Sejarah Tren Thrifting
Menilik
lebih jauh, kegiatan thrifting sebenarnya
bukan sesuatu yang baru. Sejarah ini telah tercipta pada masa yang cukup
lampau. Awal
mula kemunculan ini ditandai dengan kemajuan peradaban manusia. Saat
itu, Revolusi Industri pada abad ke-19 telah menciptakan teknologi produksi pakaian massal. Pakaian
menjadi produk yang lebih terjangkau bagi semua kalangan. Cara pandang
masyarakat kian berubah terhadap dunia fesyen.
Pakaian bukan lagi menjadi barang reuseable
(dapat digunakan kembali), tetapi barang disposable
(sekali pakai, buang). Akibatnya, masyarakat menjadi sangat konsumtif dan
rakus. Limbah pakaian bekas menjadi tak terhindarkan.
Ironi
melihat hal tersebut, Salvation Army, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di
Amerika Serikat, pada tahun 1897 melahirkan
sebuah shelter dengan nama “Salvage
Brigade”. Tempat itu menjadi wadah
bagi donatur yang ingin menyumbangkan
barang, terlebih bila tidak terpakai lagi.
Barang-barang inilah yang diberikan untuk warga dengan ekonomi sulit. Pakaian
bekas tak luput menjadi barang donasi kala itu. Demikianlah, Krisis Malaise
turut memukul perekonomian Amerika Serikat. Depresi Besar (Great Depression) yang terjadi pada tahun 1920-an menjadikan banyak
orang jatuh miskin. Sampai-sampai, masyarakat di masa itu tidak mampu memenuhi
kebutuhan sandang mereka. Akhirnya, berbelanja pakaian bekas di thrift shop menjadi pilihan alternatif.
Seiring
dengan berjalannya waktu, berbelanja ala thrifting
bukan lagi dilekatkan akibat rendahnya kemampuan finansial. Akan tetapi,
berbelanja pakaian bekas telah menjadi gaya hidup baru di masyarakat. Kita
perlu berterima kasih pada Kurt Cobain. Mengingat pada tahun 1990-an, penyanyi yang berasal
dari band Nirvana ini turut memopulerkan gaya busana baru dengan
memanfaatkan pakaian bekas. Secara tidak langsung, hal itu telah mengenalkan “thrifting style” kepada khalayak umum
dan mengorbitkan tren anyar dalam hal berpakaian.
Tren Thrifting di Indonesia
Munculnya
thrifting di Indonesia bukan hanya terjadi belakangan ini. Memang tidak
ada sumber pasti yang mampu menyebutkan kapan tren ini dimulai. Wartawan Philosofis
mencoba
melakukan penelusuran melalui wawancara
daring pada Kamis, 17 Juli 2021 dengan
salah satu akademisi tata busana, Afif Ghurub Lestari (50). Beliau
merupakan salah satu saksi hidup dan juga pemerhati fesyen sejak dahulu.
Menurut Ghurub, pada
masa pasca-krisis moneter, sekitar tahun 1999, muncul tren awul-awul (barang bekas) sebagai siasat golongan menengah ke bawah
untuk menikmati produk fesyen pada masanya. Tren itu dibentuk oleh masyarakat
yang ingin memiliki penampilan yang berbeda dengan bujet rendah. Beberapa figur publik turut
memeriahkan tren ini sehingga kian populer.
Gaya
pakaian baru ini ternyata mulai goyah ketika isu-isu miring menyertai
perkembangannya. Mayoritas barang yang dijual merupakan barang bekas yang tidak tertata dan kebersihannya juga belum terjamin.
Begitu pula dengan stok input barang
yang entah dari mana asal muasalnya. Berikut hari, muncullah keraguan dari masyarakat atas tren
tersebut. Hal ini diperparah dengan adanya krisis moneter dan testimoni negatif
dari para pembeli barang awul-awul. Tak heran, mengingat stok barang
yang datang tidak sedikit, sehingga sulit untuk disortir terlebih dahulu.
Akhirnya tren awul-awul mulai surut.
Setelah
perekonomian mulai membaik, bersamaan dengan kehadiran mahasiswa pendatang ke
Jogja. Pada saat yang sama hadirlah istilah “garage sale/cuci gudang”.
Demikianlah gelora konsumerisme menggeliat di masyarakat.
Perburuan
pakaian tidak terpakai dan menumpuk menjadi ramai di kalangan masyarakat.
