Illustrasi: Galih Setiawan |
Pandemi memang gila. Selain gila, ia juga membuat gila. Akhir-akhir ini, ruas perempatan jalan dipenuhi oleh ragam pengamen dan atraksi yang menadah uang di tengah padat lampu merah. Tentu bagi saya, mereka-mereka, para pencari nafkah sama sekali tidak gila. Saya mencoba mengerti posisi mereka. Masalah yang membuat saya gusar adalah kegilaan nan berbeda, tatkala saya menemukan setengah peleton mahasiswa tengah mengamen, bersaing dengan para pencari nafkah. Seolah mereka turut berebut penderitaan di tengah pandemi ini.
Mahasiswa-mahasiswa itu berjarak tak jauh dari seorang manusia silver. Dengan baju bersih, mereka bernyanyi sambil menadah, berharap selembar uang dari para pengendara. Jumlah mereka pun relatif banyak, cukup untuk membuat satu tim sepakbola. Lantas, dari mana asal para agent of change yang gemar mengamen ini? Mahasiswa-mahasiswa itu berasal dari jurusan Administrasi Publik Universitas Negeri Yogyakarta.
Saya amat malu, sungguh amat malu. Karena celakanya saya
berasal dari jurusan yang sama dengan mereka. Jadi mari kita bergosip tentang
para pengamen-pengamen ini. Saya tahu betul, tulisan ini akan dikecam, bahkan
oleh teman terdekat saya. Sebenarnya, sebelum tulisan ini saya rangkai, sudah
muncul ujaran-ujaran yang menganggap saya meracuni kelompok lain untuk tidak
mengamen. Walau demikian, disinilah saya, dengan tulisan ini. Alih-alih sebagai
ekspresi kebencian, ini adalah cara saya menunjukkan perasaan cinta pada
jurusan Administrasi Publik (AP).
Awalnya, saya amat bangga dengan jargon-jargon yang menuntut
mahasiswa AP untuk berpikir kritis. Sejak saya Maba, kalimat-kalimat motivasi
agar mahasiswa mencoba hadir membantu problematika masyarakat, adalah jargon
yang acap kali digaungkan. Pandemi ini harusnya menjadi ruang eksplorasi
mahasiswa AP untuk memberi alternatif, agar jangan sampai penderitaan
masyarakat mendorong mereka turun ke jalan untuk mengemis dan mengamen.
Dari dulu, saya diajarkan agar mahasiswa AP kritis dan
kreatif dalam membangun solusi. Celakanya, di tahun 2021 ini, saya melihat mahasiswa AP berebut
nafkah dengan para manusia silver dan pengamen. Saya takut berikut hari, ini
tidak akan berakhir hanya sebatas mengamen. Akan tetapi, mahasiswa AP juga
ikut-ikutan mewarnai badannya dengan cat silver. Hahaha!
Setidaknya dahulu saya masih membangun ekspektasi besar
terhadap masa depan jurusan ini. Akan tetapi, harapan tak selalu indah, kadang
pun bertepuk sebelah tangan. Ekspektasi dijatuhkan begitu saja ketika saya
mengikuti aktivitas persiapan event organisasi.
Satu event besar yang mengharuskan
panitia mengadakan Danus (Dana Usaha). Sayangnya, saya tidak menyangka akhir
dari Danus ini berujung dengan “ngamen”. Jujur saja saya berharap panitia masih
memiliki kreativitas lebih untuk mencari alternatif dana selain ngamen. Saya
takut, para manusia silver terheran-heran melihat agent of change mengamen untuk event
yang tidak ada urgensinya.
Mungkin seperti manusia silver, kalian para pembaca juga
terheran-heran, kok mahasiswa ngamen di jalan. Entahlah saya sendiri juga
heran. Ini menghempaskan semua akal sehat tentang mahasiswa yang harus memiliki
creative thinking. Sungguh mengoyak
nalar pikiran saya. Saya masih mentoleransi apabila Danus dilaksanakan dengan
menjual risol. Begitu pula dengan paid
promote yang masih dapat saya terima. Namun, lagi-lagi ada saja yang
membuat jengkel mengenai Danus ini.
Karena apesnya paid
promote yang dijalankan ini justru mempromosikan penipuan lelang.
Setidaknya kejadian tersebut sempat membuat heboh kepanitiaan. Beruntung, hal
ini coba untuk diperbaiki dengan membuat regulasi yang tidak menerima penipuan.
Lamun, baru-baru ini untuk kedua kalinya, kepanitiaan masih mempromosikan
lelang abal-abal lagi.
