Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
“Jatuh bangun, jatuh bangun, jatuh,” mungkin
itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan alur kehidupan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Partai yang berdiri pada 1920 dan tenggelam pada 1965. Meski
demikian, selepas
peristiwa Gerakan 30 September (G30S), PKI belum benar-benar habis.
Hanya
saja, hari-hari pasca-G30S
tinggal menyisakan penangkapan dan pembunuhan para anggotanya di berbagai
tempat. PKI baru resmi dibubarkan pada 12 Maret 1966 oleh Suharto, sehari
setelah ia menerima apa yang kita kenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar).
Itu pun belum
sepenuhnya mengubur PKI dalam-dalam. Pada 1968, anggota PKI yang masih hidup
berkumpul di Blitar bagian selatan dan melakukan perlawanan gerilya. Pada waktu
inilah, PKI baru dapat dikatakan menjumpai ajal sesungguhnya, setelah militer
melancarkan Operasi Trisula.
Dari keseluruhan
episode jatuh bangunnya PKI, mungkin
yang paling banyak diingat ada tiga: Pertama, saat PKI dilarang
pemerintah kolonial Hindia Belanda akibat dari usaha pemberontakan 1926-1927; Kedua,
ketika PKI menempuh gagasan “Jalan
Baru Musso”
yang mengakibatkan Peristiwa Madiun 1948, di mana sebagai besar pimpinan partai
terbunuh; Ketiga, peristiwa G30S yang masih diperdebatkan siapa dalang
sesungguhnya.
Ketiga peristiwa
tersebut mempunyai ciri yang hampir sama, yakni bersentuhan dengan senjata api.
Baik itu dalam proses permulaan, pertengahan, ataupun penyelesaiannya. Pasti
ada saja bedil yang
digunakan.
Selain ciri yang
tidak terlalu jauh, ketiga peristiwa itu juga menempati posisi yang penting
dalam historiografi Indonesia. Penting dalam artian mempengaruhi jalannya
sejarah, maupun penting untuk dijadikan justifikasi kelompok tertentu.
Sehingga, tiga
peristiwa itu kerap diulang-ulang, dengan pelbagai nada yang ada, sumbang
maupun nyaring. Saking seringnya disorot, tiga peristiwa itu menyisihkan banyak
hal tentang PKI. Termasuk kejatuhan PKI yang lain, yaitu: Razia Agustus 1951.
Palu-Arit di Pos
Polisi
Peristiwa Madiun
1948, menghancurkan PKI, tapi tidak membuatnya dilarang secara resmi.
Anggota-anggota Politbiro yang selamat, bahu-membahu membangun partai kembali.
Hal ini terutama dilakukan oleh para generasi muda. Yang paling menonjol di antaranya:
Aidit, Njoto, Sudisman, dan Lukman.
Dalam usaha
membangun partai, generasi muda harus berhadapan dengan generasi tua yang juga
selamat dari Madiun 1948. Persaingan dua generasi itu berakhir dengan
pengambilalihan kepimpinan generasi muda pada bulan Januari 1951. Kepemimpinan
generasi muda membawa PKI ke arah pragmatisme yang membuahkan hasil menjadi
partai politik terbesar waktu itu.
Di tengah usaha
membangun partai dengan menjalin aliansi dengan buruh serta petani, PKI sekali
lagi harus berhadapan dengan
musuh-musuh yang berusaha menjatuhkannya. “Pada bulan Juni-Agustus 1951,” tulis
M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, “serangkaian
pemogokan terjadi, sebuah granat tangan dilemparkan kepada suatu kerumunan
massa di Bogor, dan suatu gerombolan bersenjata yang berlencana palu-arit
menyerang sebuah pos polisi” (h.
505).
Hal yang serupa
tercatat juga terjadi pada hari Minggu malam, 7 Agustus 1951 di pos penjagaan
polisi Tanjung Priok. Di mana, sekelompok gerombolan yang kira-kira berjumlah
50 orang melakukan penyerangan dengan menggunakan golok.
Gerombolan itu
teridentifikasi mengenakan berbagai macam simbol dan lencana. Termasuk “simbool
palu-arit, dan bendera2 merah … simbool2 kroon jang dilingkari oleh huruf2
Arab, djimat2, tulisan2 berisi kalimat do’a2 dan tjoret-tjoret jang tak
berketentuan,” sehingga seorang juru bicara bernama Lumanauw mengatakan bahwa
penyerangan “mempunjai maksud pula dibelakangnja. Apakah background dari
penjerangan itu bersifat politik atau bukan, kini sedang dalam penjelidikan”
(Kedaulatan Rakjat, 9 Agustus 1951).