Terutama di antara kalangan anak muda. Seolah beberapa dari mereka memiliki
hasrat ingin tampil “beda” dari orang lain. Sosial media juga turut
berpartisipasi dalam pembentukan citra tren ini. Thrifting lebih
dipandang sebagai sarana berekspresi, bagi individu yang memiliki jiwa
bereksperimen tinggi untuk membentuk gaya fesyen mereka sendiri.
Sensasi Lain
yang Didapat
dari Thrifting
Ilham
Razaq (19) mengenal tren thrifting ini kurang lebih dua tahun lalu atau sekitar 2018.
Gudang informasi yang diperolehnya berawal dari toko daring. Ketertarikannya
itulah yang membawa dirinya untuk menjajal membeli beberapa potong pakaian
bekas. Pengalaman positif yang didapat menjadikan dirinya saat ini sebagai
konsumen tetap thrifting. Setidaknya, ia berbelanja barang thrifting minimal
dua bulan sekali untuk memenuhi kebutuhan sandangnya.
Jenis
pakaian yang dibelinya pun sangat beragam. Mulai dari jaket, baju, sweater, crewneck,
dan outer lainnya. Media sosial yang menyediakan platform jual beli,
seperti Instagram dan Facebook,
menjadi pilihan untuk memenuhi hasrat belanjanya. Ilham sendiri memang belum
pernah mengalami pil pahit ketika berbelanja daring.
Tapi, pengalaman teman-temannya dijadikan sebagai pelajaran berharga baginya
agar tidak jatuh ke dalam lubang tersebut. Ia mengakalinya dengan menggunakan
perantara, seperti olshop atau marketplace terpercaya, supaya kegiatan
berbelanjanya menjadi lebih aman dan nyaman.
Thrifting
lebih
disukainya karena ada sesuatu yang tidak ia dapatkan ketika berbelanja pakaian
baru. Ada kepuasan pribadi ketika tampil keren dengan barang murah daripada
tampil keren dengan barang yang jelas mahal. Seringkali dijumpai pula barang thrifting
yang unik dan tidak ditemukan di tempat lainnya. Baju thrifting juga
sulit ditemui kembaran karena second hand
(bekas), sehingga menarik bagi kalangan yang tidak terpaku pada tren masa kini
seperti dirinya. Sepotong pakaian yang digunakannya bisa dijadikan sebagai
ajang pertunjukan identitas diri masing-masing.
Tak
hanya itu, thrifting juga menyadarkan Ilham akan ancaman lingkungan.
Membeli pakaian bekas menjadikannya turut berkontribusi dalam mengatasi
permasalahan limbah pakaian. Ia setuju kalau membeli barang thrifting membawa
dampak positif bagi lingkungan. “Membeli barang thrifting dapat membantu
go green, karena membeli dan memakai
limbah yang dapat dipakai kembali,” ucap
Ilham saat diwawancarai pada Juli 2021.
Tanpa disadari, berbelanja pakaian bekas mampu membawa efek positif bagi
lingkungan. Sehingga, menurutnya tren ini baik untuk diikuti.
Meraup Pundi-Pundi dari Barang Tidak Terpakai
Pandemi
Covid-19 yang melanda Indonesia di awal tahun 2020 tak menyulutkan jiwa
berwirausaha Aldino Julian. Pria berusia
19 tahun tersebut berjualan lewat instagram dengan nama akun @hasilberburu.
Berawal dari kesukaannya membeli barang bekas, ia lalu berinisiatif untuk membuka usaha dari hobinya itu.
Kondisi ekonomi yang sedang sulit pula menjadi dorongan lebih baginya untuk
mencari pemasukan dari sumber lain.
Aldino menceritakan pengalamannya kepada wartawan Philosofis pada Juli 2021. Ia
biasanya memperoleh stok barang dagangan melalui offline dan online. Sebuah komunitas grup daring menjadi sumber barangnya, selain terjun
langsung ke pasar untuk ngawul.
Pakaian yang dijual umumnya berupa jaket, crewneck, hoodie, dan outer
lain. Dia lebih mengutamakan merek luar negeri, seperti Nike, Adidas,
Kappa, dan lain-lain. Hal itu dipilih karena memenuhi kebutuhan konsumennya.
Mayoritas pembeli memang mencari pakaian brand terkenal dengan harga miring
sehingga barang thrifting lah yang menjadi sasarannya.
