Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) terbentuk pada 4 Juni 1950 di Semarang. Gerwis merupakan peleburan organisasi-organisasi perempuan yang aktif dalam pergerakan nasional.
Enam organisasi itu terdiri atas: Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura dari Madura, dan Perjuangan Putri Indonesia dari Pasuruan.
Organisasi-organisasi itu diisi anggota yang merupakan generasi muda Isteri Sedar – organisasi yang aktif selama masa pergerakan. Sehingga, selain mempunyai hubungan yang erat, secara ideologi, para perempuan itu dekat dengan organisasi Isteri Sedar (Saskia Wieringa, Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950, 1998: 19)
Selain penyatuan organisasi, dalam pertemuan itu disepakati Tri Metty dari Rupindo – yang juga anggota Laskar Wanita Jawa Tengah – terpilih sebagai ketua Gerwis.
Setelah didirikan,
selama setahun lebih organisasi baru itu mengkonsolidasikan diri untuk
mematangkan dan menguatkan internal. Seperti yang dicatat Hikmah Diniah dalam Gerwani
Bukan PKI: Sebuah Gerakan Feminisme (2007: 92), “Pada pertengahan tahun
1951, Gerwis yang masih menjadi organisasi muda masih sibuk membenahi diri dan
membangun cabang-cabang di seluruh Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa.”
Sembari memperbanyak cabang, organisasi baru itu juga tengah mempersiapkan kongresnya yang pertama, serta bekerja mengawal keresahan sosial yang tengah merebak. Guna mengenalkan organisasi serta program yang dijalankan, dan memperkuat karakter anggota, Gerwis menerbitkan majalah bulanan dengan nama Wanita Sedar.
Pengumuman Kongres Gerwis dalam Majalah "Wanita Sedar" nomor 14, h. 20. Sumber foto: tangkapan layar Majalah "Wanita Sedar" Khasanah Pustaka Nusantara (Khastara) koleksi Perpusnas RI |
Dalam publikasi Wanita Sedar nomor 14 tertanggal 25 Juli 1951, Gerwis memuat dua tulisan persiapan kongresnya yang pertama. Pada halaman tiga, sepanjang satu halaman dengan judul “Menghadapi Kongres Gerwis”; dan, di halaman 20, berbentuk pengumuman dengan judul “Kongres Gerwis.” Di halaman terakhir, dikatakan, kongres diperkirakan akan dilangsungkan tiga bulan setelah pengumuman itu terbit. Yakni, sekitar pertengahan Oktober.
Lebih lanjut, dalam
tulisan itu disebutkan, “Dari itu mulai sekarang, diharapkan cabang-cabang
bersiap-siap. Bahan-bahan lain yang perlu dipersiapkan ialah
pekerjaan-pekerjaan konkret yang sudah dilakukan masing-masing cabang,
ranting-ranting.”
Tulisan dalam majalah
itu juga menghimbau agar urusan yang berkaitan dengan pendapat personal
disingkirkan. Dan segala pendapat cabang dibahas secara matang, sebelum dibawa
ke kongres. Hal itu bermaksud agar segala sesuatunya dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam pembahasan usulan di tingkat cabang yang
mempertemukan pelbagai ranting di bawahnya itu dinamakan konferensi.
Konferensi sebagai
persiapan sebelum kongres berisi, “membicarakan cara-cara bekerja yang praktis,
dan meninjau kesukaran-kesukaran yang dihadapi serta cara bagaimana mengatasi
kesukaran-kesukaran itu.” (Wanita Sedar no. 14, hlm. 3). Kesukaran yang
dimaksud tersebut adalah kesukaran “materiel”.
Diharapkan, dengan
adanya konferensi itu, antara pengurus cabang dan ranting terjadi saling kritik
yang sehat sebagai wujud saling menjaga keutuhan organisasi.
Salah satu konferensi
itu dilakukan oleh Gerwis cabang Jogja – satu dari 57 cabang yang ada saat itu.
