya batu itu kembali lagi ke tempat semula.”
Wartawan Philosofis kemudian beralih bertanya kepada Giman dan Sodiq. Masing-masing berusia sekitar 60 tahun dan 52 tahun. Dalam pernyataannya dia mengaku—sama halnya pemuda Andri—ia juga tidak begitu memahami tentang mitos Randu Alas dan Sedudo.
“Kalau saya kurang jelas ya, tapi menurut orang tua dulu itu ada yang mrimpeni (mendatangi dalam mimpi). Kalau kayu pohon itu dipotong—Randu Alas—penduduk sini (Wadas) bisa tumpas semua.”
Sementara itu Sodiq berkomentar pendek.
“(Randu Alas dan Alas Sedudo) angker, banyak dhemit (setan)-nya,” katanya
Kendati tidak memberi alasan yang jelas, mengapa tempat itu angker dan banyak dhemit, ia tetap takut.
Menyambangi Randu Alas
Sore itu pukul 17.30 WIB, masih hari Jumat, 11 Februari, Kamim melarang wartawan Philosofis untuk datang langsung ke sumber mitos. Menurut Kamim, bagi orang luar Wadas yang hendak ke Randu Alas dan Alas Sedudo, pantang hukumnya berkunjung ke lokasi saat langit mulai gelap. Terlebih jalan menuju lokasi keramat itu sulit ditempuh.
“Besok saja, Mas, sudah sore. Takut ada apa-apa kalau ke sana sekarang,” ujarnya yang kemudian membuat wartawan Philosofis mengurungkan niat.
Esok harinya, Sabtu, 12 Februari 2022, dengan diantarkan Kamim wartawan Philosofis melihat langsung keberadaan Randu Alas.
Jalan menuju Randu Alas memiliki medan yang sulit ditempuh dan berisiko tinggi. Sebab jalan tersebut berbidang sempit, berlumut, dan curam. Pohon-pohon berjejeran di sepanjang jalan. Jenisnya beragam, mulai dari kelapa, durian, rambutan, jati, dan masih banyak lagi.
Di tengah perjalanan, karena akses tidak memungkinkan untuk diteruskan menggunakan kendaraan, kami berhenti dan memarkirkan motor. Kami melanjutkan berjalan kaki sejauh kurang lebih 100–200 meter dan sampai di Randu Alas.
Berjarak tujuh sampai delapan meter dari pohon Randu yang dimaksud, wartawan Philosofis ditahan untuk tidak mendekat. Kamim dengan seorang warga lain sedang “memohon izin” lebih dahulu di bagian bawah pohon. Gerak-geriknya seperti berdoa.
“Sampeyan ning kene sek yo aku tak jaluk ijin, ben podo-podo ngehormati (Anda di sini dulu [jangan mendekat] aku mau meminta izin, biar sama-sama menghormati)”
Menuruti permintaan Kamim, wartawan Philosofis hanya menunggu dari kejauhan. Terlihat, Kamim sedang menundukkan kepala sembari merapal, memohon izin karena ada orang luar yang datang.
Setelah Kamim selesai berdoa, wartawan Philosofis menanyakan apa yang dilakukan olehnya. Kamim menjawab, tidak ada doa khusus, hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan.
“Yo ora ono, Mas, mung njaluk pangestu, nguri-uri budoyo (ya tidak ada, Mas, cuma minta restu, sebagai bagian dari melestarikan budaya)”
Pohon Randu Alas menjulang tinggi di antara pohon di sekitarnya. Terlebih pohon randu itu memiliki diameter paling besar dan dibaluti oleh satu kain mori putih yang panjang serta tiga selendang batik.
Kamim menjelaskan, tidak ada ukuran pasti mengenai luas diameter pohon tersebut. Ia memperkirakan, setidaknya butuh rentangan tangan tiga orang untuk memeluk batang pohon tersebut.
Soal mitos Randu Alas, menurut Kamim, sulit dicari tahu kejelasannya karena pohon ini tidak sebagai tempat penyembahan. Sehingga tidak ada juru kunci khusus yang menjaga. Warga secara gotong-royong merawat pohon ini.
“Randu Alas bukan barang pepunden (sesembahan), ini dijaga semua warga desa.”
Meski demikian, menurut Kamim, “Orang-orang dari luar daerah sering kesini, contohnya dari Magelang, Kajoran, dan Gunung Sumbing. Tujuannya tidak diketahui, entah itu pesugihan atau apa. Bagi warga terserah mereka memiliki maksud apa, asal tidak mengajak dan menghasut warga Wadas. Kedatangan mereka paling satu atau beberapa orang. Memang dahulu sempat digunakan sebagai bertapa lurah pertama, hingga beberapa tahun berlalu, kini sudah pergantian lurah delapan kali. Tapi semenjak pergantian lurah pertama tidak diperbolehkan.”
Lebih lanjut, Kamim menerangkan bahwa, warga memang tidak berdoa kepada pohon. Tetapi meminta pada Yang Kuasa—Tuhan—agar semua terjaga. Kadang ketika bermujahadah (berdoa) bersama, warga Wadas memilih tempat di area sekitar Randu Alas.
“Kalau mujahadah sering, satu minggu sekali, untuk meminta keselamatan semua warga. Terutama orangnya, kedua seisinya, seperti bumi dan kayu. Kami berdoa agar makhluk apa saja yang ada di Wadas selamat. Bahkan hewan kecil seperti kupu-kupu. Kalau desanya utuh, gak dikeruk (tambang) ya semuanya terjaga. Beda jika ada tambang, maka Wadas akan rusak.”