Omset
yang didapatkan juga cukup lumayan. Ia mengambil profit tergantung dari kondisi
dan merek barang yang dijualnya. Keuntungannya pun beragam, mulai dari 20%,
50%, hingga 100% secara persentase untuk per produk. Tidak disebutkan secara
gamblang oleh Aldino, tetapi ia merasa
sudah sangat cukup baginya untuk menambah uang saku pribadi sebagai mahasiswa.
Tantangan yang Dihadapi Penjual
Bisnis
barang thrifting ini pun tak bisa dikatakan mudah. Banyak tantangan yang
dihadapi. Terutama saat mencari stok barang yang ingin Aldino jual. Proses awal saat bongkar ball
biasanya menjadi kendala. Kondisi barang yang ia peroleh terkadang tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Tentunya, ada siasat sendiri yang digunakan oleh
para penjual untuk mengatasi hal tersebut.
Aldino,
bakul pakaian bekas @hasilberburu, lebih mengutamakan kualitas barang yang ia
jual demi kepuasan pelanggan. “Kalau di @hasilberburu itu kami utamakan
barang-barang yang masih layak dipakai masih bagus,” ujarnya. Akan tetapi, tidak
menutup kemungkinan pula terdapat barang bekas yang kurang bagus, seperti
noda-noda, atau ada beberapa lubang kecil.
Menurut Aldino, hal itu sudah dimaklumi di dalam dunia per-thrifting-an.
Siasat
berbeda diterapkan oleh Agus, tapi lebih dikenal sebagai Pakdhe Chemany. Toko miliknya
yang bernama @chemany.store itu lah yang membentuk nama panggilan itu. Agus ketika dijumpai di gerainya oleh wartawan Philosofis pada Kamis, 29 Juli 2021
mengisahkan
bahwa dirinya telah menjadi
pedagang pakaian bekas sejak tahun 2018. Bisnis yang telah berjalan selama tiga
tahun itu telah menjadikannya paham terkait kendala dalam dunia thrifting. Pakde Chemany membuat
segmentasi pasar sendiri bagi pelanggannya. Klasifikasi pelanggan tersebut
dibuat berdasarkan kualitas pakaian yang dimilikinya. Kondisi barang menentukan
harga yang ditetapkan dan juga kemampuan dari pembelinya. Oleh karena itu, ada grade/kelas sendiri yang diciptakan
olehnya.
Benturan
lain yang dihadapi dalam dunia thrifting ini rupanya tidak hanya masalah
kondisi barang. Isu kesehatan digunakan untuk menjatuhkan tren ini. Banyak
anggapan bahwa barang thrifting tidak baik untuk kesehatan. Bahkan,
perihal tersebut diatur pada UU Perdagangan, pelaku usaha dapat dikenakan Pasal
35 ayat (1) huruf d, Pasal 36, dan Pasal 47 ayat (1), menyebutkan pemerintah menetapkan larangan
perdagangan pakaian bekas impor untuk kepentingan nasional dengan alasan
melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan
lingkungan hidup. Sehingga setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan
baru.
Hal
itu ditepis oleh Pakdhe Chemany, ia mengaku kalau sudah sejak lama menggunakan
pakaian bekas, tetapi dia merasa baik-baik saja sampai sekarang. Menurutnya,
itu hanya upaya dari pemerintah agar orang tidak membeli barang impor
semata-mata, bukan murni masalah kesehatan. Penanganan pakaian yang baik
nyatanya mampu menjadikan pakaian bekas menjadi tetap layak pakai dan terhindar
dari penyakit menular.
Selain
itu, barang thrifting juga dianggap sebagai perusak brand lokal. Orang
cenderung memilih untuk membeli pakaian impor bekas ketimbang brand lokal.
Sebab, produk impor tersebut bisa dijual dengan harga yang serupa dengan produk
IKM (Industri Kecil Menengah) atau
bahkan lebih rendah. Pemerintah pula turut mengupayakan pencegahan impor baju
bekas melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Impor pakaian bekas dilarang
berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang
Larangan Impor Pakaian Bekas.
