Ilustrasi: Ahmad Nur Alamsyah. Sumber elemen Pngtree. |
Julukan Indonesia sebagai negara agraris tengah dipertanyakan eksistensinya. Hal itu dikarenakan kasus alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman, properti, dan infrastruktur kian marak terjadi.
Kasus pengalihan fungsi lahan ini semakin meningkat menjadi sekitar 110.000 hektar di tahun 2011 dan mencapai 150.000 hektar di tahun 2019. Makin berkurangnya lahan pertanian salah satunya disebabkan mudahnya izin beralihnya lahan pertanian ke non-pertanian. Mudahnya izin tersebut termaktub di dalam Undang-Undang nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Dalam undang-undang tersebut, terdapat kriteria tambahan berupa diperbolehkannya alih fungsi lahan sawah untuk kawasan industri hulu dan hilir minyak dan gas bumi, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan ketahanan pangan, dan kawasan pengembangan teknologi. Hal itu dikarenakan, lahan pertanian pangan, terutama sawah, merupakan lahan dengan land rent yang rendah.
Kasus alih fungsi lahan pertanian semacam juga mudah dijumpai di lahan pertanian yang ada di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagian desa yang berada di jantung pusat Kabupaten Bantul kian bergeser fungsinya menjadi lahan pemukiman, hingga infrastruktur.
Hal ini membuat petani di Kabupaten Bantul terancam
kehilangan lahan pertanian dan mata pencahariannya karena lambat laun lahan
pertanian tersebut sudah digunakan menjadi lahan pemukiman yang kian marak
dibangun di atas lahan pertanian tersebut. Tentu
keprihatinan para petani di Kabupaten Bantul ini
perlu diobservasi untuk menemukan titik permasalahannya dan menemukan solusi untuk
memberikan gambaran bagi pemerintah setempat dalam mengambil kebijakan yang
tepat untuk menyelesaikan permasalahan alih fungsi lahan pertanian ini.
Berkurangnya
Lahan Pertanian di Kabupaten Bantul
Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Bantul, pada tahun 2017, lahan sawah di seluruh kecamatan dalam lingkup wilayah Kabupaten Bantul hanya menyentuh angka 15.184 hektar, sedangkan lahan bukan pertanian mencapai angka 22.324 hektar.
Lahan pertanian produktif di Kabupaten Bantul semakin berkurang 22 hingga 40 hektar pertahunnya dengan adanya pengembangan pemukiman, infrastruktur, dan properti yang menimbulkan banyak kebutuhan lahan dalam pembangunannya. Hal ini, membuat sebagian petani yang memiliki lahan harus menjual lahannya kepada pengembang.
Faktor-faktor yang memengaruhi pemilik
lahan mengkonversi lahan atau menjual lahan pertaniannya adalah harga lahan,
proporsi pendapatan, luas lahan, produktivitas lahan, status lahan, dan
kebijakan-kebijakan oleh
pemerintah. Dengan berkurangnya lahan di Kabupaten Bantul ini,
seketika mengancam jumlah produksi beras di wilayah Kabupaten Bantul yang
merupakan pemasok beras utama setelah Kabupaten Sleman di wilayah DIY.
Tingkat
Kesejahteraan Petani di Kabupaten Bantul
Nilai Tukar Petani (NTP) di Kabupaten Bantul secara umum selama tahun 2019 terlihat berfluktuasi pada kisaran 100,04-105,58 persen, dengan rata-rata indeks sebesar 103,75. Hal ini menjelaskan bahwa rata-rata petani di Kabupaten Bantul masih mengalami surplus atau memiliki daya beli untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan biaya produksi pertaniannya.
Pendapatan petani mengalami kenaikan lebih besar daripada pengeluarannya, sehingga tingkat kesejahteraan petani diindikasikan lebih baik dari tahun dasar (2007=100). NTP Kabupaten Bantul mencapai nilai tertinggi pada bulan Agustus 2019 sebesar 105,58. NTP terendah pada bulan November 2019 sebesar 100,04.