Randu Alas memiliki keunikan karena tidak berbuah layaknya pohon-pohon di sekitarnya. Pohon ini hanya menghasilkan bunga, terlebih bunganya berwarna merah menyala dan digunakan sebagai penanda musim.
“Kembang tok, koyo mawar, kalau bunga udah layu, godong wis rodo ombi-ombi mulai jadi tetenger musim (Cuma bunga, seperti mawar, kalau bunganya sudah layu, daunnya sudah lebar-lebar mulai menjadi penanda musim).”
“Kalau berguguran udah mau hujan, itu pasti. Kalau gak percaya besok ke sini, pokoknya untuk menandai kalau sudah mulai lebar-lebar mau hujan,” Kamim menjelaskan.
Tono, salah satu warga yang ikut dalam rombongan kami pendapat serupa dengan Kamim. Kesuburan Wadas menjadi perhatian bagi penduduk setempat dan orang luar desa. Tak jarang orang luar desa datang langsung untuk melihat bunga merah menyala dari Randu Alas. Konon katanya, warna merah menyiratkan emas yang ada di balik pohon tersebut.
Penjelasan Antropolog
Guna menjelaskan mitos Randu Alas dan Alas Sedudo, wartawan Philosofis menghubungi antropolog Argo Twikromo. Akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu, di awal menegaskan pentingnya untuk menanggalkan pemikiran rasional dalam mitos yang tumbuh subur di Wadas. Pasalnya jika mengedepankan metodologi pengetahuan yang menggunakan positivistik, maka pemikiran tersebut sangat berpengaruh terhadap pola pikir saat ini. Sehingga hal-hal yang dianggap irasional, tidak akan dipercayai dan dianggap kebohongan belaka.
“Ketika tanah, pohon, laut, atau pun daratan gunung dikeramatkan, itu kan sebenarnya terkait dengan bagaimana para leluhur mengelola kehidupan pada saat itu. Misalnya ketika suatu tanah dikeramatkan maka terdapat esensi dibalik itu,” ucap lulusan Radboud Universiteit Nijmegan, Belanda saat wawancara melalui Zoom Meeting pada 21 Februari 2022.
Sepenuturan Argo, apabila melihat logika pada masa ini, maka yang dilihat hanya wujud. Berupa material dan ini sangat dominan sekali. Ini didasari karena dalam sistem pendidikan yang dipelajari.
“Ketika ilmu pengetahuan dan akademisi tidak dapat menembus itu. Biasanya klaimnya adalah irasional. Seolah-olah leluhur kita itu bodoh-bodoh sekali. Justru kalau kita refleksikan, kita lah yang -bodoh- tidak bisa menembus kesana. Kemudian capnya irasional.”
Menurut Argo, ketimbang memperdebatkan irasional yang seolah-olah mereka menganut animisme-dinamisme. Ia lebih menyarankan melihat esensi dari terciptanya mitos di desa Wadas. Sebab, melalui esensi kita dapat melihat kenapa leluhur Wadas menuturkan petuah tersebut.
“Seolah-olah warga Wadas menganut dinamisme-animisme. Padahal mereka memiliki personifikasi dengan sang pencipta tapi dengan gaya lokal. Sesuai dengan pemahaman warga desa.”
Mengenai mitos, Argo berpendapat, walaupun terkadang mitos dipermainkan. Penting untuk melihatnya dari sisi-sisi yang lain, walaupun perkataan itu ada penambahan dan pengurangan.
“Karena leluhur kita yang diutamakan ialah relasi selaras antara manusia dengan sesama dan penciptanya. Apa pun istilahnya. Tapi saya melihatnya ada sebuah esensi yang sebetulnya mengarah ke atas. Dengan Sang Pencipta dan antarketiganya. Jangan sampai kita mengaku dekat kepada Sang Pencipta tapi membunuh antarsesama, atau merusak lingkungan dengan klaim-klaim yang di atas sana. Itu kan biasanya dikotak-kotakkan. Padahal leluhur kita lebih holistik.”
Dan Argo melihat, warga Wadas konsisten menjaga kelestarian lingkungan agar tidak berhenti pada satu generasi. Terlebih menjaga lingkungan hidup dalam artian yang lebih luas dan tidak hanya berdampak di Wadas. Cap irasional perlu direnungkan, sebab penduduk setempat menjaga alam yang telah diberikan oleh Tuhan yang maha Esa dengan pengetahuan mereka.
“Kalau sedari dulu tidak dirawat, meskipun mungkin dengan cara-cara seperti itu. Lha kita hidup di bumi Nusantara ini akan mendapat apa? Mungkin sudah gersang kita, kelaparan kita. Tapi kan itu dirawat. Artinya hubungan saya dengan sesama itu tidak dibedakan dengan hubungan saya dengan alam. Kebaikan saya, keharmonisan saya juga tidak bisa dibedakan dengan yang di atas.”
Argo menekankan, jangan sampai mengaku dekat kepada Sang Pencipta, tapi malah membunuh sesama manusia. Hal ini juga berlaku terhadap perusakan lingkungan dengan tafsir yang di atas sana. Jangan sampai mengusik lingkungan hidup Wadas, terutama menebang pohon Randu Alas dan merusak Alas Sedudo. Menebang atau ditebang itu penuh esensi yang berhubungan dengan alam, hal ini juga perlu dipertimbangkan tentang relasi dengan alam. Ditebang bukan berarti langsung ada pertumpahan darah. Namun, akan merusak kehidupan mereka, entah dalam waktu dekat maupun jangka panjang.
Dewa Saputra
Reporter: Dewa Saputra, Farras Pradana, dan Yoga Hanindyatama
Editor: Farras Pradana