Perihal
tersebut, Pakdhe Chemany berpendapat bahwa thrifting dijadikan sebagai
kambing hitam akibat berubahnya selera masyarakat. Faktor-faktor lain yang
menjadikan thrifting menarik banyak orang tidak diperhitungkan. Padahal,
menurutnya setiap pakaian memiliki segmentasi pasar tersendiri. Tentu hal itu
tidak dapat dikesampingkan,
karena hal itu secara alamiah terbentuk oleh pasar. Melemahnya daya beli
masyarakat terhadap brand lokal menjadikan ancaman bagi pelaku usaha tekstil di
Indonesia. Sehingga, beredarlah kampanye thrifting dengan masalah
kesehatan dan juga pemerintah Indonesia dalam upaya menggenjot perekonomian
lokal. Hal itulah menjadi tantangan berat yang dihadapi bagi para pedagang thrifting
di Indonesia, seperti Pakdhe Chemany.
Pengaruh Tren thrifting Terhadap Industri
Fast Fashion
Thrifting
sendiri
memang berdampak terhadap industri fast
fashion.
Perlu diketahui, fast fashion merupakan
konsep produksi pakaian siap pakai dengan harga terjangkau. Industri fast fashion melahirkan produk pakaian
yang murah, cepat, dan trendi. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan gaya hidup
berpakaian yang berubah-ubah, industri ini
dianggap menjadi solusi. Akan tetapi, hal itu nyatanya tidak lepas dari
kontroversi di baliknya.
Berbagai
masalah mencuat mengiringi tumbuhnya industri ini. Masalah ini muncul dari segi
ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dilansir
dari katadata.co.id, potensi kerugian
ekonomi dari pakaian yang tidak dipakai dan tidak terdaur ulang mencapai US$
500 miliar per tahun. Dari segi sosial, industri ini
dianggap telah mengeksploitasi pekerja di bawah umur, dan lebih dari 50%
pekerja tidak dibayar sesuai upah minimum. Limbah produksi pakaian juga dinilai
berkontribusi besar terhadap pencemaran lingkungan. Industri ini menghasilkan
emisi sekitar 1.715 juta ton CO2 per tahun, serta limbah mikrofiber sebesar 50
miliar plastik per tahun. Tentu ini menjadi catatan serius bagi banyak pihak
yang masih berkutat dan melanggengkan praktik ini.
Menurut
Afif, kegiatan thrifting ini sebenarnya tidak bisa dikatakan serta merta
sebagai fast fashion, namun akan lebih berkaitan jika dikatakan sebagai sustainable
fashion. Tren thrifting ini berperan memperpanjang usia atau
keberlangsungan produk. Dalam hal ini, thrifting juga merupakan
penunjang suistanable fashion, maka kaitan antara thrifting dan fast
fashion ini sangat erat dan bersahabat karena saling mendukung. Maka dari
itu, thrifting juga memengaruhi kedua hal tersebut, namun lebih erat
berkaitan dengan sustainable fashion (fesyen berkelanjutan).
Charlita
sendiri menilai bahwa pengaruh thrifting terhadap industri fast
fashion sendiri itu antara baik dan tidak baik. Hal positifnya dapat
mengurangi orang untuk membeli baru. Tapi, terkadang di sosial media, ada
beberapa pakaian thrifting menjadi
tren. Sehingga, banyak orang mencari barang-barang yang mirip begitu dengan
membeli baju-baju dari retailer yang melanggengkan fast fashion.
“Jadi alangkah baiknya, kalau memang kita thrifting itu lebih buat
sesuai kebutuhan, bukan karena ingin mengikuti tren, bukan karena ingin jadi
kaya influencer A atau B begitu, sih, dari aku,” tuturnya.
Isu miring thrifting
Kegiatan
thrifting tak lepas dari pandangan negatif di mata masyarakat. Bahkan,
hal itu telah terjadi pada masa awal tren ini berkembang. Biasanya, barang
bekas ini digunakan oleh para imigran. Sehingga, cap negatif melekat pada
barang ini. Pergerakan dari Goodwill
Industries, salah satu thrift shop terbesar di Amerika, dengan
menjadikan thrift store menjadi department store terbilang cukup sukses.
Mereka berhasil mengubah stigma “the junk shops” menjadi
“a different approach to charity”.
Pandangan segar masyarakat tentang pakaian bekas pun perlahan berubah.
