Ilustrasi: Adam Yogatama |
Suku Toraja merupakan suku asli dari Sulawesi Selatan yang menetap di daerah pegunungan bagian utara. Selain itu, mereka juga tersebar hingga daerah Luwu, bahkan hingga Sulawesi Barat (Embon, 2018: 3). Mereka menggantungkan hidup dengan bertani, menanam tumbuhan, dan beternak. Suku Toraja termasuk bagian dari bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu. Hal itu dapat dilihat dari kebudayaan mereka, mulai dari rumah yang menyerupai gerabah hingga perkawinan silang.
Johan Setiawan dan Wahyu Ida Permatasari dalam “Proses Masuk dan Persebaran Peninggalan Kebudayaan Proto-Deutero Melayu Di Indonesia” yang diterbitkan di Jurnal Fajar Historia mengatakan bahwa bangsa Proto Melayu datang ke Nusantara melalui dua jalur, yaitu jalur barat dan jalur timur. Jalur barat dimulai dari Yunan (Tiongkok), Malaka hingga Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Sementara itu, jalur timur dimulai dari Yunan, Formosa (Taiwan), Filipina, Pulau Sulawesi dan Papua. Melayu Tua cenderung tinggal di daerah pedalaman karena terdesak oleh datangnya bangsa baru bernama Deutro Melayu. Salah satu kebudayaan Proto Melayu yang masih ada dari Toraja yaitu kebudayaan Rambu Solo. Rambu Solo merupakan upacara keagamaan sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada mendiang ketika di dunia. Upacara Rambu Solo sudah dilakukan sejak dahulu secara turun temurun, hal itu karena faktor keyakinan yang mereka anut atau percaya.
Menurut (Panggara, 2015:8) upacara Rambu Solo tidak dapat dilepaskan dari pembagian sistem sosial yang ada di Toraja, yaitu golongan bangsawan tinggi (Tana’ Bulaan) menempati posisi tertinggi, kemudian ada golongan bangsawan menengah (Tana’ Bassi), golongan rakyat biasa (Tana’ Karurung) dan golongan yang kurang mampu (Tana’ Kua-Kua). Setiap golongan memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri kala melakukan upacara Rambu Solo. Semakin tinggi kastanya, maka persembahan yang diberi juga berbeda. Golongan bangsawan tinggi biasanya memberi 24-100 ekor kerbau, sedangkan golongan bangsawan menengah harus memberikan 8 ekor kerbau dan 50 ekor babi dan seterusnya. Jika tiap golongan belum bisa memenuhi target, maka jenazah belum boleh dikubur.
Biaya upacara Rambu Solo bisa dikatakan mahal, hal itu karena adanya penyembelihan hewan kerbau dan babi. Salah satu jenis kerbau yang digunakan dalam upacara Rambu Solo yaitu kerbau belang. Harga dari kerbau belang bisa mencapai 30-50 kali lipat dari kerbau biasa. Selain itu ada pula ratusan ekor babi yang ikut sebagai penyembahan, sehingga biaya yang dikeluarkan bisa mencapai milyaran rupiah (Abdurahim, 2015: 27). Pihak keluarga harus menabung selama berbulan bulan bahkan bertahun-tahun untuk memenuhi biaya yang dibutuhkan agar jenazah bisa dikubur. Bagi masyarakat Toraja, upacara ini memiliki makna yang sangat dalam sehingga mereka rela mengeluarkan biaya yang mahal untuk melakukan upacara ini. Pemberian atau persembahan hewan kerbau dan babi dimaknai sebagai tanda ikatan darah (rara buku). Fungsinya adalah sebagai tanda adanya ikatan keluarga yang erat dan menjalin silaturahmi antar keluarga.
Rambu Solo memiliki berbagai tahap, hal itu dimaksudkan agar upacara dapat dilakukan secara sistematis. Tahapan tersebut dimulai dengan pertemuan keluarga dari pihak ayah atau ibu; pembuatan pondok di tempat orang yang meninggal atau di lapangan upacara; persediaan alat upacara seperti gendang, tombi-tombi, bombongan, dan beberapa bendera upacara; serta diakhiri oleh petugas upacara yang memimpin jalannya upacara dan membina pemakaman.
Upacara ini telah dilakukan secara turun temurun yang secara tidak langsung mempengaruhi sikap suku Toraja dalam kehidupan sehari-hari. Upacara Rambu Solo bisa menjadi tolak ukur dalam berperilaku dan berbudi pekerti luhur. Selain itu, semua anggota keluarga juga diharapkan berpartisipasi dalam upacara ini agar antar anggota keluarga saling mengenal. Hal ini menandakan bahwa selain fungsi religius, upacara Rambu Solo juga berdampak pada kehidupan sosial dari Suku Toraja. Maka dari itu upacara adat ini dapat bertahan hingga sekarang.
Upacara Rambu Solo sudah selayaknya mendapatkan perhatian dari Suku Toraja ataupun pemerintah Indonesia. Dikarenakan dari kebudayaan tersebut, kita bisa merefleksikan tentang nilai luhur yang mereka anut (Wida). Melestarikan budaya bisa dari hal kecil seperti menghormati hasil budaya lain atau kita ikut melaksanakannya.
======
Tulisan ini merupakan tugas akhir magang LPM Philosofis 2022.
Gilang Kuryantoro
Editor: Yoga Hanindyatama