Konferensi Cabang Jogja dilaksanakan pada 15 Juli 1951. Dalam konferensi itu
ada sembilan ranting yang hadir: Jetis, Kraton, Sewon, Ngestiharjo,
Gedongtengen, Mantrijeron, Pakualaman, Danurenja, dan Kota Gede.
“Konferensi ini terutama
untuk mendengar laporan-laporan pekerjaan dan mengambil keputusan, antara lain
melaksanakan program bekerja dalam dua bulan dan mengganti pengurus….” (Wanita
Sedar no. 14, hlm. 19). Terdapat juga catatan mengenai resolusi dan
keputusan terkait Perang Korea.
Selain cabang, Pengurus
Besar (PB) Gerwis juga melaksanakan konferensi sebagai bagian dari persiapan
kongres pertama. Dalam konferensi yang dilaksanakan di Yogyakarta itu, Saskia
Wieringa menuturkan, Tri Metty didepak dari kursi ketua karena dianggap terlalu
“avonturir”.
Sujinah – yang kala itu
masih “muda” dalam organisasi – dan Ny. Susanto menduga, alasan Tri Metty
digeser karena ia seorang lesbian. Menurut mereka berdua, Tri Metty orang yang
blak-blakan dengan identitas lesbiannya. Selain itu, Gerwis berkantor di
Jakarta dan dia bekerja sebagai pegawai negeri di Semarang, sesuatu yang
mengharuskannya keluar dari pekerjaannya, tetapi tidak dilakukan (Penghancuran
Gerakan Perempuan: Politik Seksual Pascakejatuhan PKI, 2010: 217-218).
Kepemimpinan Gerwis
sampai kongres pertama kemudian dialihkan kepada S.K. Trimurti
Walaupun telah melalui
beberapa persiapan seperti konferensi di tingkat cabang dan tingkat PB,
pelaksanaan kongres pertama itu nyatanya mundur. Hal ini terjadi – agaknya – lantaran
terjadi penangkapan beberapa pemimpin Gerwis. Sebagaimana diterangkan Sulami pada Saskia
Wieringa:
“Dalam bulan Agustus
1951 […] Perdana Menteri Sukisaman melakukan pengawasan ketat terhadap
keresahan sosial yang berujung penangkapan beberapa pemimpin Gerwis, termasuk
Ibu Mudigdio dan Trimurti. Mereka ditahan dan diinterogasi selama seminggu.
Para anggota Gerwis ambil bagian aktif dalam komite ‘Pembela Korban Razzia
Agustus’” (2010: 223).
Kongres pertama itu baru
terlaksana pada 17-22 Desember. Mundur dua bulan dari target yang diumumkan
sebelumnya. Selain membuat jadwal mundur, penangkapan beberapa pemimpin Gerwis
juga membuat kondisi kongres itu sendiri menyedihkan. Lantaran banyak anggota
maupun pemimpin yang secara otomatis tidak hadir.
Meski demikian, kongres
pertama atau kemudian disebut Kongres I akhirnya terselenggara di Surabaya.
Kongres berjalan dan menghasilkan beberapa keputusan.
Seperti yang ditulis
Hikmah Diniah, “Keputusan-keputusan yang dihasilkan dari Kongres I ialah adanya
perubahan di tingkat pusat yang telah berani mengambil tindakan penting dengan
mengecilkan gerak “feminis” dalam organisasi dan adanya usaha untuk
mengkonsolidasikan pengaruh PKI terhadap pimpinan organisasi.” (hlm.
106-107).
Keputusan mayoritas
peserta kongres itu berakibat pada Suharti, anggota aktif Partai Komunis
Indonesia (PKI), harus menarik pencalonan sebagai ketua. Sedangkan, S.K.
Trimurti sendiri selalu dihalang-halangi oleh PKI dalam pencalonannya.