Sementara
itu, lain halnya di Indonesia. Umumnya, masyarakat Indonesia memiliki
kecenderungan untuk membeli baju baru dan mengoleksinya. Kultur itu sering
diungkapkan masyarakat bahwa lebih baik membeli banyak baju dengan kualitas
yang menengah dibandingkan membeli satu baju dengan kualitas utama. Begitu juga
pandangan masyarakat perihal pakaian bekas. “Orang-orang zaman dulu beli baju bekas kan kurang
diminati, istilahnya kan sudah dipakai orang masa mau beli dan kamu pakai sih,”
begitulah penuturan
Charlita, founder @kekno_klambimu, saat bersua dengan wartawan Philosofis via
platform daring pada 25 Juli 2021.
Komunitas
Kekno Klambimu adalah sebuah kampanye sosial untuk mencegah terbentuknya atau
terbuangnya limbah tekstil dan sampah-sampah tekstil yang mencemari lingkungan.
Upaya ini dilakukan dengan menggandeng Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Perca Ayu di Surabaya. Agendanya
meliputi pengolahan kembali limbah-limbah tekstil menjadi barang baru yang
berdaya guna dan bernilai jual. Sehingga, limbah tersebut bisa diedarkan
kembali ke masyarakat dan memperpanjang masa pakai kain tersebut.
Komunitas
yang berbasis di Surabaya ini juga setuju dengan thrifting. Charlita
menjelaskan jika merujuk pada buyerchy of meets (piramida kebutuhan
membeli), posisi thrifting berada di bagian atas. Artinya, semakin atas important-nya, semakin
rendah karena berpotensi menimbulkan banyak sampah. “Tetapi, thrift itu
sebenernya hal yang baik daripada membeli lagi, kami mendukung,” ujarnya. “Asalkan dilakukan dengan
bertanggung jawab dan penuh pertimbangan yang bijak,” lanjutnya.
Hal
itu senada pula dituturkan oleh Afif Ghurub. Tren ini dipandang sebagai hal
yang positif. Baginya, thrifting sangat mendukung suistanable fashion.
Hal itu terjadi karena jika suatu pakaian mengandung bahan yang sulit terurai, thrifting
ini setidaknya membantu memperpanjang keberlangsungan pakaian (masa pakai)
tersebut, hingga akhirnya menjadi limbah dan meminimalisir adanya limbah baru.
Meskipun, banyak stereotipe miring yang berkembang di masyarakat tentang baju
bekas. Padahal hal tersebut lumrah dan sah-sah saja dalam dunia fesyen
sepanjang sesuai norma, etika, dan estetika.
Arah Menuju Sustainable Fashion
Fenomena
thrifting secara tidak langsung mengarahkan masyarakat beralih menuju sustainable
fashion. Menurut
Zerowaste.id, sustainable fashion atau
fesyen berkelanjutan dapat diartikan sebagai praktik dalam fesyen yang lebih
mementingkan nilai lingkungan dan kemanusiaan. Masyarakat perlahan memilih
untuk membeli baju bekas ketimbang baju baru dengan cara thrifting.
Tren
ini mulai memberikan pengaruh dengan kebermanfaatan pakaian. Kesadaran
masyarakat menjadi tumbuh ketika melakukan kegiatan ini. Dengan thrifting,
mereka bisa mendapatkan barang yang bagus dan murah tanpa harus merogoh kocek
dalam-dalam. Pernyataan tersebut diafirmasi oleh Ilham Razaq, salah satu
konsumen thrifting. Mahasiswa berusia 19 tahun tersebut menyampaikan
kalau barang thrifting lebih ramah di kantong. Ilham berkata dengan uang
seratus ribu rupiah cukup membeli beberapa potong baju. Lain cerita jika yang
dibeli itu barang baru karena biasanya hanya mendapatkan satu baju saja atau
bahkan tidak cukup.
Founder
@kekno_klambimu,
Charlita, juga menilai belanja pakaian bekas dapat menjadi langkah awal bagi
praktik barang berkelanjutan. Hal ini tentu penting sebagai pintu menuju fesyen
berkelanjutan. “Harapannya thrift ini sebagai langkah awal, jadi lebih
pakai yang punya atau swapping baju atau pinjem,” kata Charlita. Keberlangsungan barang
terutama pakaian bekas menjadi lebih lama. Membeli baju baru bisa menjadi
pilihan terakhir di kalangan masyarakat. Karena, pakaian baru dapat dimiliki
tanpa harus membeli, bisa pinjam, tukar, sewa, beli bekas, dan buat, sebelum
akhirnya beli baru.
Irfan Arfianto
Reporter:
Rama Ardiansyah, M. Bagas Prasetyo, dan Irfan
Arfianto
Editor: Farras Pradana