Saya sudah mencoba untuk mempertanyakan tentang persoalan paid promote penipuan ini. Akan tetapi,
masukan saya dijawab dengan: “Ya Allah, yang penting kita dapet duit ga si”
Wah! menarik, nama Tuhan dicatut dalam persoalan paid promote yang terindikasi mengandung tindak penipuan. Loh,
kalau yang penting cuman dapat uang, kenapa gak jual diri aja? Jujur saja
logika seperti inilah yang saya benci. Kalau cari uang ya mbok jangan sampai segitunya. Yaudah deh, selamat Anda telah
diperbudak oleh uang.
Kalau yang penting dapet uang banyak, kenapa nggak main
Binomo. Kan bisa dapat 1.000 USD dalam sehari, hanya dengan duduk di rumah
saja, gila gak tuh? Mungkin ga perlu bingung lagi mau nentuin manggil guest star yang mana, langsung panggil
aja BTS biar makin ramai event-nya.
Kan memang itu tujuan dari konser ini, menggaet sebanyak-banyaknya penonton
melalui guest star, tanpa peduli
dapat dari mana uangnya. Sungguh memuakkan.
Memang gila! Bisa-bisanya konser yang tak memiliki urgensi
kok dipaksakan untuk melahap dana yang banyak, alias berhedon ria. Katanya sih
program kerja ini tujuannya untuk memperkenalkan Himpunan Mahasiswa
Administrasi Publik (HMAP) sekaligus bersenang-senang, melupakan segala hiruk
pikuk perkuliahan. Bahasa anak sekarang sih self
healing gitu. Yoi banget kan tujuannya? Organisasi mana sih yang gak pengen
punya program yoi? Pastinya setiap organisasi ingin punya program kerja yoi
yang meningkatkan eksistensi dan gengsi.
Tak salah jika memang ingin senang-senang, semua orang suka
merasakan kesenangan dan memang tidak perlu menghindari akan rasa senang
(Surbakti, 2009). Siapa sih yang akan menolak rasa senang? Terlebih jika rasa
senang itu dapat melupakan sejenak permasalahan yang ada. HMAP pun sah-sah saja
ingin mengadakan konser untuk bersenang-senang. Tak ada yang salah dengan
menyelenggarakan konser, toh memang jika memiliki impact yang bagus, kenapa tidak?
Namun, gini loh, kalau pada akhirnya panitianya cuman
dipaksa begini-begitu, hanya untuk memuaskan ego yang sebenarnya tersembunyi
dibalik gengsi hedon-hedonan, apa masih bisa dibilang bersenang-senang?
Entahlah, yang pasti saya melihat dan mendengar teman saya dipaksa ngamen.
Setidaknya saya masih bisa menjadi pendengar yang baik, menyerap
keluhan-keluhan mereka. Akan tetapi, apakah pada akhirnya konser ini berakhir
memperbudak mereka? Sudah diperas tenaga, pikiran, masih dipaksa ngamen lagi.
Katanya kan sulit cari dana di masa pandemi, kok masih
dipaksakan bikin konser hedon. Why
gitu loh why (Dengan nada Tretan
Muslim). Celakanya kita masih terjebak dalam logika semakin hedon dan
mewah suatu acara, maka semakin baik
pula kinerja panitia. Ini seperti perlombaan gengsi antar angkatan, semakin
hedon acara tahun sebelumnya, membuat di tahun-tahun selanjutnya harus lebih
hedon. Sebenarnya kalau kita mempersepsikan “lebih baik sama dengan lebih
hedon”, maka percayalah cara pikir Anda rusak.
Entah dari mana asal doktrin ini atau memang sudah jadi
budaya organisasi bahwa terdapat pemujaan terhadap hedonisme. Sekali lagi,
lebih baik dari tahun sebelumnya bukan berarti lebih hedon. Saya rasa yang
dimaksud lebih baik, bisa dipersepsikan dengan memperbaiki kesalahan pada tahun
sebelumnya. Termasuk, tidak ada salahnya mengusung konsep yang lebih sederhana.
Dari sinilah pentingnya efisiensi dana yang sudah ada. Saya
amat hormat pada mereka yang mampu memutar otak menggunakan konsep sederhana,
namun dapat memunculkan kreativitas, dengan dana seadanya. Bukan memaksakan
mahasiswanya untuk mengamen di jalan apalagi membantu para penipu online melancarkan aksinya.
Bagi saya, kita perlu membuang pikiran aneh seperti: “Tahun
lalu saja bisa manggil guest star ternama,
masak tahun ini enggak”. Sah-sah saja kalau Anda ingin mengundang guest star ternama, toh saya tidak bisa
memaksakan pikiran orang, tapi ya harus dilihat juga kondisinya. Kalau memang
keadaan tidak memungkinkan, bisa dong bikin acara yang lebih sederhana.