Kejadian-kejadian
itu segera membuat telunjuk pemerintah mengarahkannya kepada PKI. Tuduhan itu
dibantah oleh Aidit, tetapi sia-sia
belaka.
Pemerintah melalui Kejaksaan Agung melakukan penangkapan atau sering kali
disebut razia terhadap anggota-anggota PKI.
Pemerintah, tulis
Satriono Priyo Utomo dalam Politik Dipa Nusantara, “berdalih razia
tersebut merupakan tindakan preventif terhadap ancaman yang sangat berbahaya
dan ada pihak-pihak yang hendak mengacaukan keamanan dengan target membunuh
Sukarno-Hatta, serta adanya organisasi kaki tangan yang digerakkan ekstrem kiri
dan mendapat dukungan kuat dari luar” (h. 118).
Perlu diketahui,
pemerintah yang saat itu berkuasa adalah koalisi Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi) dan Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan Perdana
Menterinya (PM) Sukiman Wirjosandjojo dari Masyumi. Menurut analisis Aidit dan
sudut pandang PKI, koalisi Masyumi-PNI sangat buruk bagi partai.
Sebab, Masyumi
dianggap sebagai
partai yang didukung kaum borjuis pribumi dengan pemimpin yang bersikap
anti-komunis. Sementara itu,
PNI diduga bersifat birokratis
dengan beberapa kaum feodal daripada borjuis. Bergabungnya dua kekuatan ini
dalam pemerintahan membuat
PKI kehilangan kesempatan untuk menjalin koalisi.
Padahal, dalam pandangan Aidit,
PKI hanya bisa berkoalisi dengan borjuis nasional daripada feodal. Tapi hal itu
tidak memungkinkan, karena Masyumi yang borjuis nasional anti-komunis. Kelak,
demi persekutuan, Aidit akan mendefinisikan PNI sebagai borjuis daripada feodal
dan hal ini mengakibatkan terhambatnya kesadaran kelas yang diperjuangkan PKI.
Penggeledahan dan Penangkapan Selama Agustus
Penangkapan
pertama terjadi di Sumatera Timur pada hari Sabtu, 11 Agustus. Sebanyak 51
orang ditangkap,
termasuk tiga yang diketahui namanya:
Tengku Saibun Sultan Asahan Munikmanis mantan Kepala Departemen Pendidikan NST,
serta Abdulkarim dan Jusuf
Adjitorop yang merupakan Seksi Comite PKI Sumatera Timur. Orang-orang yang
tidak disebutkan namanya
beberapa merupakan calon anggota PKI di luar Medan.
Penangkapan dua
anggota PKI itu membuat PKI Sumatera Timur melakukan protes dan meminta
penjelasan. Mereka menanyakan, apakah penangkapan dilakukan sebagai urusan
personal, sebagai anggota PKI, atau sebagai calon anggota PKI.
Juru bicara
tentara Teritorium I Sumatera Utara menjawab protes PKI Sumatera Timur. Juru
bicara itu menerangkan bahwa, “gerakan pembersihan…bukan ditundjukan kepada
sesuatu aliran politik ataupun kepertjajaan keagamaan, hanja semata-mata terhadap
mereka jang mengatjaukan ketertiban dan keamanan umum” (Kedaulatan Rakjat,
15 Agustus 1951).
Dalam keterangan tentara
yang lain, disebutkan bahwa kejadian di Bogor dan Tanjung Priok merupakan tanda
bahwa ada aliran yang ingin mengacaukan keadaan. Namun, semua prasangka terhadap
apa yang dinamakan pengacau oleh pemerintah semata-mata dijatuhkan kepada PKI.
Penangkapan maupun
pembebasan karena tidak adanya alasan penahanan lebih lama di Sumatera Timur
terus berlanjut. Sekitar dua minggu kemudian, jumlah orang yang ditangkap
semakin melesat. Dikatakan oleh surat kabar, “Melihat penangkapan2 di Medan dan
kota2 lainnja di Sumatera Timur achir2 ini, diduga jang telah ditangkap telah
meningkat dari djumlah jang dikabarkan semula, djadi lebih dari 511 orang” (Kedaulatan
Rakjat, 22 Agustsus 1951).
