Seorang anggota dari peserta aksi sedang melakukan orasi pada Selasa (22/3). Zhafran Hilmy/Philsofisonline.id |
Pada hari Selasa sore yang mendung (22/3), Tugu Jogja dikerumuni oleh lautan massa dalam aksi bertajuk “Wadas Menggugat: Tanah Adalah Nyawa”. Aksi ini diinisiatori oleh aliansi kolektif bernama Aksi Solidaritas Untuk Wadas (ASUW). Mereka mengajukan tuntutan utama seperti hentikan rencana penambangan quarry di Desa Wadas, cabut Izin Penetapan Lokasi (IPL) Bendungan Bener—di dalamnya terdapat Desa Wadas, dan usut tuntas dalang di balik tindakan represif aparat pada 8 Februari 2022 lalu di Desa Wadas. Adapun tuntutan turunannya berjumlah 12 poin. Salah satu tuntutan turunan yang menarik ialah pada poin penolakan pertemuan Group of Twenty (G20) di Indonesia.
Guna menjawab rasa penasaran itu, Philosofis kemudian menemui humas dari massa aksi sore itu yang bernama Ryan. Ia menjelaskan bahwa penolakan ini tidak bisa dilepaskan dari negara-negara anggota G20 yang mewacanakan isu lingkungan dan perbaikan iklim dalam pertemuan itu. “Bisa kita lihat bahwa wacana yang dibawa hanyalah alibi, karena negara G20 adalah penyumbang emisi gas sebesar 50% di dunia,” jelasnya di tengah orasi massa aksi.
Lebih jauh, Ryan menjelaskan alasan lain perihal penolakannya itu. Ia menyebut bahwa negara dengan kekuatan ekonomi besar dunia yang tergabung dalam G7 tidak bisa dilepaskan perannya. G7 yang didalamnya teradapat Amerika Serikat dan negara Eropa seolah-olah bertindak sebagai pengontrol dunia. “Negara G7 adalah inisiator pertemuan ini, sekaligus dalang yang mengintervensi masalah ekonomi negara dunia ketiga,” ujar pria berbaju putih ini sambil memegang rokoknya.
Senada dengan pernyataan Ryan di atas, Raffi selaku koordonator lapangan juga berujar bahwa pertemuan G20 bisa dipandang selaiknya pertemuan biasa. Apalagi status Indonesia adalah presidensi seperti yang ditetapkan dalam Riyadh Summit 2020 “G20 harus kita sikapi karena mereka adalah kapitalis-kapitalis yang memegang kendali ekonomi dunia,” tegasnya.
Pertemuan G20 direncanakan berjalan selama tiga hari mulai dari 21 Maret-24 Maret 2022 di Bali. “Dalam pertemuan besok, ada pembahasan mengenai perbaikan ekonomi dengan menciptakan sistem politik upah murah,” timpal Ryan dengan nada kesal. Ia juga memperjelas penolakannya dengan menyatakan bahwa pertemuan G20 hanya mengakomodir kepentingan investasi tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat.
Wacana penolakan terhadap pertemuan G20 dalam aksi ini menjadi semakin menguat karena dikaitkan dengan konflik lahan—salah satunya di Wadas, sebagai akibat dari monopoli ekonomi sebagai bentuk kepentingan beberapa pihak. “Pembangunan Bendungan Bener hanya mengakomodasi kepentingan pemodal, sedangkan rakyat tidak diperhatikan,” teriak salah satu massa aksi yang berorasi di atas mobil komando.
Ketika orasi yang dilaksanakan secara terbuka selesai, ASUW kemudian melakukan press release selama kurang lebih tujuh menit. Walaupun cuaca kala itu semakin tidak bersahabat, tetapi massa aksi tetap memperhatikan kata demi kata yang terlontar dari pusat suara di belakang mobil komando.
“Pertemuan G20 sejatinya adalah pertemuan untuk memberikan ruang bagi kapitalis monopoli internasional. Itu semua akan membuat rakyat Indonesia semakin terhisap,” teriak Fikri, salah satu massa aksi yang membacakan press release di tengah kerumunan massa. Setelah berjam-jam memadati kawasan Tugu Jogja, aksi akhirnya selesai sekitar pukul lima sore. Nyanyian lagu Internationale yang telah dialihbahasakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah pemungkas rangkaian aksi yang dilaksanakan di Tugu.
Zhafran Naufal Hilmy
Reporter: Zhafran Naufal Hilmy, Adam Yogatama
Editor: Arina Maqshurrotin Filkhiyam