Selama periode Januari-Desember 2019, rata-rata Indeks harga yang diterima petani (It) Kabupaten Bantul sebesar 140,08. Rata-rata It tertinggi selama tahun 2019 terjadi pada bulan Agustus 2019 sebesar 105,58. Sedangkan It terendah di bulan Februari sebesar 135,05. Rata-rata indeks harga yang dibayar petani (Ib) pada tahun 2019 sebesar 135,03. Indeks tertinggi pada bulan November 2019 sebesar 141,96.
Kebijakan
Pemerintah Setempat dalam Alih Fungsi Lahan Pertanian
Pelaksanaan alih fungsi lahan
pertanian menjadi non-pertanian untuk permukiman
di Kabupaten Bantul tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bantul nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul (2010-2030). Dalam pasal 6 Perda tersebut, kawasan untuk permukiman dibagi menjadi permukiman perkotaan dan permukiman pedesaan.
Rencana kawasan permukiman perkotaan
direncanakan dengan luas sekitar kurang lebih 5.434 Ha atau 10,72% dari luas
wilayah Kabupaten Bantul itu sendiri. Dari luas tersebut penyebarannya
difokuskan di berbagai wilayah, yakni Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Kasihan,
Kecamatan Sewon, Kecamatan Bantul, Kecamatan
Pajangan, Kecamatan Piyungan dan Kecamatan Pleret. Sedangkan rencana untuk kawasan permukiman pedesaan direncanakan dengan luas sekitar kurang lebih 5.738 Ha atau 11,32% dari luas wilayah Kabupaten Bantul. Dari luas tersebut penyebarannya, difokuskan di seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Bantul.
Peraturan tersebut digunakan untuk menjaga keserasian, keterpaduan pembangunan, dan pengembangan Kabupaten Bantul. Namun di dalam pelaksanaannya, terdapat permasalahan-permasalahan yang menyertai Peraturan Daerah nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul (2010-2030) tersebut. Diantaranya, yaitu terdapat regulasi yang afektif dan kurang dipahami oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Selain itu, terdapat faktor kepentingan dari masing-masing institusi terhadap perubahan alih fungsi lahan. Pengambilan keputusan dalam memberikan izin juga tidak dapat menjamin pengendalian lahan. Oleh karena itu, sering ditemukan bahwa sebelum proses dalam pengambilan keputusan, pihak pemohon perizinan biasanya sudah mengantongi rekomendasi terlebih dahulu dari pemangku kepentingan setempat.
Data pemetaan dari instansi terkait yang kurang akurat dan masih minim turut membuat Perda tersebut tidak berjalan secara efektif. Penegakan hukum terhadap pelanggar alih fungsi lahan kerap tidak dapat diandalkan. Hal tersebut dikarenakan aspek instrumen hukum yang dikeluarkan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terkadang tidak sinkron.
Alih fungsi lahan pertanian merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dari pembangunan suatu daerah. Salah satu upaya yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan mengendalikan serta memperlambat berbagai kegiatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian.
Dalam hal pelaksanaan alih fungsi lahan tentu saja berhubungan dengan pemanfaatan ruang. Hingga kini, pemanfaatan ruang di daerah Kabupaten Bantul masih banyak terjadi ketidaksesuaian dengan peraturan tata ruang itu sendiri, bahkan tidak sedikit terjadi kasus pelanggaran pemanfataan ruang badan hukum maupun perorangan atau masyarakat untuk didirikan bangunan, salah satunya untuk didirikan permukiman atau perumahan.
Atas hal tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul memiliki beberapa upaya dalam menangani kegiatan alih fungsi lahan yang semakin meningkat, yaitu dengan menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bantul, sosialisasi, dan konsolidasi tanah. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bantul ini merupakan tindak lanjut dari Perda nomor 4 Tahun 2011 yang berisi rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten yang dilengkapi dengan peraturan zonasi.
Alih fungsi lahan pertanian merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dari pembangunan suatu daerah. Maka dari itu, perlu adanya integrasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul bersama para petani di Kabupaten Bantul untuk dapat mencapai suatu kesepakatan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Jangan sampai alih fungsi lahan pertanian ini malah membuat suatu permasalahan tersendiri yang berakibat pada kesengsaraan nasib kehidupan para petani di Kabupaten Bantul.
=======
Tulisan ini
merupakan tugas akhir magang LPM Philosofis 2022.
Laurentius
Aditya Pradana
Editor: Farras Pradana