Illustrasi: Rindi |
Di suatu sore, pada 16 Agustus 1819, sebuah insiden kelam yang menyulut api revolusi Inggris—khususnya di kota Manchester—terjadi. Kala itu, setidaknya 15 orang meninggal dan tujuh ratus lainnya terluka akibat hunusan senjata aparat keamanan kota Manchester. Duduk perkaranya adalah pertemuan yang mengagendakan reformasi parlemen. Pertemuan itu diinisiasi tokoh reformis Henry Hunt, yang dianggap “radikal” oleh pemerintah setempat.
Insiden, yang selanjutnya kita kenal dengan sebutan “Pembantaian Peterloo”—asal kata: Peterloo Massacre—ini, ditandai sebagai momen “penting dan paling berdarah” dalam sejarah demokrasi Manchester. Pasca-kejadian, pemerintah setempat mengeluarkan Six Act (Enam Undang-Undang), yang secara efektif menutup gerakan reformasi. Reaksi tirani ini kemudian berbuntut panjang di berikut hari karena telah membatasi hak berbicara, berekspresi, berkumpul dan berdemonstrasi politik di Inggris.
Ketika warta mengenai Pembantaian Peterloo mulai menyebar, kemarahan dan kecaman meluap bahkan melintas dari berbagai wilayah dan kelas. Berbagai protes dilakukan, yang dibalas dengan pemandangan warga sipil tak bersenjata ditebas oleh tentara berkuda. Ini begitu mengerikan. Dalam tragedi yang mengikutinya, kebanyakan korban adalah anak-anak dan perempuan, yang membuat pemerintah kota Manchester begitu dibenci saat itu.
Salah satu tokoh yang begitu vokal—karena berada di tengah-tengah peristiwa ini—ialah John Edward Taylor. Ia merupakan pemilik media cetak lokal Manchester Observer. Media yang ia kelola adalah satu dari beberapa koran yang begitu vokal mengkritisi pemerintah terkait Pembantaian Peterloo kala itu. Akibatnya, Taylor dicap radikal, dan media cetaknya kemudian dibredel beberapa bulan kemudian. Kendati demikian, pembredelan tak membungkam suara kritis Taylor. Dua tahun berselang pada 1821, ia mendirikan media cetak baru, The Manchester Guardian.
Kisah berikutnya
merupakan sejarah. The Manchester Guardian, yang namanya kemudian diubah
menjadi The Guardian, menjelma sebagai salah satu media paling
independen dan kritis. Media yang awalnya lahir sebagai media lokal di kota
Manchester ini, kini—dua abad setelah kelahirannya—eksis sebagai salah satu media
terbesar di Inggris dan dunia yang menjadi musuh utama kaum konservatif.
Si
Paling Dekat dan Si Paling Tahu
Melalui ilustrasi peristiwa berdarah Pembantaian Peterloo tersebut, kita paham satu hal: media lokal pada akhirnya tampil sebagai yang paling dekat dan yang paling tahu. Melalui sejumlah pemberitaan yang mereka angkat, jagad nasional akhirnya memahami permasalahan yang terjadi di daerah. Dalam konteks Pembantaian Peterloo, John Edward Taylor dengan media lokal yang ia kelola, berhasil mendengungkan suara rakyat yang tak didengarkan oleh pemerintah Inggris kala itu.
Lantas, bagaimana dengan kini? Apakah media lokal masih memiliki fungsi demikian?
Hari ini, dalam konteks pageblug Covid-19, media lokal tampil sebagai corong informasi yang, dalam bahasa penulis: jadi Si Paling Dekat dan Si Paling Tahu. Sebuah studi yang dikeluarkan oleh Lembaga riset Pew Reserch, misalnya, menemukan bahwa kebanyakan masyarakat lebih mempercayai berita lokal daripada pusat terkait informasi mengenai pandemi Covid-19. Di Amerika Serikat, masyarakat dewasa (46 persen) menggunakan media lokal sebagai sumber utama informasi seputar pandemi, setelah media pusat, media komunitas, dan percakapan media sosial.
Orang-orang Amerika Serikat menganggap bahwa media lokal adalah yang paling terpercaya dibanding yang lainnya. Hal ini, selain karena di dalamnya memuat pernyataan resmi otoritas setempat, wartawan lokal juga dianggap punya keistimewaan dalam melihat fakta lebih dekat dibanding wartawan media pusat.
Selain itu, Patrick Edrich, wartawan Liverpool Echo, media lokal di kota pelabuhan Inggris, melansir data yang dikeluarkan oleh Lembaga riset media lokal Britania Raya JICREG. Melalui data tersebut diketahui bahwa audiens media lokal meningkat selama pandemi Covid-19. Kebanyakan dari mereka adalah yang menginginkan pemberitaan aktual dan faktual, terkait virus corona di wilayahnya.