Setelah Sumatera
Timur, razia penangkapan terhadap anggota PKI segera menyebar ke daerah-daerah
lain. Di Jakarta, 16 anggota parlemen ditangkap, termasuk ayah dari Aidit,
yakni Abudullah yang merupakan anggota dari sebuah partai kecil (bukan PKI).
Anggota PKI di parlemen terus digerogoti. Pada
Senin, 27 Agustus, seorang anggota PKI di parlemen ditangkap setelah menghadiri
rapat panitia permusyawaratan parlemen.
Di Yogyakarta,
penangkapan yang dilakukan oleh polisi terjadi pada Senin, 20 Agustus. Mereka
yang ditangkap,
antara lain: “Wikana dan Tjokrosumarta, keduanja anggota Sekretariat PKI Seksi Komite Jogja, Liem A Khwle dan Yap
Lie Sing, masing2 pegawai kantor CHTH dan murid sekolah menengah Tionghoa.
Kantor tjabang
SOBSI digledah … kemarin, dari situ dibawa daftar anggota” (Kedaulatan
Rakjat, 21 Agustus 1951). Sementara
ormas yang berafiliasi dengan PKI, Pemuda Rakyat, penangkapan terjadi terhadap
Ketua Cabang Bantul dan Kulon Progo beserta
anggota-anggotanya.
Namun, penangkapan
di Yogyakarta ini tidak berlangsung lama. Pada sore, di hari yang sama ketika
ditangkap, mereka dibebaskan setelah diperiksa.
Pada hari yang
sama dengan penangkapan di Yogyakarta, penangkapan juga terjadi di Semarang. Hal
ini mengindikasikan bahwa ada keserantakan dalam waktu penangkapan.
Di Semarang,
ditaksir paling sedikit sepuluh orang ditangkap. Nama-nama yang diketahui: Moh.
Yasin dari Partai Murba Semarang sekaligus anggota DPRDS-Kota Besar, Sulsta
dari Perbum, Kasir dari SBRTI, Jusuf dari penasihat SOBSI Semarang, Tjipto dari
Partai Demokrasi Rakyat, Sriwidjaya dari SOBSI, N. Endang dari Gerwis,
Kuntjahja dari PBI, Prof. Abidin yang bekerja di Kantor Perwakilan Penyuluh
Perburuan Jawa Tengah, dan Tardjana yang bekerja di Kantor Perwakilan
Penempatan Tenaga Jawa Tengah. Dari beberapa orang yang ditangkap itu, ada yang
langsung dibebaskan karena tidak ada alasan untuk terus menahan yang
bersangkutan.
Penggeledahan
gedung juga
tak luput dilakukan. Gedung Rakyat Gendong, tempat SOBSI berkantor digeledah.
Pihak berwajib membawa arsip-arsip kantor mengenai SBPI, Serikat Buruh Kementerian
Pertahanan, Serikat Buruh Rokok/Tembakau Indonesia, dan Sarbupri.
Masih di Jawa
Tengah, terjadi penggeledahan ataupun penangkapan di Salatiga, Solo, Klaten,
Pati, dan Banyumas juga terjadi penggeledahan dan penangkapan.
Di Salatiga, terjadi
penangkapan “sedikitnja 9 orang, jaitu: Mr. Harun…BTI Salatiga. Sujud
Lurah…dari SOBSI bersama2 2 kawanja Bernama Nj. Marhaeni (Gerwis/SOBSI) dan
Koesirin (SOBSI), kemudian: Sidiro (BTI), Tohir... (Sekr. Umum Perdamaian
dunia)…, Ismail (SBLGI), Suwandi (SEBDA da anggauta DPS setempat)… dan Slamet
Basuki jang bekerdja pada DUKT setempat” (Kedaulatan Rakjat, 22 Agustus
1951). Nj. Marhaeni dan Kusirin tidak ditahan lama. Keduanya lekas
dibebaskan.
Di Solo, hanya
terjadi penggeledahan di rumah Tjoa King Loen yang merupakan pimpinan redaksi majalah
Bentara, Wijono dari SBKA, Suripni dari Komite Perdamaian Dunia, dan Suharman. Diteruskan dengan kantor
Seksi Komite PKI.
Sehari sebelum
penangkapan terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, pada Sabtu malam, 18 Agustus
penggeledahan dan penangkapan terjadi di Jawa Barat. “Malam minggu itu djuga kantor2 SOBSI dan
seksi PKI Preangan di gledah dan beberapa archief diangkat, termasuk archief
Sarbupri dan Pemuda Rakyat jang berkantor dalam satu gedung dgn PKI dan SOBSI,”
(Kedaulatan Rakjat, 21 Agustus 1951).