Namun, pada akhirnya,
sebagai jalan tengah, setelah pemilihan dilakukan, Umi Sarjono terpilih sebagai
ketua, sementara S.K. Trimurti sebagai Wakil Ketua I, dan Suharti sebagai Wakil
Ketua II. Hasil ini ternyata tidak diterima oleh anggota sekaligus kader PKI.
Umi Sarjono yang sudah
terpilih memilih mengundurkan diri dan membuat kursi kepimpinan jatuh ke tangan
S.K. Trimurti. Lagi-lagi, hal itu tidak bisa disepakati oleh PKI. Akhirnya demi
kelangsungan organisasi, Suharti menjadi ketua, Umi Sarjono dan S.K. Trimurti
menjadi Wakil Ketua I dan II.
Walau jalannya proses perubahan
kepimpinan organisasi terlihat begitu keras, tetapi tidak sampai membuat Gerwis
terguncang. Selain soal kepimpinan, perihal lain yang juga disorot selama
kongres adalah kondisi internal organisasi dan masalah kepentingan perempuan
sehari-hari. Perihal yang terakhir ini, pola pikir kerja Gerwis dipandang
sempit. Selain juga karena tidak aktif di Front Persatuan saat itu.
Disebutkan juga dalam
kongres, sebagian anggota meminta nama Gerwis diganti. Sebabnya, nama Gerwis
hanya merujuk pada para perempuan yang sadar politik. Soal itu tentu saja tidak
sesuai dengan Gerwis yang berbasis massa perempuan seluas-luasnya. Secara
prinsip alasan itu disepakati, hanya karena ada ragu-ragu para peserta kongres,
nama organisasi baru akan diubah pada kongres selanjutnya. Ketika Gerwis
berubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada Kongres II tahun 1954.
Bentuk basis massa itu
juga menjadi sorotan yang lebih jauh oleh peserta kongres. Perihal itu terjadi
lantaran ketidakselarasan antara pemimpin organisasi dengan basis massa
perempuan. Para peserta kongres mengkritik pemimpin Gerwis yang berasal dari
kelas menengah atas enggan turun ke basis massa perempuan. Praktik yang membuat
perkembangan anggota Gerwis menjadi tersendat.
Hal ini dapat dilihat
dari jumlah anggota yang dilaporkan saat Kongres I itu. Seperti tercatat dalam
dokumen ulang tahun organisasi “Gerwani Berusia 12 Tahun” yang termuat dalam
buku Kebenaran Tentang Gerwani, Aspek Gender Rezim Suharto & Pekik
Merdeka di Gunung Tidar, Gerwis tercatat hanya memiliki 6000 anggota.
Jumlah itu kecil jika mengingat saat didirikan, Gerwis, menurut Saskia Wieringa, mempunyai 500 anggota. Pertambahannya dianggap tidak terlalu besar oleh para anggota.
Menurut Hikmah Diniah,
pertumbuhannya yang kecil itu terjadi karena tiga hal: Pengurus Besar (PB)
Gerwis tidak terjun ke massa perempuan, enggan bekerja sama dengan organisasi
lain, dan tidak menyatu kekuatan massa rakyat. Ketiga hal itu mencerminkan
sesuatu yang bertolak belakang dengan tujuan awal didirikannya Gerwis, yakni
untuk berjuang dan mendekati perempuan miskin.
Namun, sepertinya
kesalahan itu lekas dikoreksi di kemudian hari. Dari dokumen “Gerwani Berusia
12 Tahun”, organisasi mencatatkan pertumbuhan anggota yang signifikan di tahun-tahun selanjutnya. Kongres II
tahun 1954 (saat Gerwis berganti nama menjadi Gerwani dan haluan politiknya
sejalan dengan PKI) punya 74.977 anggota, Kongres III Tahun 1957 punya 631.342
anggota, dan Kongres IV tahun 1961 punya 1.125.000 anggota.
Farras Pradana
Editor: Irfan Arfianto