Dari data
tersebut, media-media lokal sebenarnya telah melakukan tugas mereka dalam, yang
disebut pakar komunikasi Wibur Schramm, “melawan kontrol pemerintah pusat”.
Melalui media lokal, suara masyarakat daerah dapat terepresentasi. Bahkan,
kebenaran—sebagai elemen utama dalam jurnalisme—dapat terlihat lebih cerah,
ketimbang apa yang dilakukan oleh media pusat. Dengan demikian, hari ini, peran
media lokal sebagai representasi suara masyarakat daerah masih belum berubah.
Media
Lokal yang Timbul dan Tenggelam
Kendati berita lokal lebih dipercaya dan media lokal mendapatkan peningkatan audiens selama pandemi, harus diakui bahwa dalam konteks Indonesia, ia sama sekali “kurang berlaku”. Di Indonesia, khususnya, hanya segelintir media lokal yang masih bertahan di tengah arus digital. Koran lokal, mengalami senjakala di tengah konvergensi. Meski ada beberapa media lokal mapan, seperti sebut saja Jawapos atau Pikiran Rakyat, namun, media lokal yang lain tak ubahnya hanyalah anak (atau jejaring) dari media yang dikelola di pusat.
Alhasil, karena mengandalkan koresponden di tingkat lokal, kadar pemberitaan kebanyakan berupa produk berita sela (breaking news) atau mentok-mentok straight news. Tulisan panjang masih minim dijumpai, yang akhirnya kurang mampu mengurai permasalahan struktural di tingkat lokal. Media-media lokal seperti Majalah Jubi, memang rajin membuat tulisan panjang yang menyajikan ragam masalah kemanusiaan di Papua. Namun, itu tak banyak. Kebanyakan media-media besar yang telah mapan sangat Jakartasentris, sehingga jarang (atau luput) menyorot isu daerah, jika itu dianggap kurang meningkatkan engagement.
Ada banyak faktor yang bisa diurut mengapa eksistensi media lokal di Indonesia kini memudar. Salah satunya adalah masalah keuangan yang kurang sehat. Sebagaimana dikatakan Dimmick dan Rohtenbuhler dalam Journal of Communication (1984), salah satu prasyarat dari hidupnya sebuah media adalah modal, dalam bahasa mereka: capital. Modal, harus dilihat ibarat pondasi, jika ia kurang kokoh maka rawan ambruk pula.
Sebagai contoh, kita punya sejarah panjang tentang bagaimana modal punya pengaruh besar dalam perkembangan media lokal di Indonesia. Di masa otoritarian Orde Baru, terdapat KMD, kepanjangan dari Koran Masuk Desa. Sesuai namanya, porsi berita yang disajikan dalam koran ini pun tak jauh-jauh dari permasalahan di wilayah tersebut dan sekitarnya. Entah terkait banjir, kebakaran, hingga isu politik terkini. Beberapa KMD yang eksis kala itu termasuk Bhirawa dan Jayabaya (Jawa Timur), Kandha Raharja (DIY), Dharma Nyata (Jawa Tengah), dan sebagainya.
Namun, berikutnya
dapat ditebak, koran-koran lokal tersebut akhirnya gulung tikar karena meski
diolah secara profesional, dengan demografi audiens yang “duitnya pas-pasan”
tidak banyak pengiklan dan pelanggan yang masuk. Hal ini tentu jauh berbeda
dengan koran Kompas, misalnya, yang punya skala audiens nasional—dan
tentu keuangan yang lebih sehat. Kompas dapat survive, hingga
kini dengan modalnya yang kuat—terlepas dari faktor politis lainnya.
Sebuah
Refleksi:
Tentu, dalam sejarah, kita belajar betapa media lokal merupakan medium penting masyarakat daerah. Ia merupakan ruang yang hidup berdampingan, dan berperan penting dalam menyampaikan masalah-masalah di tingkat lokal, yang dalam potretnya, harusnya tampil lebih aktual dan faktual daripada media pusat—yang Jakartasentris.
Koran lokal juga, dalam sejarahnya, tampil sebagai medium paling kritis dalam advokasi masyarakat yang suaranya kerap kali sumbang di telinga publik nasional. Terlepas dari senjakalanya kini, ia harus diakui sebagai watchdoc masyarakat di lingkup lokal. Terlebih mengingat konteks Indonesia dengan wilayah yang begitu luas, akan sangat naif jika mengatakan “tidak ada masalah serius di daerah”.
Artikel
ini merupakan pengantar bagi Webinar LPM Philosofis dengan Tema: Senjakala Jurnalisme Lokal yang akan terselenggara pada 18 Desember 2021.
Redaksi Philosofis