Ruangan-ruangan di
gedung PKI dan SOBSI itu disegel. Nama-nama yang teridentifikasi, antara lain Radi yang
merupakan onder-seksi PKI Kota Bandung, dan Siswosumarto yang merupakan anggota
pengurus Gabungan Rakyat Petani sekaligus anggota PKI. Meski terjadi
penangkapan, kursus mingguan SOBSI masih berjalan pada keesokan harinya.
Sayangnya, penangkapan
di Bandung ini masih simpang siur mengenai siapa penangkapnya dan berapa orang
yang ditangkap. Kebingungan ini muncul karena penangkapan terjadi pada tengah
malam sehingga tidak banyak saksi yang melihatnya.
Penggeledahan dan
penangkapan terus terjadi di Jawa Barat. Pada Jumat malam hingga Sabtu Pagi,
24-25 Agustus terjadi penangkapan terhadap 40 orang. Orang-orang anggota PKI
maupun ormas yang memiliki
keterkaitan ditahan.
Antara lain:
“Anwar sekretaris umum Badan Permusjawaratan Partai2 sedang rumah2 beberapa
anggota pengurus Pemuda Rakjat dan Partai Murba digeledah dan dibeslah surat2
tapi orang2nja tidak ditahan” (Kedaulatan Rakjat, 27 Agustus 1951).
Masih di Jawa
Barat, tepatnya di Indramayu, pada Rabu, 1 September terdapat sembilan orang
pejabat daerah yang ditangkap. “Diantara mereka ini terdapat a.l Patih
Indramaju, Wedana Indramaju, Wedana Djatibarang, beberapa Tjammat, kepala
djawatan penerangan Tjirebon jang Bernama Damira dan seorang anggota DPRDS
Propinsi Chamdie Idradjaja. Dikabarkan bahwa Chmadie telah meloloskan diri” (Kedaulatan
Rakjat, 1 September 1951).
Di Jawa Timur,
penangkapan menghasilkan 190 orang. Kebanyakan di antara tahanan merupakan
anggota PKI, SOBSI, Gerwis, Gerakan Perdamaian Dunia, Pemuda Rakyat, dan
orang-orang Tionghoa yang dianggap punya
simpati terhadap komunisme.
Namun, seperti
yang juga terjadi di tempat-tempat lain, orang-orang yang ditangkap tidak
semuanya anggota PKI atau organisasi-organisasi yang dekat dengannya. Beberapa
merupakan pimpinan sebuah surat kabar atau majalah. Di Jawa Timur, empat
pimpinan redaksi ditangkap, yakni: “pemimpin Redaksi harian Java Post, Trompet
Masjarakat, Thau Kong Siang Poo…, dan Madjalah Demokrasi” (Kedaulatan
Rakjat, 22 Agustus 1951).
Penggeledahan dan
penangkapan yang berlangsung begitu masif dan cepat menimbulkan banyak protes. Hal
ini kemudian memaksa Kejaksaan Agung – lembaga yang memberi instruksi razia –
segera memproses para tahanan.
Guna mempercepat
proses pemeriksaan, Kejaksaan Agung memperbantukan sejumlah jaksa-jaksa daerah
yang kebetulan sedang ada di Jakarta untuk mengikuti kursus. Meski demikian,
kerja Kejaksaan Agung tidak dapat mengimbang penangkapan yang terus pada
bulan-bulan berikutnya. Alhasil, pada akhir Oktober, menurut pemerintah,
seperti yang diungkapkan M.C. Ricklefs ada 15.000 orang yang ditahan.
Lebih jauh lagi,
seperti yang akan terjadi kemudian, kerja dari Kejaksaan Agung akan berakhir
sia-sia. Tidak pernah ada orang yang ditahan, yang menjalani proses pengadilan.
Tidak ada alasan untuk melakukannya. Sebab, penahanan hanyalah sebuah dalih
politik untuk menjatuhkan PKI. Dan, karena alasan penahanan dilakukan secara
politik, maka pembebasannya pun dilakukan secara politik pula. Zonder jalur
hukum.
Protes-Protes
Penggeledahan dan
penangkapan yang terjadi begitu cepat tidak membuat PKI diam saja. Setelah
Aidit menyangkal tuduhan terhadap keterlibatan PKI dalam penyerangan pos
polisi, PKI datang dengan protes.