Sebenarnya ekspektasi tinggi itu sesuatu yang wajar. Toh
kemerdekaan Indonesia dibangun dari ekspektasi besar. Namun, semua ekspektasi
harus diimbangi logika berpikir yang lebih realistis atau minimal dibangun
dengan perencanaan yang matang. Pada akhirnya semua itu tidak bisa diselesaikan
dengan cara berpikir pragmatis.
Menariknya agenda “ngamen” ini terjadi rutin tiap tahunnya.
Seolah menjadi agenda tahunan. Bahkan beberapa orang mengatakan ngamen ini
adalah “budaya”. Anehnya tidak ada yang mencoba mempertanyakan ulang agenda
ini. Ngamen saja sudah aneh bagi saya, apalagi terdapat beberapa orang yang
menormalisasi fenomena ini tiap tahun. Problem
ini sangat mungkin dijelaskan dengan diskursus banalitas intelektual.
Bahkan apa yang terjadi dengan konser ini adalah banalitas intelektual itu
sendiri. Sederhananya, ngamen ini perwujudan dari pendangkalan berpikir yang
tak disadari.
Saya rasa sulit untuk membantah asal muasal logika banalitas
intelektual yang berangkat dari cara berpikir pragmatis. Terlebih menyangkut
persoalan ekonomi, hancur sudah kesucian intelektual (Putra, 2018). Tak sulit
melihat pragmatisme dan banalitas intelektual sukses meluluhlantakkan akal
sehat kita, HMAP.
Syarifuddin Jurdi dalam buku Sosiologi Nusantara mengutip Heru Nugroho, yang menyebutkan bahwa akademisi ilmu
sosial di Indonesia mengalami kemandekan dalam berkreasi. Kecenderungan untuk
meniru secara dahsyat mengurangi “gairah” dalam berinovasi. Dalam konteks HMAP,
yang terjadi jauh lebih buruk. Tatkala yang lain meniru dalam wacana keilmuan,
HMAP justru meniru problematika yang ada di masyarakat. Bahkan menjadi
problematika itu sendiri. Atas nama keilmuan, mereka menanggung beban untuk
turut andil menyelesaikan kontradiksi di masyarakat, bukan malah ikut-ikutan masuk dan memperkeruh
masalah yang ada.
Kala yang lain menyebar kardus dalam rangka aksi sosial,
merespon kehadiran bencana. Di saat yang sama HMAP tengah menadah dengan kardus
yang bertuliskan: “Donasi Konser Online Pation Fest 2021”. Memalukan untuk
membandingkan HMAP dengan kelompok lain yang tengah merespon kehadiran bencana.
Sebentar, jangan-jangan kehadiran event ini sendiri adalah bencana? Bencana
bagi nalar dan akal sehat di kampus.
Di dunia yang kian penuh persaingan, kok bisa-bisanya cuman
kepikirannya ngamen. Ilmunya kemana, kok cuman kepikiran ngamen. Memang ada apa
antara AP dan ngamen? Sampai-sampai saya sering mendengar pertanyaan yang
mengaitkan AP dengan ngamen. “Kamu anak AP kan? Kok ga ikut ngamen,” begitulah
kiranya kalimat yang menyusupi telinga saya. Jangan-jangan akronim HMAP itu
bukan Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik. Akan tetapi, malah jadi Himpunan
Mahasiswa Anak Pengamen.
Setidaknya kita punya rujukan yang lebih baik dari kampus
sebelah. Misalnya kampus sebelah punya lingkar diskusi yang produktif. Apakah
kita tidak punya kelompok yang sama? Tentu punya, kita memiliki Lingkar Diskusi
Publik yang bisa mengisi kekosongan wacana. Terlebih di tengah-tengah kampus
yang tidak punya gairah ini. Sayangnya, LDP tidak bisa melakukan itu sendirian,
kelompok ini butuh sokongan kita bersama. Jangan sampai Administrasi Publik UNY
hanya dikenal dari konser-konser hedon. Akan tetapi, kosong dalam wacana.
Pada akhirnya saya sebagai generasi muda jurusan ini,
menggugat mereka dan ingin mengatakan:
HMAP tidak akan mati, bila tidak mengadakan konser.
HMAP tidak akan mati, bila menyampingkan gengsi.
HMAP tidak akan mati, bila berhenti menadah di jalanan
HMAP akan mati bila terjebak dalam pola pikir pragmatis dan hedonistis
Ini alarm tanda bahaya!
Ahmad Nur Alamsyah
Opini adalah gagasan pribadi penulis
Editor: Rachmad Ganta Semendawai