Melalui Comite
Central (CC), PKI menuntut agar orang-orang dari PKI dan organisasi-organisasi
yang dekat dengannya, serta partai-partai lainnya dibebaskan. Tuntutan ini
dilandasi bahwa penangkapan dilakukan tanpa alasan yang jelas.
CC PKI mengatakan,
“biarpun djurubitjara Pemerintah mengatakan bahwa penggeledahan dan penangkapan
tidak ditundjukan kepada suatu ideologi atau aliran politik tetapi rerang bahwa
mereka jang ditahan ialah orang2 jang banjak atau sedikit akan oposisi terhadap
politik pemerintah atau Pemerintah
Daerah” (Kedaulatan Rakjat, 27 Agustus 1951).
Sementara itu,
Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang dekat dengan PKI juga melancarkan protes. Gerwis
menyebut tuntutan dan alasan yang sama seperti yang diungkapkan CC PKI. Namun,
lebih jauh, Gerwis menyebut penangkapan yang terjadi melanggar hak-hak
demokrasi.
Gerwis dapat
dikatakan cukup terusik dengan razia yang terjadi. Pasalnya, Kongres pertama
yang sedianya akan dilaksanakan pada pertengahan bulan Oktober harus diundur menjadi
bulan Desember. Itu pun dengan kondisi yang menyedihkan, karena masih banyak
anggota yang belum dibebaskan.
Karena tidak hanya
menyasar anggota PKI dan organisasi-organisasi yang dekat dengannya,
suara-suara protes muncul dari organisasi buruh lainnya. Serikat-serikat buruk
ini protes karena pemimpin mereka ditangkap. Serikat Buruk Percetakan Indonesia
(SBPI) pemimpin yang ditangkap Suhardjo dan Nusjirwan Alim, Serikat Tani
Indonesia pemimpin yang ditangkap Sidik Kertapati, Serikat Buruh Kendaraan Bermotor
anggota yang ditangkap D. Triono dan K. Werdojo, dan “Aksi Buruh Penerangan
yang pemimpinnya berhubungan dengan penggeledahan kantor SOBSI dan tangkapan
atas diri anggauta pimpinan Sebaud Hanapi” (Kedaulatan Rakjat, 24 Agustus
1951).
Tak hanya dari organisasi,
masyarakat sipil juga melakukan tuntutan. Salah satu yang tercatat adalah
tuntutan dari para istri tahanan di Pati. Tuntutan ini dilatarbelakangi keadaan
rumah tangga yang semakin menyedihkan pasca suami mereka ditahan. Enam
perempuan “jaitu njonja2 Heru Sukarto, Hardjono, S. Tjokrosardjono, Imam
Sukardjo, Heru Harun, dan Soepadi, telah menanda-tangan sebuah surat jang
dikirim kepada Presiden Sukarno untuk memohon lekas dikeluarkanja suami mereka”
(Kedaulatan Rakjat, 13 Desember 1951).
Pembebasan Cara
Politik
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa Razia Agustus merupakan tindakan politik sehingga
penyelesaiannya juga melalui politik. Untuk itu, hal pertama yang membuka jalan
bagi pembebasan tahanan Razia Agustus adalah jatuhnya pemerintahan Sukiman pada
Februari 1952.
Pemerintahan baru
segera terbentuk, yakni hasil koalisi PNI-Masyumi. Namun, berbeda dari
sebelumnya, tampuk PM dijabat oleh Wilopo dari PNI. Sejak awal, koalisi yang
dibangun sudah sangat lemah.
Di mana, PNI mencurigai
motivasi keagamaan Masyumi. Kecurigaan yang membuat PNI berusaha mencari sekutu
untuk menunda pemilihan umum (Pemilu) karena
takut bahwa Masyumi mungkin akan menang
jika Pemilu berlangsung sesuai jadwal.
Kesempatan dari
PNI itu dimanfaatkan oleh PKI yang menawarkan diri dengan strategi front
persatuan nasionalnya. Di sinilah, Aidit – yang telah mengatur ulang strategi
partai selama bersembunyi dari razia, menghasilkan salah satu buah pikiran,
yakni – mendefinisikan PNI bukan lagi
sebagai feodal, tetapi sebagai borjuis nasional yang dapat diajak bekerja sama.
Hal ini juga
terkait dengan pendukung kedua partai yang mayoritas Jawa Abangan. Hasil
hubungan PNI dengan PKI ini membuat orang-orang yang ditangkap dalam Razia
Agustus dibebaskan.
Farras
Pradana
Editor: Irfan Arfianto